Untuk siapa negara khilafah didirikan? Ada jawaban normatif dan jawaban berdasarkan fakta.

Untuk jawaban normatif, para da’i mengatakan: “Khilafah adalah wujud nyata pelaksanaan syariah Islam yang kaffah. Khilafah mengabdi sepenuhnya pada kehendak Allah”.

Bagaimana dengan jawaban berdasarkan fakta? fakta bisa dilihat melalui bermacam kacamata, tapi saya mengambil salah satu yang menonjol, yaitu: “Khilafah adalah alat yang efektif untuk melestarikan kekuasaan keluarga atau klan”.

Kesimpulan itu bisa kita lihat dari masa 1293 tahun negara khilafah berdiri (di luar masa Rasul), selama 1263 tahun khilafah menjadi pesta kekuasaan 3 keluarga besar, yaitu keluarga Umayyah, Abbas, dan Ottoman. Ada juga keluarga lain yang mencoba ikut berpesta, tapi relatif tidak seheboh 3 keluarga ini.

Bagaimana kita melihat proses pengambil alihan tujuan Khilafah berdiri, dari tujuan normatif yaitu Allah ke sekedar Keluarga Khalifah?

Khilafah Perdana, Negara Untuk Allah

Negara Islam awal berawal dari komunitas muslim yang dipimpin Nabi di Madinah.

Membentuk Negara bukanlah tujuan Nabi, itu hanyalah konsekwensi sosial yang logis dan diperlukan Nabi untuk mewadahi komunitas kaum beriman yang terbentuk dari hasil dakwah Nabi.

Karena hanya menjadi kegiatan sampingan dari dakwah, maka Nabi tidak memberikan fokus pada pranata yang dibutuhkan oleh negara. Tidak ada organisasi negara yang canggih seperti kementrian yang sifatnya permanen, anggaran belanja yang jelas, dan bahkan tidak ada pegawai dan tentara profesional yang mendapat gaji.

Yang disebut pusat negara adalah Nabi sendiri, yang dikelilingi para pengikut yang diberi energi dari semangat mengabdi kepada Allah dan Rasulnya.

Ka’bah di Mekah dalam sebuah lukisan kuno

Menjadi aparat sifatnya sukarela dan bahkan pengorbanan tenaga dan harta, karena jangankan menggaji para aparat negara, Nabi sendiri seringkali hidup dalam serba kekurangan. Dalam beberapa kesempatan bahkan Nabi sampai-sampai mengikatkan batu ke perutnya untuk mengganjal lapar. Mereka kumpulan orang miskin dan sering lapar.

Datangnya Kemakmuran, Datangnya Tujuan Baru Bernegara

Negara Islam yang didirikan Nabi ternyata bisa bertahan, dan bahkan mampu berkembang lebih jauh.

Jika pada era Nabi, wilayah khilafah masih di seputaran Mekah dan Madinah, maka di era Umar (Khalifah ke 2), negara itu sudah meliputi seluruh jazirah Arab, Asia Tengah dan sebagian Afrika. Dengan apa ekspansi wilayah itu? sebagian besar melalui penaklukan perang.

Jika itu melalui perang, tentu ada perolehan besar rampasan perang. Ada banyak harta benda, ternak, budak dan tanah-tanah subur yang tiba-tiba dimiliki para pejuang Arab yang biasanya miskin dan hidup pas-pasan.

Negara Islam kini bisa menjanjikan kemakmuran “saat ini” yang bisa dilihat bagi para pengurusnya dan bukan kemakmuran “kelak” di surga. Menjadi pengurus negara, entah sebagai tentara atau birokrat kini menjadi jalan untuk makmur.

Ukuran kemakmuran pengurus negara khilafah dapat kita lihat dari kitab al-Tabaqat karya Ibnu Sa‘ad yang merinci kekayaan para sahabat. Para sahabat Nabi rata-rata memiliki puluhan juta Dirham dan ratusan ribu Dinar serta tanah dan rumah yang banyak. Yang spektakuler adalah Abdurrahman bin ‘Auf, salah satu as-sabiqunal awwalun (8 orang pertama yang masuk Islam), emas miliknya begitu banyaknya, hingga bila dipotong dengan kapak, akan bisa membuat lepuh tangan pemotongnya.

Dengan kemakmuran yang datang, secara pelan semangat gotong-royong dan sukarela berganti menjadi mengabdi untuk memperoleh kekayaan.

Merintis Monopoli Keluarga

Masyarakat Arab sudah terbiasa hidup memperjuangkan kepentingan suku dan bani (keluarga besar) mereka dalam berpolitik dan memilih penguasa.

Pada awal Islam, Nabi Muhammad bisa menghilangkan sekat-sekat ini. Nabi menugaskan seseorang untuk memimpin perang atau suatu pekerjaan berdasarkan keahliannya dan bukan berasal dari keluarga besar mana orang tersebut berasal. Strategi ini bisa dipertahankan paling tidak sampai pada era khalifah Abu Bakar dan Umar.

Pada saat Usman bin Affan berkuasa sebagai Khalifah ke 3, ia memilih menjalankan kebijakan yang umum di masa sebelum Nabi berdakwah, yaitu menggenggam kekuasaan dan harta itu pada keluarga dan kerabat dekatnya.

Usman berasal dari keluarga besar Umayyah, dan ketika ia naik tahta, ia mengganti para gubernur wilayah-wilayah yang penting seperti Mesir, Basra dan Kuffah dengan para kerabatnya, yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang memadai. Ia memperbesar wewenang Muawiyah yang sebelumnya hanya penguasa Damaskus, menjadi penguasa seluruh Syam yang pada era modern ini meliputi Syria, Palestina, Yordania dan Lebanon. Ia juga mengganti sekretaris negara dengan kerabatnya dan mengangkat lebih banyak anggota Bani Umayyah dalam pemerintahannya.

Aroma nepotisme ini tentu menimbulkan ketidakpuasan dari rakyat dan para sahabat lainnya. Berbagai kasus dan desas-desus mulai muncul. Kasus besar yang pertama muncul adalah saat Usman dianggap membagikan pampasan perang kepada kerabatnya di atas jatah yang seharusnya. Namun masalah semakin besar manakala gubernur pilihan Usman menerapkan kebijakan agraria yang merugikan rakyat di Mesir.

Para sahabat yang tak puas mulai melancarkan provokasi di sana-sini, akibatnya terjadi gerakan rakyat yang menuntut turunnya Usman. Gerakan ini memuncak ketika massa dari Mesir dan Basrah berbaris menuju Madinah untuk menurunkan Usman.

Akibat kebijakannya, Usman ternyata tidak lagi memiliki pembela dirinya dihadapan gerakan massa yang marah.  Massa pemberontak tanpa halangan yang berarti bisa mendekati dan bahkan mengepung istana Usman.

Beberapa orang berusaha mencoba meredakan massa, termasuk Ali bin Abi Thalib, namun kemarahan mereka tak bisa lagi diredakan.

Setelah bertahan 40 hari dalam kepungan, akhirnya massa pemberontak berhasil mendobrak masuk, menyeret Usman yang berusia 83 tahun itu dan membunuhnya.

Tak banyak yang berduka atas kematian Usman, malah banyak yang gembira mungkin. Jenazah Usman yang diusung dalam keranda bahkan menjadi sasaran lemparan batu, bahkan seseorang sempat merebut jenazah tersebut dan mematahkan tangan yang sudah mati itu. Tragis.

Tak ada pengurus kuburan Islam yang mau menerima jasad Usman. Setelah 2 hari, baru Usman bisa dikuburkan, itupun di pekuburan Yahudi. Kelak setelah Muawiyah berkuasa, barulah jasadnya dipindah ke pekuburan Islam.

Krisis Yang Tak Terbendung

Ali bin Abi Thalib dipilih dalam musyawarat sahabat untuk menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah.

Akan tetapi kematian tragis Usman bin Affan terlanjur mengguncangkan bumi.

Keluarga besar Umayyah yang terlanjur kuat akibat kebijakan Usman, menyatukan diri dibawah pimpinan Muawiyah. Mereka bersiap menuntut keadilan atas kematian tragis kerabat mereka, Usman bin Affan.

Sementara itu para sahabat Nabi yang di Mekkah tidak habis pikir dengan kematian Usman bin Affan di Madinah di istananya sendiri, justru oleh orang-orang yang seharusnya mematuhinya. Usman adalah salah satu yang Rasul sendiri menjamin bakal masuk surga. Jika Rasul berani menjamin Usman, maka seharusnya tidak akan ada cacat akhlak yang sedemikian besarnya hingga ia menjadi penguasa yang dibenci oleh rakyatnya. Pasti ada yang salah!

Ali sebagai seorang khalifah, mencoba bersikap bijak. Ali tidak menganggap ada seseorang yang bisa dijadikan kambing hitam atas pembunuhan Usman, karena walau Usman terbunuh, namun Usman bisa juga dianggap sebagai pemicu ketidak-adilan yang mengakibatkan kemarahan massa. Ali tidak mau menunjuk hidung orang yang bisa dihukum atas kekacauan ini.

Sikap Ali ini dianggap melindungi pembunuh khalifah Usman, banyak yang tak puas.

Tidak sabar, Aisyah istri Rasul memimpin para sahabat berangkat dari Mekah membawa pasukan, hendak mengambil sendiri langkah tegas menghukum siapa saja yang dianggap terlibat membunuh Usman. Ali tidak menghendaki main hakim sendiri ini, sebagai jawabannya, ia mengirim pasukan untuk menghentikan gerakan Aisyah.

Pecahlah perang Jamal, Ali menghentikan gerak maju pasukan Aisyah. Sekitar 18 ribu orang terbunuh. Ali menemui Aisyah, menjelaskan masalahnya dan mengantar Aisyah dengan hormat balik ke Madinah.

Sementara itu, Muawiyah memamerkan baju almarhum Usman yang berlumuran darah beserta potongan jari Naila – istri Usman di depan umum untuk membangkitkan emosi pendukungnya. Pasukan besar dikumpulkannya di Shiffin untuk melawan Ali yang dianggap tak bertindak apa-apa terhadap pembunuhan Usman.

Utusan Ali yang dikirim membujuk Muawiyah ditolak mentah-mentah. Akhirnya Ali mengirim pasukannya untuk menghentikan pembangkangan ini.

Pecah perang Shiffin. Sekitar 70 ribu orang tewas, melihat besarnya korban dan mencegah korban lebih banyak, Ali dan Muawiyah sepakat berdamai. Namun perdamaian ini tidak memuaskan semua orang.

Sebagian kelompok Ali tak puas dengan perdamaian ini, bagi mereka hanya ada hitam-putih tidak ada wilayah abu-abu. Perselisihan umat Islam harus diselesaikan dengan tuntas. Muawiyah yang memberontak, jelas salah, dan jika Ali mau berdamai dengan Muawiyah, Ali menjadi salah juga.

Kelompok ini menyebut dirinya Khawarij, mengirimkan pembunuh untuk menghukum sumber kesalahan ini, yaitu Ali dan Muawiyah. Ali terbunuh, Muawiyah selamat.

Era Negara Milik Keluargaku, Mulai

Sepeninggal Ali, secara de-facto Muawiyah dan keluarga Umayyah menjadi penguasa terkuat Khilafah. Muawiyah mengangkat dirinya menjadi Khilafah, dan melanjutkan rintisan Usman untuk menempatkan keluarga besar Umayyah menguasai posisi-posisi penting negara.

Khilafah Islam yang egaliter, yang pemimpinnya dipilih berdasarkan yang terbaik dan bukan karena keturunannya sudah berakhir. Selama 1263 tahun berikutnya, Khilafah hanyalah negara kerajaan, dimana tahta Khalifah diwariskan dengan aturan sederhana: dari ayah ke anak.

Rebutan Antar Keluarga

JIka keluarga Umayyah berpesta atas tahta Khalifah, kenapa keluarga lain tak boleh? Dan itu tentu mengkhawatirkan bagi keluarga Umayyah yang sedang menikmati kekuasaan.

Agama Yang Terpecah

Pesaing utama tahta Muawiyah adalah keluarga besar Nabi yang berpusat di keluarga Ali. Maka Muawiyah menjalankan kampanye besar meredam bangkitnya kekuatan di sekeliling keluarga Ali. Muawiyah memaksa khutbah Jum’at diisi materi wajib: menjelekkan Ali.

Tapi keluarga Ali, keluarga Nabi bukanlah tanpa dukungan. Beberapa ulama pembelanya mulai mengisi khutbah Jum’atnya dengan membela Ali dan akhirnya menjelekkan Muawiyah dan pendukungnya.

Persaingan politik keluarga menjelma menjadi persaingan religius. Kedua belah pihak mulai mengumpulkan dalil-dalil untuk menyerang saingannya, bahkan kalau perlu mengarangnya.

Persaingan keluarga ini menjadi semakin sengit. Yazid, anak Muawiyah yang menggantikan bapaknya mengambil langkah tegas. Ia memutuskan memusnahkan sama sekali pesaingnya.

Ia mengerahkan pasukannya menyerang rombongan Husein (anak Ali, cucu Rasulullah) di Karbala. Sekitar 100 orang disergap puluhan ribu tentara (ada yang menyebutkan hingga 100 ribu tentara). Tak imbang, cucu nabi beserta keluarganya (termasuk bayi) dibantai habis di Karbala. Kepala Husein dipenggal dan diarak sampai kota Kufa. Pembantaian keluarga Nabi di Karbala membangun pemisah permanen antara pendukung keluarga Umayyah dan pendukung keluarga Ali.

Rombongan Husein yang berjumlah sekitar 100 orang dikepung puluhan ribu pasukan Yazid di Karbala

Pendukung Ali menjelma menjadi Islam Syiah, sedangkan yang tak mendukung Ali menjelma menjadi Islam Sunni. Perpecahan semakin permanen dan sengit ketika berbagai dalil dikumpulkan (sebagian dikarang) oleh masing-masing pihak untuk membela diri mereka sendiri dan menyalahkan (kalau perlu mengkafirkan) lawannya.

Tahta Keluarga Yang Berdarah

Bani Umayyah berpesta menguasai tahta Khilafah selama 89 tahun, dengan 14 orang khalifah dari keluarga Umayyah.

Keluarga inti Nabi yang berpusat di Ali memang sudah berhasil dilumpuhkan secara militer dan secara teologis dikucilkan sebagai kelompok Syiah, namun keluarga besar Nabi bukan hanya Ali. Ada keluarga Nabi lain yang tidak suka dengan kebrutalan keluarga Umayyah merebut tahta dan menyingkirkan keluarga Ali. Mereka adalah keturunan paman Nabi termuda yang juga menjadi sahabat Nabi, Abbas bin Abdul Muthallib.

Bagi mereka, jika ada keluarga yang berhak mengangkangi negara Islam yang didirikan oleh Nabi, maka seharusnya keluarga itu berasal dari keluarga Nabi, bukan keluarga Umayyah.

Usaha pertama merebut tahta dilakukan oleh cicit Abbas di era Khalifah ke 8 Bani Umayyah, yaitu Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, tapi dengan mudah pemberontakan ini bisa ditumpas. Namun bibit ini tak sepenuhnya bisa dibasmi. Keluarga Abbas berulang kali mencoba merebut tahta dari keluarga Umayyah.

Silsilah keluarga para Khalifah

Usaha keluarga Abbas berhasil pada saat pemerintahan khalifah Umayyah ke 14, Marwan II ibn Muhammad. Abu Abbas al-Saffah yang memimpin pemberontakan berhasil menewaskan Marwan II dan merebut tahtanya.

Namun Saffah tak berhenti bergitu saja, ia melancarkan pembersihan besar-besaran. Ia membantai semua anggota keluarga besar Umayyah sampai ke bayi-bayinya, membantai semua yang dianggap mendukung keluarga besar Umayyah, dan bahkan membongkar semua makam khalifah dan bangsawan Umayyah, mengeluarkan sisa jasadnya, menghancurkannya dan membakarnya. Saat itu bagai mengalir sungai darah dari keluarga besar Umayyah.

Jika keluarga Umayyah berhasil mengangkangi khilafah selama 89 tahun, maka keluarga Abbas mengangkangi khilafah jauh lebih lama. Sekitar selama 767 tahun.

Keluarga Lain Yang Ikut Berpesta Kuasa

Kekuasaan keluarga Abbas meredup pada sekitar abad 13, namun benar-benar berakhir di abad 16.

Di saat redupnya keluarga Abbas, di wilayah Turki ada keluarga Ottoman (ejaan Turki untuk Usman) yang merintis kekhalifahan baru. Keluarga Ottoman secara efektif diakui sebagai satu-satunya khilafah Islam setelah berhasil menaklukkan Mekah dan Madinah serta hampir seluruh wilayah yang dulunya merupakan wilayah khilafah keluarga Abbas.

Khilafah Ottoman bertahan hingga awal peradaban modern.

Khalifah terakhir dari keluarga Ottoman berpose pada pernikahan anaknya

Khilafah ini tercabik-cabik ketika pada Perang Dunia I bergabung dalam kelompok Central Powers bersama Jerman, Austria-Hongaria dan Bulgaria melawan kelompok Sekutu yang dimotori Inggris, Perancis dan Rusia. Central Powers kalah perang dan kehilangan banyak sekali wilayah kekuasaannya. Ottoman kehilangan wilayah di Arab, Timur Tengah dan Afrika. Kekalahan ini juga menimbulkan revolusi yang menjatuhkan kekuasaan keluarga Ottoman. Turki berubah jadi republik dan mengakhiri sama sekali apa yang disebut khilafah Islam.

Bagaimana Dengan Kepentingan Allah?

Selama 1293 tahun, sebenarnya khilafah adalah tentang bagaimana mempertahankan suatu keluarga memonopoli kekuasaan negara.

Kepentingan Allah? ya itu penting digunakan sebagai pembungkus yang efektif, sehingga tak ada yang berani mempertanyakan dan justru menarik setiap Muslim untuk mendukung negara Islam (kalau perlu dengan jihad).


Bacaan: