Di tahun 2014 ini, kita dikejutkan oleh munculnya kelompok agama yang bertindak dengan begitu kejam menurut ukuran masyarakat modern.

Mereka melakukan eksekusi massal terhadap lawan yang mereka tangkap, membunuh siapa saja yang tak mendukung mereka. Tanpa pandang bulu baik laki-laki, wanita dan bahkan anak-anak. Mereka juga mempraktekkan kekejaman yang sudah ditinggalkan oleh peradaban modern yaitu menyalibkan orang, memenggal kepala orang, memaksa wanita sebagai budak seks. Begitu biadab.

Apakah mereka hendak mendirikan kerajaan Iblis atau terilhami oleh kejahatan Iblis? Sayangnya bukan.

Mereka justru mengaku sebagai pasukan suci penegak hukum Tuhan. Mereka pasukan ISIS (Islamic State of Iraq and Sham) yang hendak mendirikan negara berdasarkan hukum Islam, hukum yang berasal dari Tuhan pencipta alam, yang maha pengasih dan maha penyayang.

Pemancungan di depan umum oleh ISIS

Kok begitu? Kalau berasal dari perintah Tuhan yang penyayang, kok begitu kejam? Apakah kekejaman menjadi bagian dari agama yang berasal dari Tuhan yang penyayang?

Mungkin ada yang akan menjawab: itu hanya tindakan orang-orang kejam yang mengatasnamakan agama, para Nabi atau tokoh-tokoh panutan agama tidak akan berbuat demikian.

Sepertinya itu jawaban yang menenangkan, namun bila kita baca sejarah para Nabi, sepertinya jawaban di atas akan terbentur pada catatan buruk yang bisa kita baca dari sejarah dan bahkan kitab suci sendiri.

Berikut ini kita bisa melihat beberapa contoh yang ada dalam kitab suci dan sejarah para orang suci agama.

Tanah yang dijanjikan, lewat pembersihan etnis

Salah satu tonggak peristiwa dalam sejarah agama samawi adalah ketika Allah memberikan janjinya pada Ibrahim sebagai berikut:

Pada waktu itu juga TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram. Kata TUHAN, “Aku berjanji akan memberikan kepada keturunanmu seluruh tanah ini, mulai dari batas negeri Mesir sampai ke Sungai Efrat, termasuk juga tanah orang Keni, Kenas, Kadmon, Het, Feris, Refaim, Amori, Kanaan, Girgasi dan Yebus.”

Genesis 15:18 – 15:21

Apa yang dijanjikan Allah pada Ibrahim bukanlah tanah tak bertuan, melainkan tanah yang berpenghuni. Bagaimana dengan nasib penduduk aslinya?

Ibrahim pada saat itu hanyalah kepala sebuah keluarga, belum ada konflik keras saat ia mulai menghuni tanah yang dijanjikan. Konflik yang keras terjadi saat keturunan Ibrahim yang sudah menjadi suatu bangsa keluar dari Mesir dan hendak menempati tanah yang dijanjikan tersebut.Mereka bukan lagi berjumlah puluhan, melainkan ratusan ribu orang, pasti akan konflik dengan penghuni asli tanah itu.

Bagaimana petunjuk Allah untuk menyelesaikan masalah ini, dapat kita baca dalam Perjanjian Lama sebagai berikut:

“TUHAN Allahmu akan membawa kamu ke negeri yang bakal kamu diami, dan banyak bangsa akan diusir-Nya dari situ. Di depan matamu Ia akan mengusir tujuh bangsa yang lebih besar dan lebih kuat dari kamu, yaitu orang-orang Het, Girgasi, Amori, Kanaan, Feris, Hewi dan Yebus.  Apabila TUHAN Allahmu menyerahkan bangsa-bangsa itu ke dalam kuasamu dan kamu mengalahkan mereka, bunuhlah mereka semua. Jangan mengasihani mereka atau membuat perjanjian dengan mereka.  Kamu tak boleh kawin dengan mereka, dan jangan izinkan anak-anakmu kawin dengan mereka

Deuteronomy 7:1 – 7:3

Ketika pasukannya tidak membunuh para wanita, Musa berang,

Musa memarahi para perwira, para kepala pasukan dan kepala laskar yang baru saja kembali dari pertempuran. Katanya kepada mereka, “Mengapa kamu membiarkan semua wanita itu hidup? Nah, sekarang bunuhlah setiap anak laki-laki dan setiap wanita yang bukan perawan lagi. Tetapi semua perempuan yang masih perawan boleh kamu ambil untukmu.

Numbers  31:14 –  31:18

Pasukan Israel membawa tangkapan perang mereka

Berapa banyak korban mereka? Dalam penyerangan di Midian, Perjanjian Lama mencatat:

Selain yang sudah diambil para prajurit untuk mereka sendiri, hasil rampasan itu berjumlah: 675.000 ekor domba dan kambing, 72.000 ekor sapi, 61.000 ekor keledai dan 32.000 orang gadis perawan.

Numbers  31:32

Jika untuk perhitungan sederhana setiap gadis perawan memiliki seorang ayah, seorang ibu dan seorang saudara laki-laki yang dibunuh, maka akan ada 96.000 orang Midian yang dibasmi pasukan Musa.

Hukuman bagi para kafir, bunuh

Kerasnya sikap terhadap kaum kafir dapat dibaca dari kisah Nabi Elia ketika menghadapi para penyembah Dewa Baal. Kisahnya panjang terekam dalam Kitab Para Raja I 18, secara ringkas, kisah tersebut sebagai berikut:

Ketika terjadi bencana kelaparan parah di Samaria akibat hujan yang tak turun selama 3 tahun, Raja Ahab melakukan segala cara untuk memanggil hujan, salah satunya adalah dengan sayembara memanggil hujan yang diadakan di atas gunung Karmel.

Di sayembara itu Nabi Elia sebagai wakil dari kaum beriman (penyembah Allah) berhadapan dengan 450 orang Nabi kelompok kafir (penyembah Dewa Baal). Ukurannya sederhana, siapa yang berhasil meminta Tuhannya untuk mendatangkan hujan, maka ia akan menang.

Dalam sayembara yang disaksikan Raja Ahab dan rakyatnya, ternyata para Nabi penyembah Baal tidak mampu mendatangkan hujan walau sudah menggunakan segala macam ritual, sedangkan ritual yang dilakukan Nabi Elia berhasil mendatangkan bantuan Allah berupa hujan deras yang turun. Nabi Elia menang, kaum beriman menang.

Bagaimana hukuman terhadap kaum kafir yang kalah berikut cuplikannya dalam Perjanjian Lama:

Maka berkatalah Elia, “Tangkap nabi-nabi Baal itu! Jangan biarkan seorang pun lolos!”
Lalu orang-orang menangkap nabi-nabi Baal itu, kemudian Elia membawa mereka ke Sungai Kison dan di sana ia membunuh mereka semuanya.

Kings I 18:40

Pembunuhan para Nabi Baal atas perintah Nabi Elia

450 orang kafir dibunuh atas perintah Nabi Elia karena Tuhan mereka ternyata tidak kuasa, karena mereka salah pilih Tuhan.

Hukuman bagi antek musuh, dipancung

Kisah terakhir adalah kisah yang terjadi setelah perang Khandaq di era Nabi Muhammad. Pada perang ini pasukan Mekah membentuk gabungan dengan suku-suku Arab penyembah berhala dan kelompok-kelompok Yahudi untuk menyerang kota Madinah.

Pasukan gabungan Arab berjumlah 10.000 orang, sedangkan tentara Nabi hanya berjumlah 3.000 orang. Menghadapi kekuatan yang lebih besar ini, kaum Muslim menggunakan strategi menghindari benturan kekuatan frontal yang akan merugikan mereka. Kaum Muslim menggali parit dalam (Khandaq) yang tak mungkin diseberangi tentara di jalur yang bisa digunakan penyerbu untuk menyerang kota Madinah, tentara Nabi memilih bertahan di kota.

Strategi ini berhasil. Para penyerbu hanya bisa mengepung dan menghujani Madinah dengan anak panah tanpa bisa melakukan serangan langsung ke tentara dan penduduk Madinah. Karena cuaca yang dingin dan tanpa persiapan untuk pengepungan jangka panjang, pasukan gabungan Arab akhirnya menarik diri setelah satu bulan pengepungan.

Bagi tentara Nabi, setelah pasukan gabungan Arab mundur bukan berarti perang usai. Mereka menuduh salah satu suku Yahudi (Banu Qurayza) yang tinggal di dekat Madinah ikut berkomplot membantu diam-diam pasukan penyerbu itu.

Pasukan Nabi kemudian dikerahkan untuk mengepung kampung Banu Qurayza. Setelah pengepungan selama 25 hari, Banu Qurayza menyerah.

Nabi menyerahkan keputusan untuk Banu Qurayza kepada Sa’ad bin Mu’adz.

… Sa’ad berkata: “Aku putuskan agar para tentara perang mereka dibunuh dan anak-anak mereka dijadikan tawanan”, Maka Beliau (Nabi) berkata: “Sungguh kamu telah memutuskan hukum kepada mereka dengan hukum Allah”

Al-Bukhari no hadits: 3520

Lukisan abad 19 tentang hukuman terhadap Banu Qurayza

Setelah keputusan Sa’ad bin Mu’adz yang disetujui Nabi, beberapa parit digali di pasar Madinah.

Semua laki-laki dewasa Banu Qurayza dipancung di sana, jumlahnya antara 700-800 orang. Rumah dan semua harta benda mereka dibagikan kepada para Muslim, sedangkan para wanita dan anak-anak dibagikan di antara kaum Muslim dengan status sebagai budak.

Nabi Muhammad sendiri mendapat bagian seorang wanita cantik bernama Raihanah yang suaminya termasuk diantara orang yang dieksekusi di pasar Madinah. Sebagaimana dengan Maria al-Qabtiya, ada yang mengatakan statusnya menjadi istri Nabi, tapi ada yang mengatakan statusnya tetap sebagai budak (selir) sampai meninggalnya.

Setelah peristiwa ini suku Banu Qurayza hilang namanya dari muka bumi.

Kekejaman memang perlu?

Setelah kita membaca bahwa para Nabi juga melakukan apa yang disebut dalam istilah modern sebagai pembersihan etnik dengan cara pemancungan tawanan secara massal, tentu tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa kekejaman yang dilakukan teroris ISIS sedikit banyak meniru apa yang pernah dilakukan para Nabi – apapun alasan mereka dan alasan para Nabi.

Jika para Nabi sanggup melakukan tindakan, yang bila diukur dengan ukuran sekarang, sangat kejam, apakah masih layak untuk menggunakan semua tindakan para Nabi sebagai contoh perilaku ideal kita?

Bagi saya tidak. Ada yang buruk dari Nabi yang patut dibuang, walau masih ada yang bisa ditiru.

Entahlah bagi yang lain…


Bacaan: