Beragamnya Al-Qur’an Dalam Sejarah

Apakah Qur’an yang ditangan kita sekarang sama persis dengan Qur’an pada masa Nabi Muhammad?
Kebanyakan umat Islam akan menjawab: “Ya! sama persis”!.
Sayangnya jawaban tersebut salah.
Qur’an yang sampai ditangan kita sekarang adalah hasil beberapa ikhtiar standarisasi yang telah dilakukan umat Islam dalam sejarah. Berikut ini apa yang bisa kita dapatkan dari sejarah Qur’an.
Era Nabi: Beragam Mushaf Yang Terserak
Pada saat Nabi hidup, bentuk Qur’an yang utuh seperti yang kita kenal sekarang belum ada. Segera setiap kali wahyu turun, Nabi menyampaikannya pada para sahabat. Para sahabat menghafalkannya, dan beberapa mencatatnya.
Nabi sendiri menunjuk beberapa sahabat untuk mencatat wahyu-wahyu itu. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab,Zayd bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud adalah nama-nama yang biasa disebut sebagai pencatat wahyu. Tetapi disamping empat orang itu, banyak juga para sahabat yang mencatat wahyu-wahyu itu untuk keperluan pribadi mereka sendiri.
Koleksi catatan wahyu ini (mushaf), bervariasi antara para sahabat. Hal ini karena mereka mencatat apa yang mereka dengar dari Nabi, dan tidak semuanya para sahabat itu hadir ketika suatu wahyu diturunkan.
Apa yang disebut mushaf pada saat Nabi masih hidup, bukanlah Qur’an dalam versinya yang utuh. Mushaf saat itu merupakan fragmen-fragmen dari Qur’an.
Era Abu Bakar dan Umar: Pengumpulan Mushaf
Setelah Nabi wafat, usaha pengumpulan mushaf Qur’an dimulai oleh khalifah Abu Bakar atas usulan dari Umar bin Khattab.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju.
Pengumpulan mushaf pada saat Abu Bakar dan dilanjutkan oleh Umar saat menjadi khalifah, belum merupakan usaha kodifikasi yang serius. Mereka hanya mengumpulkan fragmen-fragmen Qur’an yang berserakan dari para sahabat, tetapi belum menyusunnya ulang dalam satu bentuk mushaf Qur’an yang utuh.
Era Usman: Penyusunan Mushaf Yang Utuh
Kodifikasi Qur’an secara serius baru dilakukan saat khalifah ketiga, Usman bin Affan. Tim penyusun yang dibentuk Usman mengumpulkan semua fragmen-fragmen Qur’an yang ada serta memanggil semua penghafal Qur’an yang ada untuk menyusun suatu mushaf yang utuh.
Ayat-ayat dalam mushaf disusun tidak berdasarkan urutan kronologi ayat-ayat tersebut diturunkan, akan tetapi berdasarkan petunjuk penempatan dari Nabi yang diingat oleh para sahabat.
Dari proses ini, dihasilkan mushaf Qur’an dalam bentuk yang utuh. Mushaf ini dikenal sebagai “Mushaf Usmani”. Mushaf ini terdiri dari 114 surah yang dimulai dari Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Ini yang menjadi cikal bakal semua Qur’an yang beredar didunia.
Mushaf Qur’an Versi Lain
Apakah ada mushaf versi lainnya? Ada.
Sebelum pengumpulan mushaf ini dilakukan oleh negara, secara pribadi beberapa sahabat ada yang sudah melakukan pengumpulan ayat-ayat yang terserak dalam satu mushaf utuh.
Beberapa mushaf yang sempat terekam dalam sejarah adalah mushaf milik Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Hafsah istri Nabi.
Mushaf-mushaf itu memiliki jumlah dan susunan ayat yang berbeda. Sebagai misal Mushaf Ubay memiliki 115 surah, Mushaf Ibn Mas’ud memiliki 108 surah, Mushaf Ibn Abbas 116 surah.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].”
Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Nasib Mushaf Qur’an Versi Lain
Setelah khalifah Usman meresmikan Mushaf Usmani, dia memerintahkan membakar semua mushaf lain yang ada. Sebagian besar mushaf-mushaf itu berhasil dimusnahkan, akan tetapi ada beberapa mushaf yang selamat. Salah satunya adalah Mushaf Hafsah, Mushaf ini baru dimusnahkan pada era Khalifah Marwan ibn Hakam (65 H)
Secara fisik mushaf-mushaf yang lain tersebut berhasil dimusnahkan, akan tetapi beberapa mushaf itu masih hidup dalam bentuk hafalan para sahabat. Karena sebenarnya pada masa itu Qur’an lebih banyak dihafal daripada dibaca.
Para penulis Islam pada masa belakangan, menyayangkan bila hafalan para sahabat itu musnah. Mereka berusaha mengumpulkan lagi hafalan para sahabat tersebut dalam tulisan mereka.
Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (118 H), al-Kisai (189 H), al-Baghdadi (207 H); Ibn Hisyam (229H), Abi Hatim (248 H), al-Asfahani (253 H) dan Ibn Abi Daud (316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberi judul kitab al-masahif atau ikhtilaf almasahif).
Sebagai misal: Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi. Mushaf-mushaf yang lain ini saat ini hanya terdapat dalam beberapa perpustakaan Islam yang tua.
Variasi Mushaf Usmani
Mushaf Usmani dituliskan pada saat aksara arab masih dalam bentuk awal. Huruf arab belum mengenal tanda baca dan tanda titik.
Tanda baca dalam huruf arab baru ditemukan pada pertengahan abad 7. Sistem tanda baca huruf arab diperkenalkan oleh Abu al-Aswad al-Dua’ali, seorang sarjana pada masa Dinasti Umayyah.
Absennya tanda baca ini menyulitkan umat Islam yang bukan penutur bahasa arab asli. Hal ini juga dikarenakan Qur’an juga mulai disebarkan lewat tulisan bukan hanya hafalan.
Akibatnya banyak sekali variasi cara pembacaan Qur’an, walaupun mereka menggunakan mushaf yang sama. Para penyalin Qur’an menambahkan berbagai tanda baca untuk memudahkan mereka untuk membaca Qur’an. Akibatnya muncul berbagai versi bacaan Qur’an.
Pada era Dinasti Abbasiyah, khalifah pada tahun 324H memerintahkan Ibn Mujahid untuk menyeragamkan bacaan Qur’an yang ada. Dari puluhan versi bacaan Qur’an, dipilih tujuh versi bacaan yang direstui.
Ke tujuh versi bacaan Qur’an inilah yang kemudian digandakan dan disebarkan ke seluruh pelosok negara Islam.
Penyeragaman Qur’an Oleh Mesin Cetak
Pada abad ke 20 dari tujuh versi penulisan Qur’an, hanya tinggal tiga yang masih beredar yaitu versi Nafi, versi Abu Amr dan versi Asim.
Pada tahun 1924, Qur’an versi Asim pertama kali dicetak di Mesir, versi ini kemudian populer dengan sebutan “Edisi Mesir”. Kerajaan Arab Saudi kemudian menjadikan “Edisi Mesir” sebagai standar kerajaan dan mencetak secara besar-besaran.
Dalam rangka dakwah Islam, Kerajaan Arab Saudi kemudian mencetak dalam jutaan salinan dan menyebarkan keseluruh umat Islam di seluruh dunia.
Tindakan Kerajaan Arab Saudi, yang menyebarkan secara murah bahkan gratis salinan versi Asim menyebabkan tersisihnya dua varian Qur’an lain yang masih tersisa yaitu versi Nafi dan versi Abu Amr. Dua versi Qur’an ini masih bisa ditemui walau langka di wilayah Maroko dan sekitarnya.
Alhasil, versi Qur’an yang ada ditangan kita dan tersebar ke seluruh dunia adalah hasil standarisasi akhir dari Kerajaan Arab Saudi.
Bacaan:
* Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur”an, Yayasan Abad Demokrasi, 2011
saya yakin Alquran banyak ragamnya video dari Youtube ini bisa juga membuka wawasan dan bisa juga mengagetkan. Ini ALquran tertua yang sedang dipelajari oleh ilmuwan Jerman:
http://www.youtube.com/watch?v=Zsh1ZyXnMT4&feature=related
@Humala: terima kasih infonya. Tentunya kita harus tetap kritis menerima informasi darimanapun.
saya mau bertanya tentang rasm al-ustmani
jadi ciri-ciri rasm al-usmani sendiri apa??????jawaban beserta refrrensi nya
@Ali Q Lay Xfriend: anda menanyakan hal teknis tentang cara penulisan (rasm) yg tak ada relevansinya dengan artikel saya.
Saya tidak akan menjawab, silakan anda cari referensi sendiri.
Terima kasih
Bismillah,
itulah pinternya khalifah utsman,melakukan standarisasi dari berbagai macam mushaf yg beredar klo tidak jaman skrg org baca Quran pake dialek daerah masing2.intinya keseragaman bro, biar diseluruh dunia cara bacanya sama tapi makna tetap sama.
Mushaf utsman adalah salinan dari mushaf Abu bakar pertama kali yg diteruskan kpd khalifah umar bin khattab dan disimpan oleh hafsah istri umar. mengapa mushaf Utsman yg digunakan?? itu telah disetujui dan disepakati para sahabat yg juga sbagai saksi pd waktu itu.untuk standarisasi aja bro, soalnya waktu itu banyak mushaf yg beredar dg jumlah surat dan ayat yg berbeda2 pula. nah untuk keseragaman juga menghindari perselisihan dan perpecahan di masa datang disepakatilah oleh para sahabat bahwa mushaf utsman sbg mushaf standar.
buktinya?? anda pergi ke kantor MUI bilang kalo anda mau minta bukti kalo mushaf utsman adalah sama dengan mushaf Abu bakar.pasti dikasih koq
beda cara tulis,tanda baca,dialek tapi isi/makna tetap sama bro
apa bedanya “dilarang membunuh/jangan membunuh/tidak boleh membunuh” ??
salut buat tulisan anda,kalimatnya cantik2 enak didengar.cukup menghibur 🙂
salam
@Risa: mushaf Usman berbeda dengan mushaf Abu Bakar dan juga mushaf Hafsah.
Mushaf Abu Bakar hanyalah kumpulan catatan Qur’an dari berbagai media (kulit kayu, kulit binatang , dll).
Mushas Hafsah sudah berupa buku, dan tidak diserahkan ke Usman saat pengumpulan mushaf sehingga tidak ikut dibakar oleh Usman. Mushaf Hafsah baru dibakar pada era Khalifah Marwan Ibn Hakam.
anda dapat sumber darimana koq ngawur bgitu.anda bisa tunjukan sumber datanya.saya bisa bantah karena sumber itu dhaif(tidak layak dipercaya).kami umat muslim hanya mempercayai sumber yg shahih,dari sanad dan perawi yg layak dipercaya,tidak terputus.anda pahami dulu ttg dhaif dan shahih baru membuat statement lbh jauh
percuma berdebat dg anda karena anda memakai sumber yg salah.ya mgkn memang tugas anda sbg misionaris 🙂
@Risa: salah satu rujukan yang saya pakai adalah buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal yang kata pengantarnya ditulis M. Quraish Shihab, buku ini merujuk kepada sumber-sumber Islam standard.
Buku ini ada di koleksi e-book di NontonDunia.com , dan bisa anda download di sini: http://www.4shared.com/office/eL2GgDW4/TaufikAdnanAmal_-_Rekonstruksi.html
Kalau anda tidak setuju, silakan tunjukkan di poin yang mana? trus apa referensi anda?
Belum berdiskusi kok ngamuk dan nuduh yang macam-macam 😉
Keotentikan Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.
Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum ‘Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya.”1 Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.
Bukti-bukti dari Al-Quran Sendiri
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi’ah kontemporer, Muhammad Husain Al-Thabathaba’iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan –tulis Thabathaba’iy lebih jauh– adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.2
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.3
Huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. (Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab).
Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19.
Huruf-huruf kaf, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19.
Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya’) dan (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha’) dan (ha’) pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18.
Huruf-huruf (ha’) dan (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.
Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang terdapat di celah-celah Kitab Suci tersebut.
Bukti-bukti Kesejarahan
Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari.
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran.
(1) Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab –bahkan sampai kini– dikenal sangat kuat.
(2) Masyarakat Arab –khususnya pada masa turunnya Al-Quran– dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
(3) Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
(4) Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
(5) Al-Quran, demikian pula Rasul saw., menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
(6) Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
(7) Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita –lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Quran.4
Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk “kitab” pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.5
Penulisan Mushhaf
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan ‘Umar ibn Al-Khaththab menjadi risau tentang “masa depan Al-Quran”. Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut –dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.– namun pada akhirnya ‘Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan –apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain.
Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri.
Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja’akum Rasul min anfusikum ‘aziz ‘alayh ma ‘anittun harish ‘alaykum bi almu’minina Ra’uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim.
Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19.
Penutup
Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti yang dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan ayat-ayat Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin terpeliharanya Kitab Suci ini, antara lain berkat upaya kaum beriman.
Catatan kaki
1 ‘Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, t.t., h. 50.
2 Muhammad Husain Al-Thabathabaly, Al-Qur’an fi Al-Islam, Markaz I’lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah, Teheran, h. 175.
3 Mustafa Mahmud, Min Asrar Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1981, h. 64-65.
4 ‘Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-‘Irfan i ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Kairo, 1980, jilid 1, h. 250.
5 Ibid., h. 252.
Sumber : MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 – Fax. (022) 707038
Allah maha pemaaf lagi maha penyayang
tidak ada yg ngamuk mas,orang itu gambarnya senyum 🙂
@Risa: terima kasih untuk komentarnya yang panjang lebar.
Poin dalam tulisan saya:
Penyusunan mushaf Qur’an ada 3 macam:
* Menuliskannya dalam bentuk buku secara personal oleh sahabat –> hasilnya bermacam mushaf , diantaranya mushaf Hafsah, Ali, Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud
* Dikumpulkan salinan fisiknya oleh negara, pertama oleh Abu Bakar dilanjutkan Umar –> pengumpulan semua salinan fisik wahyu (kulit binatang, kulit kayu, batu dll), tapi abu Bakar tidak menuliskan ulang dalam bentuk buku (mushaf). Ada banyak duplikasi karena wahyu yg satu mungkin ditulis dalam berbagai media oleh beberapa sahabat secara terpisah.
* Menuliskannya dalam bentuk buku oleh negara (khalifah Usman) –> catatan wahyu yg berserakan ditulis ulang ke dalam sebuah buku oleh tim penulis yg di bentuk negara. Hasilnya mushaf Usman yang dijadikan mushaf baku yang diperbanyak salinannya. Mushaf versi yang lain kemudian dikumpulkan dan dibakar untuk mencegah perbedaan Qur’an.
Jadi memang mushaf Hafsah (disusun personal), mushaf Abu Bakar (kumpulan berbagai media), mushaf Usman (disusun dan diverifikasi negara) memang berbeda.
sy sdh donlot filenya.sy mau komentari dulu kata pengantar oleh Dr. M. Quraish Shihab. saya bisa dapat point dari kata pengantar pak Quraish pada alinea paling bawah,
“Karya Sdr. Taufik Adnan Amal ini tidak lepas dari upaya-
upaya tersebut. Salah satu keistimewaannya, yang bisa saja menjadi
sisi kontroversialnya, adalah banyaknya kutipan dari karya-karya
Noeldeke, Jeffery, Bell serta lainnya, walaupun tidak diimbangi
dengan karya-karya spesialis al-Quran dari kalangan Islam, sehingga
kemudian menimbulkan perbedaan persepsi. Namun demikian,
kita berterima kasih kepada Saudara Taufik yang telah memberikan
kontribusinya dalam lebih memperkaya khazanah al-Quran.
Tanggapan dan kritik dalam bentuk buku atau tulisan akan jauh
lebih bermanfaat dari pada reaksi yang lebih mengandalkan emosi”.
Dlm hal ini pak Quraish hanya sekedar memberikan penghargaan atas kontribusi sdra. taufik adnan dalam usaha untuk menyingkap sejarah Al Quran bukan berarti menyetujui tulisan Taufik adnan.
Dalam membuat riset, taufik adnan hanya menggunakan acuan/kutipan dari karya2 luar/barat tidak diimbangi dengan kutipan dari karya2 spesialis Al Quran dari kalangan islam.yg tentunya klo anda membuat riset tanpa mengumpulkan data2 dari berbagai sumber, riset anda tsb tidak bisa dibilang akurat.
mengenai isi tulisan Taufik adan, saya akan memberikan counter berupa dialog antara Dr. Ugi Suharto(seorang penulis yg menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC) dengan Taufik adnan. lbh obyektif krn langsung dalam pokok permasalahan..
Dr. Ugi Suharto VS Dr.Taufik Adnan Amal
Thursday, 09 July 2009 07:40 publisher
link : http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=228:dr-ugi-suharto-vs-taufik-adnan-amal&catid=50:nasional&Itemid=111
Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul “Edisi Kritis Alquran”, karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan “validitas” teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul “Edisi Kritis Alquran”, karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan “validitas” teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.
Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran.” Rencana penulisan “Edisi Kritis Quran” atau “Quran Edisi Kritis” versi kelompok Islam Liberal itulah yang pernah saya kritik, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Ada baiknya dialog itu saya turunkan kembali dalam website ini, agar dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang upaya yang sudah pernah dicoba oleh para orientalis tersebut.
8 Januari 2002 (9 : 23 AM)
Ugi Suharto:
Salam khusus untuk Bung Taufik Adnan Amal. Saya sedang menulis sebuah artikel dalam Bahasa Malaysia mengenai Mushaf Usmani untuk Bulletin al-Hikmah yang diterbitkan oleh ISTAC. Diantara yang saya tulis sebagaiberikut:
“Usaha Taufik Adnan Amal dari Indonesia untuk mengeluarkan Qur’an Edisi Kritis (QEK) sebenarnya merupakan satu langkah mundur menghabiskan usianya mengekori para Orientalis tua yang dahulunya pernah mempunyai “ambitious project” tetapi telah gagal.” Hal ini dinyatakan sendiri oleh Gerd-R. Puin: “The plan of Bergstrasser, Jeffery and later Pretzl to prepare a critical edition of the Qur’an was not realized, and the collection of variants derived from real old codices failed to survive the bombs of World War II”(Lihat, The Qur’an as Text, Leiden: 1996, h. 107)
T. Welch dalam Encyclopaedia of Islam juga menulis mengenai keyakinan Orientalis yang semakin kendor dalam projek ini: “Western scholarship has not reached a consensus on what value this mass of allegedly pre-Uthmanic variants has for our knowlwdge of the history of the Kur’an. Confidence in the variants declined during the 1930s as they being collected and analysed.” (EI2, V 407b)
Begitu juga kata John Burton dalam EQ yang mengomentari keputus-asaan para Orientalis untuk meneruskan projek mereka: “Interest has focused principally on the Qur’an as a literary monument and the labors of many outstanding experts might have resulted in a scholarly edition of the entire text. Such a project was, indeed, planned in the earlier years of the century by G. Bergstasser, A. Jeffry and others but was frustrated by the outbreak of the second world war.” (Lihat, Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: 2001, h. 361)
Abu Ubayd (w. 224/838) pernah berkata: “Perbuatan Utsman mengumpulkan dan menyusun al-Qur’an akan senantiasa diambil perkiraan, karena ia merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan kelemahan-kelemahan merekalah yang terdedah.”(Lihat, Tafsir al-Qurtubi, bagian Mukaddimah, 1: 84).
Herr Taufik, was ist ihr Kommentar? Auf Wiederh?ren….. (Ugi Suharto, ISTAC)
8 Januari 2002 (8 : 15 PM)
Taufik Adnan Amal:
Mas Ugi, saya tidak akan banyak berkomentar. Tetapi anda terlalu jauh membandingkan upaya pembuatan Quran Edisi Kritis (QEK) dengan yang dilakukan kalangan orientalis. Sebaiknya, sebelum anda merampungkan tulisan anda untuk ISTAC itu, anda baca dulu buku saya, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, untuk memahami gagasan inti saya. Demikian pula, anda bisa mengontak teman-teman di JIL untuk mendapatkan makalah saya di TUK, “Menggagas Edisi Kritis al-Quran”, supaya anda tidak terlalu dini menyimpulkan upaya QEK. Saya juga ingin meminta maaf kepada para jamaah islib, karena tidak bisa membalas posting-posting mereka yang menyangkut saya selama sebulan terakhir ini, karena sedang “nyepi” ke Maluku Utara, dan bersama beberapa teman dari FkBA yogya melakukan “wisata konflik” di berbagai bekas pusat kerusuhan disana — sampai ke pedalaman Halmahera Utara.
Salam, Taa
9 Januari, 2002 (9 : 47 AM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, terima kasih atas respon singkatnya. Saya ingin melanjutkan dialog kita.Kalau memang upaya Anda itu tidak sama dengan, dan tidak meniru-niru, apa yang ingin dibuat oleh orientalis itu, sepatutnya Anda tidak menggunakan istilah mereka “A Critical Edition of the Qur’an” alias Qur’an Edisi Kritis (QEK). Gunakan dong istilah yang lain, yang lebih kreatif.
Istilah QEK adalah istilah yang sudah mapan dikalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur’an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Pokoknya ingin “deconstruct”, meminjam Derrida, Mushaf Usmani sehingga menjadi mushaf lain.
Saya sekali lagi ingin mengutip, dan ini dari Arkoun, bahwa QEK yang saya sebutkan memang bertujuan begitu, dan upaya itu sudah tidak diminati lagi oleh para orientalis kawakan pasca Noldeke-Blachere.
“Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur’an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR’AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere.” (Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden 2001, 1: 420b.)
Kalau memang upaya Anda itu berbeda dengan usaha orientalis yang sudah gagal itu, maka itu bukan QEK namanya, dan dari segi ilmiah Anda tidak berhak menggunakan nama itu. Kecualilah kalau Anda sendiri tidak ambil pusing tentang penggunaan istilah yang mana dengan istilah-istilah itu ilmu dan disiplin ilmu dapat berdiri dan dapat dibedakan satu sama lain. Otherwise, it will lead to a confusion.
Bung Taufik, sekian dulu dari saya. Danke sch?n. Antworten Sie, bitte!
Wassalam Ugi Suharto – ISTAC
10 Januari, 2002 (4: 34 PM)
Ugi Suharto:
Bung Taufik, diakhir-akhir makalah itu Anda menulis: “Gagasan penyuntingan kembali suatu edisi kritis al-Quran yang diajukan disini, seperti terlihat, bukanlah hal yang baru atau asing dalam perjalanan historis kitab suci kaum Muslimin. Secara sporadis, gagasan ini telah diperjuangkan selama berabad-abad oleh sejumlah sarjana Muslim, tetapi tanpa membuahkan hasil yang berarti.”
Setelah membaca makalah Anda, kesimpulan dan komentar saya adalah:
“Upaya Anda itu lebih kepada memperkenalkan “Ragam Bacaan (qira’ah)” dan “Ragam Tulisan (rasm)” kepada masyarakat awam. Namun Anda ingin juga menyunting bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan tersebut kedalam Mushaf Usmani. Oleh karena itu, perbedaan upaya Anda dengan QEK versi orientalis itu just in degree and not in kind, karena sama-sama ingin mengubah Mushaf yang ada. Disisi lain Anda mengaburkan perbedaan antara “al-Qur’an” yang mutawatir, dan yang diterima oleh awam dan sarjana, dengan “qira’ah” yang kebanyakannya bukan mutawatir, dan hanya diketahui oleh para sarjana, dan Anda mencampur-adukkan antara keduanya kepada orang awam dengan gagasan penyuntingan itu.
Kalau tujuan Anda ingin mencerdaskan umat bukan dengan QEK caranya. Ajak mereka belajar Islam betul-betul dengan guru-guru yang betul juga. Atau Anda terjemahkan saja kitab-kitab tafsir besar yang memang menunjukkan qira’ah yang beragam pada tiap-tiap ayat al-Qur’an, seperti pada tafsir al-Qurtubi misalnya. Dan upaya ini lebih produktive ketimbang QEK yang malah membawa kekeliruan dan fitnah kepada umat dan kepada Anda sendiri nantinya. Percaya deh….
Anda menyatakan bahawa upaya Anda itu bukanlah baru. Saya ingin bertanya; siapa “sejumlah sarjana Muslim” yang Anda maksudkan itu yang telah memulai upaya seperti upaya Anda?
Anda mengemukakan kasus Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh yang menurut Anda “keduanya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’b, atau bacaan dalam kerangka konsonantal apa pun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan masuk akal” yang menyebabkan mereka ditolak ulama Islam.Saya perlu nyatakan disini bahwa kesalahan Ibnu Miqsam dan Ibnu Syanabudh itu bukan seperti yang Anda nyatakan. Yang benar kesalahan Ibnu Miqsam karena menyepelekan sanad, dan kesalahan Ibnu Syanabudh karena menyepelekan mushaf. (Lihat, Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah, ed. G. Bergstraesser, 2: 124).
Kedua-duanya menyepelekan salah satu dari tiga rukun qira’ah yang telah disepakati oleh para ulama. Apakah Anda juga ingin mengikuti jejak langkah mereka berdua?
Dalam kasus di atas Anda tidak merujuk kepada Ibn al-Jazari yang saya sebutkan itu, tapi Anda merujuk pada Fihrist Ibn Nadim yang diterjemahkan oleh Dodge. Saya cek rujukan Anda dan saya tidak menemukan klaim Anda itu. Terjemahan Fihrist hal. 70-72 itu hanya membincangkan Ibn Syanabudh dan tidak Ibn Miqsam. Malah di situ Ibn Nadim sendiri mengatakan bahwa Ibn Syanbudh “was religious, nonaggressive, but foolish.”….dan “he had little science.” (hal.70) Ibn Nadim juga menyatakan bahwa Ibn Syanabudh bertaubat dan menuliskan taubatnya seperti yang dinyatakan dalam Fihrist sebagai berikut: “I used to read expressions differing from the version of Uthman ibn ‘Affan, which was confirmed by consensus, its recital being agreed upon by the Companions of the Apostle of Allah. Then it became clear to me that this was wrong, so that I am contrite because of it and from it torn away. Now before Allah, may His name be glorified for from Him is acquittal, behold the version of ‘Uthman is the correct one, with which it is not proper to differ and other than which there is no way of reading.” (h. 72)
Jadi apa alasan Anda membela-bela Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudh yang telah ditolak oleh para sarjana itu? Anda sendiri mengakui bahwa usaha mengubah Mushaf Usmani itu tidak “membuahkan hasil yang berarti.” Itulah yang saya katakan sebagai langkah mundur! Ketika para ulama kita berbincang mengenai ijtihad, ia tidak ditujukan kepada usaha untuk menyalahi Mushaf Usmani. Upaya Anda itu tidak masuk dalam ruang lingkup ijtihad. Ini sekali lagi salah kaprah menggunakan istilah “ijtihad”. Apa beda “Ijtihad” atau pembaharuan Mushaf Usmani dengan membunuh mushaf itu? Sekian dulu, karena sudah terlalu panjang. Salam ‘ala man ittaba’a al-huda
Ugi Suharto – ISTAC
11 Januari, 2002 (12 : 47 AM)
Taufik Adnan:
Bung Ugi,
1. Anda tampaknya mereduksi kandungan tulisan itu hanya pada aspek kiraat. Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. Alasan kenapa rasm ini mesti disempurnakan telah dikemukakan dalam tulisan itu. Saya tidak sependapat dengan pandangan yang menenggelamkan berbagai inkonsistensi ortografis teks utsmani ke dalam doktrin i’jaz al-Quran.
2. Anda masih belum bisa membedakan antara gagasan QEK dengan gagasan para orientalis, yang menghendaki adanya versi alternatif al-Quran – sebagaimana yang eksis dalam tradisi biblical studies. Upaya peramuan ragam bacaan — termasuk di luar tradisi kiraat tujuh — dan penyempurnaan ortografis ditujukan untuk menghasilkan teks dan bacaan yang lebih baik dibandingkan yang ada sekarang ini — alasan dan argumentasi untuknya dikemukakan dalam tulisan itu. Ikhtiyar dan irtijal tentu saja akan dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan gagasan Ibn Mujahid yang menabukan penggabungan ragam kiraah yang memiliki asal-usul berbeda tentu saja mesti dilangkahi, karena, seperti disebutkan, sistem-sistem bacaan yang ada, termasuk kiraat tujuh, dibangun dengan cara semacam itu.
3. Kenapa kiraat di luar tradisi utsmani digunakan?
Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan “ibil” (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan “al-sama'” (langit), “al-jibal” (gunung-2), dan “al-ardl” (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas’ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel “lam”, yakni “ibill” (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas’ud “min dzahabin” untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan “min zukhrufin” dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.
4. Yang biasanya dipandang sebagai bacaan-bacaan mutawatir, pada hakikatnya adalah bacaan yang ditransmisikan secara tunggal (ahad) dari Nabi ke para imam kiraat yang populer. Mata rantai periwayatannya baru bersifat mutawatir dalam trasmisinya dari para imam tersebut. Hal ini telah dikatakan jauh hari oleh al-Zarkasyi.
5. Saya pikir upaya penerjemahan tafsir-tafsir klasik itu bagus. Tetapi, dengan begitu kita hanya produktif sebagai perekam yang pasif. Kalau upaya ini dijalankan dalam semua lini, kita tentunya berada dalam posisi status quo.
6. Selain Ibn Miqsam dan Ibn Syanabudz, Isa ibn Umar al-Tsaqafi bisa disebut untuk sarjana yang tidak sepakat dengan penunggalan teks (utsmani). Sementara pertikaian di kalangan sarjana Muslim tentang kiraah sepuluh dan kiraah empat belas merupakan upaya untuk memperluas cakupan lectio vulgata di luar tradisi kiraat tujuh. Di bidang ortografi, Abu Bakr al-Baqillani, Izz al-Din Abd al-Salam, merupakan sarjana stok masa lalu yang tidak menyepakati pembakuan teks utsmani. Untuk periode modern, beberapa nama yang disebut dalam tulisan merupakan contohnya.
7. Ibn Miqsam memang membolehkan umat Islam menggunakan bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasan dan logis. Dalam ilmu kiraat, hal ini dikenal sebagai pembacaan “‘ala qiyas (aw madzahib) al-‘arabiyyah” atau “irtijal”. Karena itu, prasyarat kesesuaian dengan teks terkadang tidak terpenuhi. (Tentang Ibn Miqsam, bisa dilihat dalam Ibn Miskawaih, Tajarib, ed. Amedroz, 1, 285,13).
Sementara Ibn Syanabudz seperti kutipan mahdar dari fihrist dipersalahkan karena membaca, dan membolehkan umat Islam membaca, menurut bacaan para sahabat — penelitian dari ragam bacaannya dalam Fihrist menunjukkan ia lebih cenderung kepada Ibn Mas’ud dan Ubay. Dengan demikian, Ibn Syanabudz melangkahi prasyarat mutawatir. (Ketiga prasyarat yang lazim disepakati — ketiganya, dalam gagasan ortodoksi, merupakan kesatuan) adalah mutawatir, keselarasan dengan teks utsmani, dan keselarasan dengan kaidah bahasa. Penolakan terhadap kedua pakar ini syarat dengan nuansa politik — para wazir Abasiyah terlibat secara intens dalam hal ini!
8. Ikhtiyar dan irtijal dalam rangka menyusun suatu sistem bacaan adalah ijtihad. Kaitannya sangat jelas. Anda bisa lihat, dengan ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-10, tidak ada lagi upaya yang substansial untuk membangun sistem kiraat tersendiri. Upaya-upaya semacam ini, dalam doktrin Ibn Mujahid yang telah disitir, tidak diperbolehkan lagi. Kalau ijtihad setelah itu hanya bisa dilakukan secara parsial, maka dalam bidang kiraat, ikhtiyar hanya digunakan untuk mematut-matut mata rantai periwayatan kiraat.
9. Dengan menyunting kembali mushaf utsmani, seperti digagaskan, mushaf ini akan semakin lebih konsisten dan logis.
Salam Taa
11 Januari, 2002 (3 : 13 PM)
Ugi Suharto:
Saudaraku Bung Taufik, Mungkin ini posting terakhir saya mengenai dialog kita. Saya kini sudah mengetahui posisi Anda dengan lebih tepat. Jadi saya ada justifikasi yang lebih kuat untuk tetap memasukkan nama Anda, dalam tulisan saya, sebagai orang yang terpengaruh dengan gagasan QEK orientalis. Sebelum saya menutup dialog ini saya ingin sekali lagi memberi komentar atas tanggapan Anda pada posting yang lalu. Saya tidak mereduksi makalah Anda. Saya tahu skop perbincangan Anda, oleh sebab itu saya katakan bahwa Anda ingin memperkenalkan “ragam qira’ah” dan “ragam rasm” kepada masyarakat awam. Sengaja saya fokuskan komentar saya pada aspek qira’ahnya saja karena itu yang paling penting. Dan buktinya ketika Anda memberikan komentar kembali Anda pun lebih memfokuskan pada qira’ah juga. Karena ini memang isunya yang paling utama. Adapun mengenai tulisan teks (rasm) itu bukan isu utama, buktinya adalah sampai hari ini umat Islam dan ulama Islam tetap membenarkan wujudnya “rasm usmani” dan “rasm imla’i”, kedua-dua rasm ini tetap dipakai sampai hari ini. Jadi tidak ada bantahan terhadap Imam al-Baqillani rahimahullah.
Anda tahu bahwa para ulama sepakat bahwa “al-rasm tabi’u li al-riwayah”. Nah, lalu kenapa isu ortografi ini dibesar-besarkan? Ini adalah agenda para orientalis yang ingin menyodorkan konsep mereka “reading follows the text”. Bagi para orientalis ini, text itulah yang penting, (kerana mereka memang dari tradisi Ahlul Kitab, yang kata al-Attas, “bookish”) dan perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya.
Gagasan ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya “Die Richtungen der islamischen Korananslegung” (Leiden: E. J. Brill, 1970), h. 3-4. Silahkan rujuk. Cara membaca sejarah al-Qur’an ala Goldziher ini salah. Karena, kalaulah benar dakwaan Goldziher bahwa perbedaan bacaan itu bersumber dari teks yang tidak ada titik dan harakahnya, sudah tentu tidak ada lagi qira’ah tujuh, sepuluh, atau empat belas itu, dan sudah tentu terlalu banyak qira’ah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuklah qira’ah yang tidak tsabit dari Rasulullah (SAW). Fakta dan realitas ini bertentangan dengan kesimpulan Goldzhiher.
Saya berharap Bung Taufik tidak terperangkap dengan agenda halus mereka. Ingat Goldziher itu pernah meluahkan isi hatinya memuji Islam dan al-Qur’an. Namun sayang Goldziher yang kita ketahui itu adalah seseorang yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber-sumber Islam, dan bukan kah Goldziher yang pernah menggoreskan kata-katanya dalam dirinya sebagai berikut:
“I truly entered into the spirit of Islam to such an extent that ultimately I became inwardly convinced that I myself was a Muslim, and judiciously discovered that this was the only religion which, even in its doctrinal and official formulation, can satisfy philosophical minds. My ideal was to elevate Judaism to a similar rational level.” (Lihat Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith Literature, The Islamic Text Society, 1993, h. 124-125 yang diambil dari R. Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary, Detroit: 1987, h. 20).
Bung Taufik, Contoh-contoh qira’ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan QEK itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira’ah dan al-Qur’an. Contoh “ibil” dengan “ibill” yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg.
Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai “ibil” (takhfif) dan “ibill” (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan “ibil” (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm “ibil” itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis “ibill” (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata.
Jadi mana yang lebih komprehensif menurut “akal” Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan “ibil” itu mu’annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya “khuliqat”. Bagaimana dengan “ibill”? Saudaraku Bung Taufik,Saya kira sampai disini saja dialog kita. Anda berhak untuk membuat komentar atas komentar saya ini, tapi saya mungkin tidak akan menjawabnya. Saya kira sudah memadai bagi saya untuk mengetahui posisi Anda. Jadikanlah semua komentar itu sebagai nasihat. Ad-Din an-Nasihah.
@Risa: terima kasih untuk sekali lagi mengisi panjang lebar komentar ini.
Bila anda teliti dengan apa yang anda kutip, semuanya tidak berkaitan dengan fakta sejarah yang saya sampaikan di tulisan ini. Fakta itu adalah:
Ada beragam mushaf sahabat
Sejarah mencatat adanya mushaf Ali, Hasfas, Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud.
Mushaf-2 ini disusun secara personal oleh masing-masing mereka berdasarkan hafalan atau catatan pribadi mereka. Mushaf-2 ini tidak melalui proses verifikasi yang melibatkan banyak orang dengan berbagai sumber, oleh karena itu ada perbedaan di masing-masing mushaf tersebut.
Usman melakukan standarisasi, dan membakar semua mushaf lainnya
Sejarah juga mencatat Usman yang membentuk tim yang beranggotakan para penghafal Qur’an untuk menyusun Qur’an standard. Pada penyususnan oleh Usman ini, para sahabat saling melakukan cross-check hafalan masing masing dan verifikasi dengan berbagai catatan Qur’an yang ada. Proses ini menghasilkan Qur’an dengan derajat ketelitian lebihh tinggi dibanding dengan mushaf-2 personal yang ada. Setelah mushaf standar selesai, Usman memerintahkan hanya mushaf yang sudah diverifikasi banyak ahli (mushaf Usmani) yang boleh beredar untuk mencegah masalah lebih lanjut, mushaf lainnya dikumpulkan dan dibakar.
Jadi, balik kepada diskusi awal, dari fakta di atas, memang ada perbedaan antara mushaf Hafsah, Abu Bakar dan Usman.
Jadi mohon anda bisa fokus kepada fakta sejarah yang saya sampaikan, dan tidak mengomentari hal lainnya yang tidak berkaitan dengan tulisan saya, seperti motif-motif penulis, teori konspirasi atau segala macamnya.
Assalamualaikum…maaf numpang nimbrung sedikit,
..saya suka tulisan mas Judhi yg begitu terbuka dan jernih dan didukung fakta sejarah serta tanpa syak wasangka macam-macam, namun kebanyakan komentar-2 diatas sepertinya ditulis orang yg telah termakan doktrin membabi buta “pokoknya”, shg malah terkesan begitu “tergopoh-gopoh” ketika diungkapkan fakta sebenarnya.
Saya menduga ini karena kekeliruan penyampaian sejak awal dlm “kepentingan” syiar Islam oleh para pendahulu kita. Sebagai contoh, betapa “tergopoh-gopohnya” saya diketika pertama sekali disodorkan fakta sejarah bahwa ternyata Masdjidil-Aqsa baru dibangun untuk pertamakalinya oleh Kafilah penerus Nabi pd th 690 M -700M, dan inipun bisa terjadi dan terlaksana setelah menaklukkan berdarah-darah Jerusalem dari tangan Kekaisaran Romawi, padahal kita semua tahu, diajar dan bahkan mengajarkan hingga kini bhw peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi th 621 M.Fakta sejarah bahkan mengungkap bhw sebelum era penaklukan Jerusalem oleh para Kalifah, tidak ada bangunan apapun di area tsb apalagi sebuah masjid atau sekedar musholla, karena masih dikuasai dan dokontrol oleh tentara Kekaisaran Romawi….
Pahit rasanya menulis fakta ini, tapi mau apalagi karena fakta sejarah memang demikian. Lantas apa komentar orang Betawi bila (ma’af) umpamanya kemudian terbit sebuah buku primbon orang Jawa Tengah yg menulis bhw Pangeran Diponegoro yg hidup era 1800 M mengaku pernah pergi ke Tugu Monas di Jakarta..??
..jadi marilah kita membuka pikiran dan akal sehat kita tanpa perlu mencaci maki dlm bentuk komen kasar yg tdk mendidik…
Wassallam…..
@Ali Irham M Zein: memang terhadap yang kita cintai, kita kadang menutup mata atau bahkan menolak percaya bila ada yang mengungkap hal yang tidak sempurna darinya.
Jadi saya bisa paham bila ada yang langsung naik pitam dan kehilangan nalarnya saat agamanya dikritik..
Terima kasih.
..trimakasih mas Judhi yg dg segera menanggapi komentar saya, mudah-2an ke depan kita dan umat Islam umumnya dapat menerima kenyataan berupa fakta sejarah walaupun itu pahit, shg kita tidak perlu “bereaksi berlebihan” karenanya….
Saluuut buat anda bro @ Judhianto…..!!! Anda bisa BERANI karena menemukan kebenaran yang orang lain tidak temukan….!!!
Saya Katholik Roma….!!! Dengan MENGAKUI , maka ‘ KEBOHONGAN ‘ di PENJARAKAN….!!!
( Paus Palulus II )
Semakin Sejarah Al Quran DITUTUP TUTUPI…..maka akan semakin DAHSYAT daya Rusaknya ketika hal itu TERBONGKAR….!!!
Saya SETUJU…bahwa Muhammad SAW sudah merubah Hindu Purba ( Quraishy ) menjadi Percaya Tuhan….!!! ini yang PENTING dari Al Quran….!!!
@Terang Dunia: proses standarisasi merupakan proses yang wajar untuk semua kitab suci.
Pada Al-Qur’an, standarisasi ini terjadi pada saat khalifah Usman – sekitar 25 tahun setelah Nabi Muhammad wafat.
Pada Bible, Injil tentang kehidupan Yesus paling tidak mulai ditulis setelah tahun 70 M lama setelah Yesus wafat oleh banyak ulama Kristen dan baru disortir dalam kelompok kitab kanonik (diakui) dan apokrif (diragukan) pada Konsili Nicea pada tahun 325M.
Untuk masalah Teologi, untuk Islam – praktis tidak ada perubahan sampai kini sejak disampaikan Nabi Muhammad, sedangkan untuk Kristen konsep apakah Yesus itu Tuhan atau manusia yang merupakan konsep pilar Kristen baru dirumuskan pada Konsili Nicea tahun 325 M.
Untuk proses standarisasi kitab suci, tidak ada yang ditutup-tutupi, hanya memang tidak banyak umat awam yang tahu (baik Islam maupun Kristen).
Kepercayaan Quraish itu Hindu purba? boleh saya tahu referensi anda?
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Berhala_(Islam)
2. http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=1391:sejarah..
3. http://tatangmanguny.wordpress.com/kontroversi/istilah-allah-dan-kabah-dari-hindu/
4. http://books.google.co.id/books?id=b_CoWuvG_T0C&pg=PA29&lpg=PA29&dq=agama+suku+quraisy&source=bl&ots=rJrELClH1I&sig=Bduk8nDkUXl3QwVUy_GezJfWpxs&hl=en&sa=X&ei=-ahlUaWnIcKHrAemlIBI&redir_esc=y#v=onepage&q=agama%20suku%20quraisy&f=false
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Hubal
@Terang Dunia: terima kasih untuk memberikan beberapa link.
Link yang anda sampaikan hanya menyebutkan secara umum penyembahan berhala yang ada pada masyarakat Quraish. Penyembahan berhala (paganisme) merupakan kepercayaan yang umum di seluruh peradaban dunia pada saat itu, konsep paganisme sama sekali berbeda dengan agama Hindu.
Ka’bah di Mekah saat itu merupakan rumah berhala umum, dimana berbagai patung dewa dari berbagai kepercayaan diletakkan dan disembah oleh masing-masing penyembahnya. Ada ratusan patung dewa. Mungkin ada salah satu patung dewa Hindu sebagaimana patung Bunda Maria yang ada di Ka’bah. Akan tetapi Hindu tidak mempunyai jejak signifikan di masyarakat Quraish.
Kepercayaan yang hidup di masyarakat Quraish sebelum Islam adalah Paganisme (penyembah berhala), Yahudi, Kristen, dan monoteisme lokal Arab yang disebut Hanifiah. Ajaran Islam sendiri bertolak belakang dengan Paganisme, dan jejak agama Yahudi, Kristen dan Hanifiah sangat signifikan dalam ajaran Islam.
Ikut gabung om. Sepengetahuan saya baitul magdis (sering disebut masjidil aqso atau dome of rock) sudah ada sejak jaman lama (ada yang bilang sejak nabi sholaiman), jauh sebelum sholat disyariatkan. Dome of rock merupakan tempat peribadatan umat-umat masa lalu. Sedangkan masjid yang dibangun umar bin khotob (disebut masjid umar) sering disalah pahami sebagai masjidil aqso karena letaknya berdekatan dengan dome of rock, jauh lebih bagus dan bentuknya sebagai masjid sangat kentara. Bahwa pada saat isro’ mijrot nabi pergi ke masjidil aqso, tentu maksudnya adalah dome of rock bukan masjid umar yang dibangun sekitar 70 tahun setelah peristiwa isro’ mijrot. Terima kasih. Semoga informasi ini bermanfaat.
@ahmad cahyadi: terima kasih atas tambahan infonya.
Memang yg dimaksud masjidil Aqso adalah Dome Of Rock yg merupakan reruntuhan kuil Sulaiman.
Pada saat Umar merebut Yerusalem, Dome Of Rock digunakan oleh penguasa Kristen Romawi sebagai tempat pembuangan sampah sebagai hinaan kepada kaum Yahudi yg dibenci penguasa saat itu. Umar membersihkannya dan membangun masjid Umar tidak jauh darinya.
Apakah berarti saat Isra’ Mi’raj, Nabi shalat ditengah reruntuhan yang penuh dengan sampah?
Anda mengatakan bahwa Al-qurans ekarang tidak ASLI…BUKTIKAN !!!!!
Terutama buktikan Kutipan dari Aisyah yg Anda jadikan sandaran dalam tulisan tersebut !!!
Buktikan Bahwa Anda benar…Tunjuklan surat seperti apa yg ANda bilang hilang 2 surat dari zaman Ustman !!!!
Tunjukan ayat2 mana saja yg hilang, sehingga Anda mengatakan Al-quran tidak Asli
Kalau tidak PErsiapakan iri ANda memasuki neraka jahanam,…..karena sungguh ALLAH SWT telah menjamin kesucian dan keaslian Al-quran//// :
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr, surat ke 15 ayat ke 9, Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Bagaimana ANda membantah ayat tersebut ????
SUngguh saya menduga ANda adalah seorang fasik, zindiq atau seorang yg hendak merubuhkan Islam dari dalam….Semoga Allah mengadzab Anda…..
Atau Coba Anda layani tantangan Allah dalam Alquran untuk membuat satu surat saja…..jika Anda menuduh para sahabat yg dijamin masuk surga menyembnunyikan atau menghilangkans ebagian Alquran ???
1. Menyusun yang semacam Al Quran secara keseluruhan:
Al Quran Surat Ath Thuur ayat 34 (52:34): Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar
2. Menyusun sepuluh surat saja semacam Al Quran:
Al Quran Surat Huud ayat 13 (11:13):
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Alloh, jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Menyusun satu surat saja semacam Al Quran:
Al Quran Surat Yunuus ayat 38 (10:38):
Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Alloh, jika kamu orang yang benar.”
4. Menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan salah satu surat dari Al Quran:
Al Quran Surat Al Baqarah ayat 23 (2:23):
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah [*] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Alloh, jika kamu orang-orang yang benar.
Hamba Allah: gak usah kebakaran jenggot ah. 🙂
Tulisan saya menyampaikan fakta-fakta. Kalau anda nilai ada yang salah dengan fakta tersebut, ya silakan saja tunjukkan fakta pembanding yang menurut anda lebih tepat.
Saya bukanlah ahli agama, tapi menurut pandangan saya, quran, injil dll kitab2 suci, tidak bedanya dengan undang2. Sebagai dasar atau tuntunan buat manusia. Kalau itu dari tuhan langsung saya masih sangsi, belum ada yang buktikan (salah bener yakini saja/tanpa nakar sehat dasarnya). Menurut saya kitab2 tesebut sangat usang dan hanya mewakii kelompok tertentu. Akibatnya seperti yang tejadi selama ini, pengusiran syiah, pengrusakan serta pengusiran ahmadiyah, pengrusakan gereja dll. Itu semua dikarenakan primbon2 yang kuno tidak up to date yang di sakralkan oleh yang meyakini tanpa nalar. Dan dianggab sebagaimtuntunan sepanjang masa tanpa melihat adanya perubahan zaman.
@Hamba Setan: semua kitab suci pasti datang dengan memiliki konteks budaya tertentu.
Mengacu kitab suci tanpa mempelajari konteks didalamnya hanya menghasilkan psikopat fundamentalis – apapun kitab sucinya.
Masa depan kitab suci bukan ditangan penghafal yang tunduk patuh pada tiap apa kata kitab suci, melainkan pada orang yang dengan serius memahami konteks dimana kitab suci itu datang dan berani menafsirkan ulang di jaman dia hidup.
Saya pesimis sekali dengan pandangan yang bagus dari mas judhi. Karena tidak semua penafsir berani melakukan hal tersebut. Setiap mau membuka pandangan yang terkukung tadi akan dikucilkan bahkan di serang sama kelompok keras yang mengibarkan genderang peperangan. Lihat saja sekitar kita dengan kasus kasus yang sederhana saja, mereka kelompok2 radikal dengan kekerasan mengumandangkan allahuakbar dengan menyerang kelompok yang be rbeda serta dengan hati bengis tega menghabisi nyawa yang bersebelahan dikarenakan brand yang sama “islam” tapi berbeda pemimpinnya. Apakah penafsir2 yang tadi siap.
@Hamba Setan: memang hanya sedikit yang berani membongkar sakralitas kitab sucinya dan agamanya untuk menemukan makna baru agama di masa sekarang.
Akibatnya kita akan makin sering melihat benturan konsep kuno agama dengan realitas kehidupan modern. Perlawanan kaum fundamentalis akan menjadikan agama menjadi semakin kehilangan daya tariknya di antara masyarakat awam dan bahkan bisa dianggap sebagai ancaman kehidupan normal.
Jika kita tetap alergi terhadap pikiran bebas dan penafsiran ulang agama, saya yakin dalam jangka yang tak terlalu lama, agama di negara kita akan mengalami nasib yang sama sebagaimana yang terjadi di negara-negara eropa, yaitu tidak lagi dianggap penting dan perlu. Toh tanpa agama, hidup menjadi lebih menyenangkan…
Assalamualikum
Mohon maaf sebelumnya, bahwa aku dapat bacaan seperti ini.
Mudah2an juga sebagai bahan masukan.
Wassalam
H. Bebey
MERENUNGKAN SEJARAH AL QU’RAN
Oleh Luthfi Assyaukanie
Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan. Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.
Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.
Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar. Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh –dan menjadi bagian dari proyek– penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).
Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam. Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.
Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan –kalau bukan ratusan– mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah. Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114.
Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus. Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”
Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal’ dan al-Hafd.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian. Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis). Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani. Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.
Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya”menjadi “linunsyira”(Talhah), dan sebagainya. Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”
Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh. Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.
***
Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru.
Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan. Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya. Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat dinamis.
Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam. Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki. Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks –dan apalagi teks-teks suci– selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya.
Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.
AL QURAN VERSI TERBARU TELAH DITEMUKAN
by El islaam » Thu Jan 18, 2007 11:42 am (www.faithfreedom.org)
Kehebohan baru yang bakal mengguncangkan umat Islam datang dari Doktor Gerd R. Puin, seorang pakar filologi dan ahli bahasa-bahasa Semitis. Pada 1979, pakar kaligrafi Arab dan paleografi Alquran dari Universitas Sarre, Jerman, itu diajak Kadi Ismail al-Akwa, Ketua Dinas Purbakala Yaman, untuk meneliti sebuah bungkusan kuno yang ditemukan di Sana’a, ibu kota Yaman, pada 1972. Bungkusan berisi perkamen (kulit kambing) dan kertas (suhuf) itu ditemukan saat pemerintah merenovasi masjid kuno di Sana’a, yang bocor akibat hujan lebat.
Paket kuno yang ditemukan para pekerja di atap masjid agung itu kemudian diamankan Kadi Ismail al-Akwa karena ia yakin isinya pasti bernilai. Ia lalu meminta bantuan internasional untuk menganalisis tulisan di atas perkamen itu. Akhirnya, baru pada 1979 ia berhasil membujuk Puin untuk menelitinya, dengan bantuan dana dari Pemerintah Jerman.
Berdasarkan penelitian awal, bisa dipastikan, perkamen Sana’a itu adalah mushaf Alquran paling tua di dunia, yang ditulis pada abad ketujuh dan kedelapan. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini, ada tiga “kopi” mushaf Alquran yang sudah ditemukan. Dua mushaf Alquran abad kedelapan, masing-masing disimpan di Perpustakaan Tashkent, Uzbekistan, dan di Museum Topkapi di Istambul. Sementara, mushaf ketiga berupa manuskrip Ma’il dari abad ketujuh, disimpan di British Library, London, Inggris.
Menurut Doktor Puin, kaligrafi pada mushaf Sana’a itu berasal dari Hijaz, sebuah wilayah Arab, tempat tinggal Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, itu bukan hanya merupakan mushaf tertua di dunia, melainkan salah satu mushaf versi pertama. Perkamen itu mengandung variasi teks yang agak berbeda, surat-suratnya disusun tak biasa, dan gaya serta grafisnya sangat langka. Ia juga melihat adanya jejak teks yang dihapus dan digantikan dengan teks baru. Karena itulah, Puin menyimpulkan, Alquran pernah mengalami evolusi tekstual. “Dengan kata lain, apa yang umat Islam baca saat ini kemungkinan bukan satu- satunya “versi” yang diyakini telah diwahyukan Allah kepada Nabi saw.,” tulis Abul Taher, pekan lalu, dalam koran Inggris, The Guardian.
Kesimpulan Puin itu tentu saja akan sulit diterima umat Islam. Sebab, ayat-ayat dalam Alquran itu diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. secara bertahap (610-632). Dan, setiap menerima wahyu, Nabi saw. selalu membacakannya di hadapan para sahabat. Menurut Ensiklopedi Islam (Jakarta, 1994), selain menyuruh para sahabatnya menghafal, Nabi saw. juga memerintahkan mereka untuk menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan batu, atau kepingan tulang. Menurut hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, untuk menjaga kemurnian Alquran, itu, setiap tahun Malaikat Jibril mendatangi Nabi untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun Nabi saw. wafat, Malaikat Jibril datang dua kali dan mengontrol bacaan Nabi, sebagaimana Nabi sendiri selalu melakukan hal yang sama kepada para sahabat, selama hidupnya. Dengan demikian, terpeliharalah Alquran dari kesalahan dan kekeliruan.
Dua puluh sembilan tahun setelah Nabi wafat, di bawah Usman, khalifah ketiga, sebuah versi baku Alquran ditetapkan dan dikodifikasi dalam bentuk buku, akibat adanya pelbagai versi Alquran, baik lisan maupun tertulis, yang banyak beredar di wilayah kekuasaan Islam. Kodifikasi itu dilakukan berdasarkan mushaf yang dihimpun Khalifah Abu Bakar, yang kemudian disimpan di rumah Hafsah, putri Khalifah Umar, yang juga istri Nabi saw. Karena itu, tak pernah ada lagi modifikasi dan kodifikasi Alquran sesudah Usman, yang disusun di bawah pimpinan Zaid bin Sabit. Mushaf Usmani dalam dialek Quraisy itu lalu dibuat lima kopi. Satu kopi disimpan di Madinah (mushaf al-Imam) dan empat lainnya dikirim ke Mekah, Suriah, Basrah, dan Kufah untuk disalin dan diperbanyak (EI, 1994).
Apakah perkamen dari Sana’a itu adalah salah satu dari mushaf-mushaf itu, atau salinannya, belum bisa dipastikan. Yang jelas, menurut Puin, sebagaimana dalam tradisi litaratur Arab, perkamen Sana’a itu ditulis tanpa tanda-tanda diacritique (titik, aksen, koma, tanda huruf atau fonetik pengubah nilai). Artinya, perkamen itu ditulis lebih sebagai panduan bagi yang sudah hafal Alquran. Akibatnya, puluhan tahun kemudian, pembaca “Arab gundul” itu makin sulit memahaminya. Karena itulah, untuk memudahkan, Hajjaj bin-Yusuf, Gubernur Irak, pada 694-714, lantas melengkapi teks itu dengan pelbagai tanda. “Ia sangat bangga karena ia telah berhasil memasukkan lebih dari 1.000 alif ke dalam teks Alquran,” kata Puin.
Kesimpulan Puin yang juga mengejutkan adalah: sumber-sumber pra-Islam, katanya, telah dimasukkan ke dalam Alquran. Misalnya, ihwal As Sahab ar-Rass dan As Sahab al-Aiqa. Soalnya, menurut Geographie karya Ptolomeus, suku Ar Rass hidup di Lebanon sebelum Islam, dan Al Aiqa hidup di wilayah Aswan, Mesir, sekitar 150 tahun sebelum Masehi. Bahkan, Puin tidak yakin Alquran ditulis dalam bahasa Arab murni. Sebab, kata “Quran” sendiri, yang berarti “kalam”, “kitab”, “bacaan”, menurut Puin, berasal dari sebuah kata Aramian, qariyun (penggalan bacaan teks suci saat menjalankan ibadah).
Tak aneh bila Khalidi gusar atas usaha para Islamolog Barat seperti Puin, yang tak selalu menganalisis Alquran sebagaimana mereka melakukannya terhadap Injil. Khalidi bahkan cemas bila hasil penelitian Puin itu disebarluaskan, ia akan bisa dihukum oleh umat Islam, sebagaimana dialami Salman Rushdie akibat novelnya, Ayat-Ayat Setan (1988). Atau dihukum seperti Doktor Nasr Abu Zaid, dosen ilmu Alquran dari Universitas Kairo, pada 1995, akibat karyanya Le Concept du texte (1990), menyatakan, “Alquran hanyalah teks sastra, dan satu-satunya cara untuk memahami, menerangkan, menganalisis, dan mengadaptasinya hanyalah melalui pendekatan sastra.”
Toh, Salim Abdullah, Direktur Arsip Islam Jerman, yang berafiliasi pada Liga Islam Dunia, menanggapi kesimpulan Puin dengan sikap positif. “Doktor Puin sebelumnya telah meminta izin kepada saya, apakah ia boleh mempublikasikan salah satu karangannya tentang dokumen Sana’a. Ketika saya memperingatkan bahwa ia akan menghadapi kontroversi, Puin mengatakan, sudah lama ia menunggu adanya perdebatan mengenai hal itu,” kata Salim. Padahal, sebelumnya, akibat kesimpulannya yang mengejutkan itu, Puin sendiri segera diusir dari Yaman dan ia dilarang melanjutkan penelitiannya.
Copyright © 2000 Forum Cyber News. All rights reserved.
Naskah dibukukan
Hasil forensik menunjukkan tulisan² lain yang ditindihi tulisan baru.
@H. Bebey: terima kasih untuk tambahan informasi tentang sejarah Al-Qur’an
Qur’an dalam tata bahasa arab berasal dari Qoro,a Yaqro,u Qur,anan (Qur,an) ia adalah masdar.
@Tam: anda bicara tentang bahasa Arab, terus apa hubungannya dengan sejarah yang saya tuliskan?
Hanya pebeda’an baca’an, bukan arti om judhianto@
@Tam: sila baca lagi tulisan saya.
Perbedaan bacaan hanya ada pada standarisasi 7 qiroat Mushaf Usman yang ditetapkan pada tahun 324 H oleh Ibn Mujahid.
Sedangkan perbedaan antara mushaf Usman, mushaf Hafsah, Mushaf Ubay, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ibn Abbas lebih mendasar. Ada beda jumlah ayat, jumlah surat dan perbedaan redaksi kata-kata yang digunakan.
Makanya saya hanya percaya dengan isi alquran yang baik dan bisa di jelaskan dengan nalar sehat sebagai manusia. Sedangkan ayat atau hadist2 yang tidak rasional dan tidak bisa dipertanggung jawabkan buang aja. Karena ayat yang tdk bisa dipertanggung jawabkan hanya berisi doktrin hayalan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan merupakan sumber permusuhan. Sepele aja hadist pelihara jenggot ( ga berbobot) jenggot aja diurusi wkwk.
@Hamba Setan: kalau sudah gak masuk akal atau menjadikan kita sebagai manusia tiran, ya kita harus berani membuang bagian kitab suci atau ajaran tersebut. Toh agama bukanlah tujuan kita, ia hanyalah jalan menuju Tuhan yang Maha Baik dan Adil.
Assalamualaikum,
Sebenarnya aku coba2 mengirim ke [email protected] untuk mas yudhi, karena sebelumnya kesini gagal melulu. EEEhh taunya berhasil, sedangkan yang kukirim ke alamat mas yudhi pribadi gagal,,,,,,,itu semua adalah karangan orang yang pinter, aku sih bisanya hanya membaca hehhheeee
@H. Bebey: wah yang benar [email protected] – pakai “j” bukan “y”.
Terima kasih kalau mau berbagi bacaan yang menarik. 🙂
OK aku coba lagi kirim journal yang menarik
Insya Allah
Apa yang di tulis tentang Alquran dalam tulisan anda hanya sepotong sepotong, sehingga mudah merusak pemikiran orang yang tidak belajar sejarah tentang Alquran, alquran yg ada sekarang memang dibukukan zaman khalifah Usman r.a, setelah mengumpulkan dari catatan para sahabat para penghapal alquran, setelah di kumpulkan dan dibukukan Khalifah Usman masih menunggu beberapa waktu masukan dari beberapa sahabat apakah masih ada catatan yang kurang, kemudian di lakukan penelitian dari para sahabat-sahabat yang ahli serta penghapal alquran, setelah di teliti dilakukan musyawarah apakah alquran tersebut telah sesuai, dari hasil permusyawaratan telah disepakati bahwa alquran telah lengkap dan sesuai, maka di bukukan untuk dijadikan pegangan seluruh umat islam….. Dalam hal ini pun Khalifah Usman mendapat mimpi yang benar dari Rasulullah SAW tentang Alquran tersebut, selain itu jelas tertulis dalam Alquran bahwa Allah SWT akan selalu menjaga kemurnian kitab Alquran… Baiknya anda belajar lagi…!!!
@Anas Zamzami: ada referensi sejarah dan opini dalam tulisan saya, sedangkan anda hanya menyampaikan opini (dan dongeng?) tanpa satupun referensi sejarah. Mana yang sepotong-potong?
Silakan belajar berdiskusi lagi. Bahas fakta sejarah dengan fakta sejarah.
Al-Qur’an Utsmani tidak diragui keotentikannya dan kemurniannya, serta tak ada satu katapun/hurufpun yg hilang dengan Alasan : Dia dikumpulkan oleh pelaku sejarah (sahabat nabi yg paling dekat dengan nabi), Jaraknya pengumpulan dg kematian boleh tidak berjarak (pengumpulan waktu khalifah Abubakar), Para sahabat penghapal alqur’an masih banyak yg hidup, Utsman sebagai Khalifah membentuk oleh panitian yg beranggotakan para sahabat dan Juru Tulis nabi, setelah dikumpulkan dibaca dimuka umum untuk dikoreksi oleh sahabat yg lain, kemudian semua kitab selain kitab yg dikumpul oleh panitia khalifah Utsman disuruh bakar, arti secara hukum tidak sah lagi, dan itu di patuhi walau ada yg tersimpan itu tidak sah sebagai versi alqur’an seperti alqur’an Mas’ud sebab dia ikut dalam panitia yg dibentuk utsman, apalagi kalau berbeda. Jadi tidak alasan pihak yg membenci alqur’an untuk mencari-cari alasan bahwa alqur’an banyak versi untuk mensejajarkan dengan Injil. Yg menemukan kebenaran ayat Kauniah dengan ayat Alqur’an lebih banyak ditemukan oleh pihak Kristen seperti dr.Maurice Bukhale. Semoga umat Islam bertambah keyakinan dan keimanan dengan tulisan yg mengandung unsur fitnah ini.
@Mustamar.Sutan: saya kutip komentar anda:
kemudian semua kitab selain kitab yg dikumpul oleh panitia khalifah Utsman disuruh bakar, arti secara hukum tidak sah lagi
–> artinya memang ada versi Qur’an lain selain mushaf Utsman.
Kacau jika orang mempelajari sejarah dgn mengutip sana sini tapi tidak mengetahui apa sesungguhnya yg terjadi.
dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah membacakan padaku dengan satu dialek, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan Sab’atu Ahruf (Tujuh dialek yang berbeda).” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al Furqaan semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, dan aku menikmati bacaannya. Ternyata dia membaca dengan dialek yang berbeda-beda yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah membacakannya kepadaku sehingga hampir saja aku menarik kepalanya ketika shalat. Namun aku berusaha menahan kesabaranku hingga ia mengucapkan salam, lantas aku mengikatnya dengan pakaiannya dan aku tanyakan, ‘Siapa yang mula-mula membacakan surat Al Qur’an kepadamu yang aku dengar engkau membacanya? ‘ Ia menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya kepadaku! Aku lalu berkata, ‘Engkau dusta, sebab rasul membacakan kepadaku tidak seperti yang engkau baca.’ Maka aku bawa Hisyam bin hakim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku laporkan, ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surat Al Qur’an tidak dengan dialek seperti yang engkau bacakan kepadaku.’ Kemudian Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia, bacalah ya Hisyam! ‘ Lantas Hisyam membaca bacaan yang sebelumnya aku mendengarnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Begitulah surat itu diturunkan! ‘ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Bacalah wahai Umar! ‘ Aku pun membaca sebagaimana yang beliau bacakan kepadaku, dan beliau juga berkomentar ‘Begitulah surat Al Qur’an diturunkan, sesungguhnya surat Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh dialek, maka bacalah apa yang mudah bagimu’.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud,Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad dan Malik)
Dua hadts sahih di atas sudah cukup untuk menjelaskan apa yg terjadi sesungguhnya.
AL Quran di turunkan dalam 7 dialek yg di hafal oleh para sahabat dan sebagian di tulis.
Perbedaan dialek inilah yang kemudian menjadi perselisihan di kemudian hari. Bahkan perselisihan ini sudah terjadi sejak nabi masiih hidup namun Nabi mampu menjelaskan semuanya.
Sejak khalifah Ustman meresmikan mushaf Ustmani dan mambakar salinan mushaf yag lain (yg dalam 7 versi dialek yg berbeda) maka standar bahasa quran yg resmi adalah Arab Quraisy. Jika ada yg menemukan atau mempergunakan al quran dgn berbeda maka tidak perlu di besar-besarkan karena itu bukan bahasa standar al Quran yg DI SEPAKATI OLEH PARA SAHABAT NABI shallallahu alaihi wasallam. Apa yg sudah di sepakati oleh para sahabat maka itu menjadi hukum bagi umat Islam generasi berikutnya.
@Hamba Terasing: terima kasih untuk menambahkan kutipan yang memperkaya kutipan-kutipan lain pada tulisan ini.