Tanyakan pertanyaan ini kepada pemeluk Islam, random aja, maksudnya kepada siapa saja yang kebetulan didekat anda. Apa jawabannya?
Islam anti nalar? apa gila anda!… tentu enggak!…
Bila yang anda tanya mempunyai pengetahuan yang lumayan, anda akan segera disodori berbagai macam fakta dan argumen yang menyanggah pertanyaan pertama anda.
Bagaimana anti nalar, kalau justru peradaban Islamlah yang menyumbangkan berbagai rintisan di bidang pengetahuan, disaat peradaban barat terpuruk dalam kegelapan.
Bagaimana anti nalar, kalau peradaban barat justru bangkit menuju pencerahan, karena sumbangan besar umat Islam dalam berbagai literatur yang memicu renaissance?
Oke, fakta tersebut valid. Tapi coba renungkan apa yang saat ini membentuk pola pikir umat Islam di masa modern ini.
Taqwa, Patuh Sebagai Tuntutan
Cermati khotbah Jum’at (sekali-kali berusahalah jangan tertidur saat khutbah), ada pesan wajib yang selalu disampaikan khotib. Bertaqwalah!.
Taqwa. Apa artinya?
Banyak versi untuk maknanya, Tapi saya kutip yang paling populer dikutip yaitu: “Melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya”
Dalam Qur’an ditegaskan:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
Tunduk dan patuh. Itulah intinya.
Laksanakan perintah dan tinggalkan larangan dari Allah, paham atau tidak alasannya, bukanlah hal penting. Tak ada pilihan lain, bahkan bila pilihan lain itu datang dari rasio atau nurani anda.
Jelas sekali. Patuh saja titik…., don’t ask, don’t argue.
Nabi Ibrahim, Teladan Kepatuhan Tanpa Reserve
Untuk kepatuhan, tak ada tokoh yang lebih utama dari Nabi Ibrahim. Ia satu-satunya Nabi yang namanya wajib disebut bersama Nabi Muhammad dalam setiap shalat kita.
Ada dua peristiwa berikut yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan kepatuhan luar biasa Nabi Ibrahim:
Meninggalkan Hajar dan Ismail di tengah gurun.
Ia sudah tua, dan sangat menginginkan memiliki putra. Pernikahannya sekian lama dengan Sarah tidak membuahkan keturunan.
Ketika ia menikahi Hajar sebagai istri muda, Ibrahim mengharapkan mendapat keturunan darinya. Dan harapannya terkabul.
Ketika Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim sangat bergembira, Ismail adalah hadiah terindah setelah sekian lama mengharap.
Allah mengabulkan do’anya, dan Allah mengujinya.
“Tinggalkan Hajar dan Ismail ditengah gurun! “
Suatu perintah yang luar biasa. Meninggalkan seorang ibu dan bayinya di tengah gurun tanpa tempat berlindung, tanpa bekal banyak adalah sama dengan membunuhnya.
Perintah itu sama dengan: ”Bunuh Hajar dan bayinya!”
Ibrahim patuh. Ia meninggalkan keduanya di tengah terik gurun, tanpa naungan.
Segera setelah Ibrahim pergi, Hajar menghadang maut sendirian. Ditengah terik gurun, menghadapi kehausan dan bayi yang menangis.
Fatamorgana menipunya. Ia melihat air fatamorgana dan memburu untuk mendapatkannya. Ia berlari tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa untuk ilusi air dan kecemasan akan nasib anaknya.
Luar biasa! Umat Islam mengabadikannya dalam ritual wajib ibadah haji. Haji tidak akan sah, bila tidak disertai lari-lari kecil bolak-balik tujuh kali antara Safa dan Marwa.
Allah akhirnya menyelamatkan keduanya dengan suatu mukzijat.
Menyembelih Ismail.
Ibrahim sudah berkumpul lagi dengan Hajar dan Ismail. Ismail sudah jadi remaja. Ia jadi kebanggaan dan kesayangan Ibrahim.
Allah mengujinya lagi. Dalam Qur’an dikisahkan:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffat: 102)
Sekali lagi, perintah yang sama dengan: “Bunuh Ismail!”
Ibrahim patuh. Ia tak ragu. Ia tak bertanya. Ia melaksanakannya.
Ia akan menyembelih anaknya di atas bukit. Dalam perjalanan menuju penyembelihan, setan menggodanya.
Setan membangunkan nalarnya.
Atas dasar apa seorang boleh membunuh orang lain? yang tak melakukan kejahatan? apakah berhak seseorang membunuh orang lain yang tak mengancam keselamatan siapapun?
Setan membangunkan nuraninya.
Ayah macam apa yang tega membunuh anaknya sendiri? ayah macam apa yang tak berusaha membela anaknya dengan mempertanyakan perintah pembunuhan anaknya?
Setan saat itu tidak mengajak Ibrahim melakukan kejahatan. Setan sebenarnya mengingatkan Ibrahim tentang esensi manusia yang membedakannya dari mahluk lain, yaitu bernalar dan bernurani.
Apa yang dilakukan Ibrahim? Ia melempari setan itu dengan batu, dan itu yang harus ditirukan umat Islam dalam bagian ibadah wajib mereka: Haji. Lempar jumrah adalah melempari setan, menolak pilihan nalar, menolak pilihan nurani, saat perintah agama turun.
Peristiwa keteguhan Ibrahim mengorbankan Ismail ini merupakan peristiwa penting yang dirayakan tiap tahun oleh umat Islam dalam salah satu hari raya besar, yaitu Idul Adha.
Nabi Ibrahim adalah tipe ideal orang beriman. Ia adalah panutan ideal agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Qur’an menyebutnya sebagai seorang Hanif – seorang yang lurus.
Hanya dia yang namanya disebut dan di-do’akan bersama nama Nabi Muhammad di dalam duduk tahiyat akhir setiap sholat. Hanya dia yang fragmen kehidupannya dilestarikan dalam ritual ibadah haji dan diperingati tiap tahun dalam perayaan Idul Adha. Hanya Ibrahim.
Pesan kisah Ibrahim sangat jelas:
Kalau ada perintah Allah, abaikan nalar! abaikan nurani!
Nalar dan nurani adalah muslihat setan untuk mengabaikan perintah Allah.
Penekanan ini membuat umat Islam membuang semua pikiran kritis mereka tentang segala sesuatu, bila itu menyangkut Islam atau yang dilabeli Islam.
Reaksi khas muslim (terutama di kelompok literalis) bila anda kritis terhadap masalah itu adalah bertanya: “Anda muslim? sebaiknya anda lebih mendalami Islam!”
Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.
Bila anda tetap ngotot mengajak debat, ingat anda sudah menjelma menjadi setan. Dan bagi mereka, saat melempar jumrah akan dimulai.
Apakah ada pandangan alternatif? Ada, saya akan sampaikan dalam tulisan selanjutnya. Cekidot…, sering mampir kesini gan!
Salam, Mas Judhianto.
Terima kasih atas artikel yang menegaskan garis pemisah antara subyektivitas manusia (akal, nurani, dsb.) dan subyektivitas Tuhan (wahyu) serta sikap terhadap keduanya. Saya pikir Mas Judhianto benar, bahwa inti dari taqwa adalah ketundukan. Hanya saja, Anda nampak tidak terlalu menyukainya, dan lebih suka menggunakan pertimbangan sendiri dalam memutuskan suatu perkara.
Pertentangan antara agama vs nalar, atau wahyu vs akal, menurut saya adalah niscaya. Saya percaya agama memang tidak rasional dan tidak perlu dirasionalisasi. Justru rasionalisasi akan membuat agama menjadi berada di bawah nalar. Yang dimenangkan adalah subyektivitas manusia. Humanisme. Anthroposentrisme. Manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Dengan kata lain, Manusia adalah tuhan (dan karenanya ditulis dengan “M” besar dan “t” kecil).
Saya sendiri juga percaya bahwa inti dari beragama adalah percaya. Percaya pada yang tak masuk akal itu. Percaya pada yang belum kita lihat, tidak bisa kita nalar dengan apapun. Hal lain yang saya percaya adalah bahwa sesuatu tak perlu jadi rasional untuk jadi benar. Akal adalah alat untuk menjelaskan realitas ke dalam kata-kata(atau rumus matematika), karena itu pasti sifatnya reduktif. Selalu ada yang tak terjelaskan dalam setiap penjelasan.
Akal bersifat subyektif dan berubah bersama zaman. Hal-hal yang dulu dianggap tak masuk akal kemudian menjadi masuk akal. Bayangkan saja kita kembali ke abad pertengahan dan ceritakan pada mereka tentang internet.
Begitu pula dengan ‘nurani’. Ini malah lebih sulit lagi, karena, bagaimana kita bisa memastikan yang bicara adalah ‘nurani’ kita yang murni/fitrah? Apa buktinya itu bukan hawa nafsu? Bagaimana membedakan suara hati dan dorongan hawa nafsu? Apa kriterianya? Dan bagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bukan hasil konstruksi sosial?
Bagaimana pula kita membebaskan diri dari bahasa sebagai alat menjelaskan realitas? Saya rasa Anda akan sepakat dengan saya bahwa bahasa membentuk cara kita melihat realitas. Realitas direpresentasikan melalui bahasa. Dan siapa yang menguasai bahasa akan menguasai pula cara merepresentasikan sesuatu. Representasi tersebut pada gilirannya akan memengaruhi sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Tidak ada bahasa yang netral, karena setiap kata selalu berhubungan (diasosiasikan) dengan kata yang lain, dan jaringan itulah yang membentuk makna.
Izinkan saya untuk membongkar konstruksi yang Anda bangun melalui beberapa kalimat di atas, tepatnya kalimat ini:
“setan membangunkan nalarnya… dan nurainya”
Ini bukanlah kalimat yang netral. Dalam kalimat itu (dan beberapa paragraf selanjutnya), Anda sebenarnya sedang menguatkan presuposisi bahwa yang dibisikkan setan adalah hal yang bersifat fitrah, adalah nurani, adalah hal yang suci, manusiawi. Itu artinya, di saat yang sama, Anda juga sedang membangun argumen bahwa tindakan Ibrahim adalah nir-nalar, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan fitrah manusia. Jadi, disadari atau tidak, Anda sedang menghubungkan hal-hal untuk menjadi satu kesatuan makna. Anda sedang membangun wacana, sekali lagi, di atas presuposisi: yang dibisikkan setan adalah nalar dan nurani.
Yang tidak hadir di sini adalah pembelaan atas sikap yang Anda kritik tersebut. Maka izinkan saya melakukannya.
Menurut saya, perbedaan antara pandangan Anda dan saya(dan umat beragama pada umumnya) berasal dari cara memandang hakikat manusia. Umat Islam memandang manusia sebagai hamba Allah. Hamba. Pelayan. Budak. Inilah hakikat manusia. Kata ‘budak’ mungkin tidak terlalu enak didengar, tapi ini adalah realitas yang diamini oleh kaum Muslimin. Dari mana kami tahu ini? Tuhan kami yang memberitahukannya. Kami bisa saja berusaha membuktikannya dengan berbagai macam cara, tapi itu tidak penting, karena toh inti agama bukanlah pembuktian, melainkan kepercayaan. Kalaupun pembuktian itu berhasil juga orang bebas untuk tidak percaya. Seorang Muslim, yang secara harfiah berarti ‘yang berserah diri’, dengan senang hati menjadi budak Allah, terikat dengan segala aturan-Nya. Apakah ini membingungkan Anda?
Kebebasan, menurut saya, terlalu dipandang tinggi (overrated). Kebebasan, bagi saya, hanyalah kata lain untuk “tidak tahu tujuan hidup” dan “tidak tau mau melakukan apa”. Dalam perasaan bebas itu, yang muncul adalah pikiran “aku bisa melakukan apa saja” dengan tambahan “asal tidak mengganggu orang lain”. Tapi mereka yang telah menyadari tujuan hidupnya, tidak bebas. Ia terikat dengan tujuannya sendiri, dengan aturan-aturan yang memang harus ia penuhi agar ia dapat mencapai tujuannya. Seorang Muslim sejati adalah yang seperti ini. Tidak bebas, tapi bahagia. Kebebasan, pada akhirnya, hanyalah state of mind. Ia tidak ada dimanapun, sekadar perasaan bebas, perasaan lengkap. Ia tidak esensial dan bukan prasyarat untuk kebahagiaan.
Anda bilang, model beriman seperti Nabi Ibrahim a.s. menumpulkan segala nalar kritis. Pertanyaan saya, mana bisa Tuhan dikritisi? Tuhan itu… Tuhan. Dia adalah Yang Mutlak. Dialah ukuran dari segala kebenaran. Ketika subyektivitas manusia yang dijadikan ukuran kebenaran, pada titik itulah Manusia berusaha menjadi tuhan. Ia telah sombong, sebagaimana sombongnya iblis hingga ia dikeluarkan dari surga.
Katakanlah, kita sebagai manusia, ‘bisa’ mengkritisi Tuhan ‘dari bawah sini’. Mungkin saja kita tak suka dengan aturan-aturan-Nya, kemudian protes, dan memutuskan untuk menggunakan nalar dan nurani kita untuk membuat aturan sendiri. Bisakah itu dilakukan? Bisa. Bisa banget. Tapi, setelah itu apa? Oke, manusia jadi berkuasa di dunia. Kemanusiaan menjadi norma tertinggi. Tapi, setelah itu apa? Setelah mati kita kemana? Apakah tubuh kembali ke tanah, dan kesadaran kita ‘bersatu dengan kosmos’? Sungguh indah dan majinatif sekali. Apakah kita tak akan hidup lagi? Memang, kita tak pernah melihat orang kembali dari kematian, tapi bagaimana jika ada informasi yang menyatakan demikian? Sangat tidak logis, memang, tapi ternyata informasi ini disampaikan dengan bahasa yang menunjukkan keyakinan. Dia bukan metafora, bukan simbolisme, dia informasi yang lugas. Terlebih lagi, penyampainya ternyata adalah orang yang seumur hidupnya jujur dan dikenal sebagai orang kepercayaan. Apakah Anda akan mengabaikannya? Yah, itu pilihan Anda sih.
Saya percaya, sikap ‘kritis’ dan menjadikan manusia sebagai ‘pusat alam semesta’ dapat memberikan perasaan bebas. Tapi sikap seperti itu, disadari atau tidak, dibangun di atas pemikiran dunia sebagai tujuan akhir, dan tidak ada kehidupan lain setelah itu. Adapun iman Islam, adalah percaya pada kiamat yang akan datang dengan tiba-tiba (bukan perlahan-lahan), pada hari manusia dibangkitkan kembali (sekali lagi, ini bukan metafora), serta pada surga dan neraka (ini juga bukan perlambang dari kebahagiaan dan kesengsaraan).
Mengambil iman tertentu pada hari ini membutuhkan keberanian. Keberanian yang sama dengan keberanian-Nya Ibrahim. Keberanian untuk percaya pada yang tak bisa dinalar, pada yang ghaib. Menjadi orang beragama yang lurus menjadi semakin sulit karena ‘konstruksi kebenaran’ semakin bergeser, dari iman menuju nalar (modernisme), dan kemudian menuju hawa nafsu serta kesenangan untuk bermain (postmodernisme).
Jadi, kalau anda bilang orang Islam tidak kritis pada agamanya sendiri, saya bilang, memangnya kenapa? Menurut saya, sikap ‘kritis’ seperti yang Anda maksudkan sebenarnya hanyalah kata lain untuk ‘mengunggulkan subyektivitas manusia’. Apa buktinya subyektivitas itu tidak independen dari konstruksi sosial? Dia tidak lain hanyalah penuhanan atas manusia, tujuannya adalah dunia, mengabaikan akhirat yang dianggap hanya angan-angan, mengabaikan Allah sebagai Tuhan. Tidakkah demikian?
p.s: Islam sebenarnya punya cara sendiri untuk menyeleksi sumber hukum, misalnya kritik sanad dan matan hadits. Hanya saja, seperti kata Ust. Felix Siauw, akal tidak digunakan untuk membuat hukum, melainkan untuk memahami hukum.
p.s2: Maaf kalau kepanjangan. Hehe…
@Harun_Bey: maaf sebelumnya, karena baru sempat membalas sekarang.
Ada konsep dasar yang mungkin berbeda antara kita. Agama bagi saya bagian dari subyektivitas manusia, bukan berasal dari sesuatu yang eksternal (Tuhan misalnya).
Tiap manusia terlahir dengan kompleks bawah sadar yang memiliki idealisasi tentang manusia, dan ini tertempa secara evolusi jutaan tahun. Representasi kompleks bawah sadar pada tiap orang adalah nurani yang berinteraksi melalui simbol-simbol dengan kesadaran kita, tanpa kata-kata, tanpa logika. Tidak semua orang mampu mendengarkan dan menerjemahkan nurani, dan untuk itulah peradaban manusia menciptakan agama.
Agama adalah hasil budaya manusia untuk mengangkat kompleks bawah sadar manusia yang tanpa kata dan mengawinkan dengan konteks yang ada, sehingga bisa disampaikan dan di reproduksi kepada orang lain. Tuhan, wahyu, alam ghaib dan logika agama hanyalah sarana untuk menyampaikan ayat-ayat nurani.
Nurani adalah relatif dan tentu begitu pula turunannya yaitu agama. Tentang bagaimana menentukan kebenaran bila nurani dan agama relatif? ini seperti kebebasan kita yang dibatasi hanya oleh kebebasan orang lain. Nurani kita benar, namun bila ternyata berbenturan dengan kebenaran orang lain, kita harus menegosiasikan batasnya, dan salah satu perangkat untuk menilainya adalah nalar.
Terima kasih sudah membaca dan membalas komentar superpanjang dari saya. Dan terima kasih yang lebih lagi karena telah menarik batas yang jelas tentang perbedaan pandangan saya dan Anda 🙂
Saya seringkali merasa evolusi nampak seperti penjelasan hand waving alias argumentasi ‘pamungkas’ yang seolah-olah cukup menjelaskan segalanya. Ini membuat teori evolusi jadi tidak jauh beda dengan argumentasi God of the gap’.
Dalam banyak kasus, memang agama adalah produk budaya (dan karenanya sejajar dengan seni). Tapi saya pikir penjelasan bahwa entitas gaib hanyalah sarana untuk menyampaikan ‘ayat-ayat nurani’ bukanlah satu-satunya penjelasan yang mungkin. Penjelasan tersebut hanya (nampak)benar ketika kita memilih untuk melihat dunia dalam kacamata naturalisme/materialisme. Setiap orang beragama (kecuali, mungkin, seorang Buddhis), saya pikir, adalah seorang supernaturalis, yang percaya pada hal-hal gaib, pada yang adikodrati, sebagai cara menjelaskan/menalar dunia. Ini tidak berarti ia menganggap sains salah, hanya saja sains bukanlah penjelasan yang paling benar.
Pada akhirnya, memang saya tidak bisa membuktikan secara empiris maupun rasional tentang kebenaran agama saya, bahwa Tuhan adalah entitas di luar alam semesta ini, bahwa kita diciptakan oleh entitas yang hidup dan berkehendak (Saya tidak menerima konsep yang menyatakan bahwa Tuhan sejatinya impersonal. Tuhan saya menyatakan bahwa Dia personal, dan percaya yang sebaliknya berarti saya mendahulukan akal saya ketimbang firman-Nya, atau meletakkan firman-Nya di bawah nalar saya). Tapi saya pikir poin dari beragama bukanlah membuktikan agama mana yang benar, melainkan menghidupi agama yang dianut dengan sungguh-sungguh. Artinya, ya seperti Ibrahim itu. Atau seperti Abu Bakar yang percaya kisah Isra’ Mi’raj tanpa menginterpretasikannya ke dalam sesuatu yang lain.
Benturan dengan kebenaran orang lain, menurut saya, merupakan keniscayaan. Karena itu konflik, betapapun kita tidak menginginkannya, juga adalah niscaya, dan bukan sesuatu yang harus dihindari dengan mengorbankan keyakinan. Saya pikir, bagi seseorang yang meyakini akan hal yang lebih besar ketimbang dirinya, berkorban untuk apa yang diyakininya adalah hal yang indah.
@Harun_Bey: kita hidup di era dimana akal sehat tidak lagi memadai untuk menjelaskan alam ini. Banyak hal yang diluar akal sehat tapi terbukti di alam ini yang bisa dijelaskan dengan sains, misalkan waktu yang relatif, materi yang muncul dari ketiadaan akibat quantum fluctuation. Hal yang tidak masuk akal sehat ini nyata (bisa diukur & diuji – bedakan dengan pocong yg tak teruji), dan hanya bisa dipahami lewat sains.
Saya pikir evolusi semakin lama semakin kuat, dan dapat dilihat dari fakta-fakta yang terus mengkonfirmasinya.
Mengenai Tuhan, saya menginderanya sebagai pengalaman pribadi saat dipeluk anak saya, diperhatikan istri saya, menikmati musik, melihat bintang-bintang atau saat merasa menyatu dengan dunia ini.
Saya tak lagi tahu entah dimana letak Tuhan dalam dunia, hidup saya atau definisinya. Agama memang mengenalkan Tuhan pada saya, akan tetapi saat ini tak lagi memadai bagi saya untuk menggambarkan Tuhan.
Tuhan ada bagi saya, dan saya tak perduli apakah Ia personal atau impersonal, apakah Ia ada secara obyektif atau hanya subyektifitas hasil proyeksi nurani saya.
Mengalami Tuhan dalam hidup penting bagi saya, untuk itu ritual ibadah penting. Bagi saya, itu cara yang saya kenal untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dan menghadirkannya dalam hidup saya. Saya tak perduli, apakah perasaan terhubung itu nyata atau hanya prasangka saya. Ini wilayah subyektivitas saya.
Jika memang islam anti nalar, maka tidak mungkin agama itu bertahan hingga 14 abad. Banyak agam yang benar – benar anti nlar hanya bertahan sebentar, cobalihat agama zoroaster
@Althaf: Islam jauh lebih muda dari Kristen, Buddha, Yahudi, Hindu dan bahkan ramalan Zodiak, saya tidak yakin anda konsisten dengan mengatakan semua agama tersebut dan ramalan Zodiak sangat bernalar.
@Bro judhi:ISLAM ANTI NALAR?wah menurut saya sih tidak ya.Tuhan Maha besar itu nalar sekali.Di suruh sholat itu nalar sekali.DISURUH MENSUCIKAN TUHAN DAN MEMBESARKAN TUHAN DIWAKTU PAGI DAN PETANG,lho kok mulai gak nalar ya?bukankah yang perlu disucikan itu pikiran manusia agar bisa berpikir dengan baik.Bukankah Tuhan sudah Maha Besar kok mintak dibesarkan?Bukankah yang ingin punya nama basar itu manusia?Lalu siapa ya yang numpang lewat ingin dapat nama besar.Apa kata TUHAN:AKU INI SUDAH MAHA BESAR DAN MAHA SUCI GAK PERLU KAU BESARKAN DAN GAK PERLU KAU SUCIKAN.Emangnya aku ini pakaian bekas apa?Sucikan saja pikiranmu dan besarkanlah namamu agar engkau jadi orang terkenal seperti…………hahahaha
@Andik: he.. he.. memang kalau dipandang dari rasionalitas, ya memang buat apa Tuhan yang Maha segalanya minta disembah-sembah dan dipuja-puja manusia. Gak bisa nambah hebat, nambah suci, lha wong sudah mentok sempurnanya.
Tapi tentunya kita setuju bahwa manusia adalah mahluk yang butuh tujuan pada hidupnya. Jika alam hanya memberi tujuan hidup sebatas bertahan hidup, berkembang biak lalu mati; maka manusia menciptakan tujuan hidup yang lebih heroik, dalam dan layak untuk diperjuangkan dengan segala ongkos. Maka ada Tuhan, akhirat, jalan lurus, mengabdi Tuhan, memuja Tuhan.
Islam (atau segala agama lainnya) bukanlah untuk Tuhan. Tuhan (bila ada) gak butuh apapun dari alam dan manusia ini.
Itu hanyalah alat manusia memberi makna atau tujuan hidupnya, seabsurd apapun yang dinamakan agama dan ritualnya.
@Judhianto:Agama adalah alat manusia untuk memberi makna atau tujuan hidup.Saya sangat setuju dengan pernyataan anda.Menurut pendapat saya agama haruslah mempunyai alur yang jelas dan pasti dalam dogma dogmanya,agar umatnya punya pedoman yang pasti.Melihat fenomena yang terjadi pada umat islam dengan berbagai aliran dan berbagai paham,apakah islam ini punya alur yang jelas?,menurut saya islam itu membingungkan,Al Quran itu membingungkan, banyak ayat yang kontroversi,banyak EGO yang masuk dalam Quran.Masalah umat ini sebenarnya ada pada kitab sucinya.Kitab suci itu nggak harus berbahasa yang berbelit belit,tapi sederhana dan mudah dimengerti.Bagaimana menurut anda?
@Andik: semua agama lahir pada suatu budaya dan jaman tertentu. Ia sangat logis dan sesuai dengan budaya dan jaman dimana ia dilahirkan. Di jaman berbeda seperti sekarang, tentu ajaran asli semua agama bakal terasa gak klop dengan kehidupan nyata yang dihadapi manusia modern.
Kalau pakai ukuran barang jualan, agama mulai memasuki masa kadaluarsanya. Di masa lalu ini saatnya Tuhan munculkan nabi baru, agama baru. Tapi di masa kini, dimana masyarakat sudah tak se homogen dulu, rasanya hasil produksi masal baru seperti agama baru sudah gak menarik lagi.
Mungkin kita bisa memilih:
@Judhianto:Saya masih berlabel islam,saya yakin anda juga masih berlabel islam.Saya dan anda sama sama menginginkan kemajuan umat islam,karena itu kita menunjukkan ayat ayat Quran yang sudah tidak relevan.Tetapi niat baik kita justru dibalas dengan segala macam umpatan dan hinaan oleh para fundamentalis.Ya sudahlah kita hanya bisa berserah pada waktu,biarlah waktu yang menentukan segalanya,yang penting kita sudah beritikat baik.Semoga mereka diluar sana mendapat hidayah AMIN……
Mas andik saya tak buat gampang aja, siapa yang mau pakai aturan 1500th yang lalu silahkan, ada yang mau pakai aturan abad 20 silahkan. Tapi sayangnya aturan yang 1500 tidak bisa bersaing, setiap kalah saing, selalu dan pasti ada ancaman dan pengkafiran ha..ha…selalu menggunakan pasal karetnya tuk berkelit bahwa aturannya masih relefan dengan abad 20 dengan tafsiran2nya meskipun gak nalar. Karena setiap nalar dipakai ada truf “tidak bisa pakai logika kitab suci itu” kebenaran mutlak bala…bla bala
Pak Harun Judhianto, saya mau tahu pendapat jenengan tentang perkembangan NU dan Muhammadiyah di Indonesia khususnya tentang ke Islaman di Indonesia. Saya melihat setelah era reformasi, banyak bermunculan ormas2 Islam baru yg muncul justru sering menimbulkan gesekan2 antar umat muslim dan non muslim.
Terus terang saya penganggum NU dan Muhammadiyah, dan boleh dikatakan saya setengah mempraktekkan Islam cara NU dan setengah mempraktekkan Islam cara Muhammadiyah, dan hampir kebanyakan muslim di Indonesia seperti saya. contoh ekstrem istri saya seorang NU tulen paling demen ikut shalawatan habib syech, tapi dulu sekolahnya di SMA Muhammadiyah, bahkan sewaktu melahirkan anak kami, dia memilih bersalin di RS PKU Muhammadiyah. Artinya secara tidak sadar muslim di Indonesia hidup dengan cara NU dan Muhammadiyah secara bersamaan. Tapi kebanyakan mereka juga ga mau dianggap orang NU atau Muhammadiyah, mereka mengaku Islam tanpa embel2, tapi mereka lupa sejarah NU dan Muhammadiyah mewarnai kebudayaan keIslaman di Indonesia hingga sekarang
Tapi beberapa dasawarsa terakhir, saya miris dengan seringnya konflik yg menimbulkan gesekan antar umat muslim dan non muslim sebagai akibat dari banyak munculnya ormas2 baru yg merasa suci sendiri, sperti FPI, ISIS dan lain2. Saya berharap organisasi2 tsb bubar aja, bikin citra Islam menjadi buruk
@Satria: secara umum Islam masuk Indonesia (terutama Jawa) melalui jalur budaya. Wali Songo memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Jawa, sehingga bisa diterima bukan sebagai sesuatu yang asing. Islam model ini dengan rileks menerima berbagai pengaruh budaya dari manapun selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Sementara itu dari luar kita mendapati gerakan Wahabi yang didukung dana Arab Saudi mengkampanyekan gerakan Islam yang mereka anggap paling murni. Bagi mereka muslim sejati adalah muslim yang hidup dengan budaya dan pemikiran ala Nabi Muhammad yang notabene adalah manusia dari dengan setting Arab abad ke 7. Karena Islam sudah sempurna, maka tak perlu lagi ada inovasi pemikiran atau ijtihad, pintu ijtihad sudah ditutup.
Dengan ideologi ini, semua yang bukan dari era Nabi adalah bid’ah dan sesat. Jadi yang termasuk sesat adalah kebebasan berpikir, kesetaraan manusia, hak azazi manusia, demokrasi, budaya barat, budaya lokal dan bahkan sumbangan intelektual dan budaya orang Islam sendiri yang terakumulasi sepanjang perjalanan sejarah.
Ideologi ini masuk lewat dana-dana melimpah timur tengah ke berbagai ormas Islam.
Saya berharap ideologi ini akan segera mendapat reaksi balik dari agresivitasnya. Dengan keterbukaan informasi, semua bisa melihat contoh hasil dari gerakan ini di Timur Tengah yang hanya menghasilkan teror dan kerusakan oleh ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram, Taliban. Di Indonesia kita juga melihat betapa fitnah, adu domba, pengkafiran orang lain dan bahkan teror bisa kita lihat dari organisasi macam FUI, FP, HTI, PKS.
Saya yakin nalar dan akal sehat akhirnya bakal memilih ideologi ramah seperti Islam Nusantara yang di kampanyekan NU dibandingkan Islam Pemarah ala wahabi.
Iya saya mengerti sejarah masuknya Islam ke Nusantara, tapi saya ingin menelaah perkembangan Islam di Indonesia dalam dewasa ini, saya melihat praktis semenjak era kolonial belanda, era kemerdekaan, era orde baru dan hingga kini, hanya ada 2 ormas Islam yg sangat dominan di masyarakat kita, yaitu NU dan Muhammadiyah, nah itulah pertanyaan yg ingin saya ketengahkan ke pak Judhianto, saya ingin fokus di spektrum tersebut, karena saya ini muslim awam yg sehari2 mempraktekkan Islam cara NU dan Muhammadiyah
Masalah Wahabi dan ormas Islam puritan lainnya saya juga paham sejarah mereka dan apa maksud mereka. Islam puritan ini di jaman kolonial kurang begitu berkembang, namun ketika era kemerdekaan, Islam puritan sempat muncul menjamur dimana2, seperti Hizbullah dll, bahkan mereka sempat ingin mendirikan negara DI/TII, namun kudeta itu berhasil digagalkan TNI
Masuk di era orde baru, Islam puritan benar2 sulit berkembang, analisa saya kemungkinan rezim pak Harto memasukkan mereka dalam LDII/Lemkari supaya lebih mudah diawasi, itu baru perikiraan saya, bisa saja salah, saya kurang mafhum poltik masa lalu
Di era reformasi, kebebasan berekspresi mulai didengungkan, praktis2 ormas2 Islam puritan tsb masuk kembali ke Indonesia dan sekarang kita rasakan efeknya, dimana terjadi konflik di Ambon, Poso dan tempat2 lain atas nama agama, menangis rasanya….
dari kondisi2 tersebut, saya rasa (mungkin saya salah) bahwa Islam yg cocok bagi masyarakat Indonesia adalah Islam gaya NU dan Muhammadiyah, yg terbukti masih bertahan hingga kini seabad lamanya (itu fakta). Berangkat dari premis tersebut, dua organisasi ini sebenarnya sangat berbeda arah perjuangannya, berbeda perspektifnya, tapi kedua ormas, tetap seiring berjalan, hampir jarang melihat keduanya bertikai, padahal beda banget, tapi koq ya masyarakat awam bisa menyerap Islam dari kedua2nya
Saya bicara fakta apa adanya… saya yakin di lingkungan pak judhianto, masjidnya pasti ada orang NU dan Muhammadiyah, tapi bisa shalat bareng dan kultum bareng di Ramadhan. Intinya saya ingin tahu pendapat pak Judhi dalam melihat kedua organisasi ini dalam kiprahnya menciptakan kedamaian di Indonesia…
@Satria: sejauh in NU & Muhammadiyah memang paling cocok dengan karakter orang Indonesia, terbukti dengan bertahannya organisasi tesebut dalam waktu yang lama.
Gerakan fundamentalis Islam di sisi lain, umumnya berumur pendek, akan tetapi selalu ada. Pandangannya yang hitam-putih dan tanpa kompromi akan selalu menarik orang2 yg dalam proses mendalami agama, akan tetapi cepat ditinggalkan orang setelah wawasan orang tersebut bertambah dan mendapati bahwa realitas tidaklah sesederhana itu.
Apakah NU & Muhammadiyah akan selalu bisa bertahan? Sepertinya tidak. Kedua organisasi tersebut sangat dihidupi oleh pola hidup komunal yang punya interaksi erat di antara anggotanya; seperti pengajian, pesantren dan kegiatan sosial.
Kita akan memasuki era masyarakat perkotaan yang individual karena disibukkan oleh pekerjaan. Mobilitas yang tinggi juga mengurangi tumbuhnya ikatan komunal jangka panjang. Pesantren dan sekolah agama akan semakin tidak menarik karena tidak menjanjikan pencapaian materi. Dengan kondisi seperti itu, saya tidak yakin kedua ormas Islam tersebut tetap akan besar.
Justru itu yg saya takutkan pak… pernyataan pak Judhi : “Pesantren dan sekolah agama akan semakin tidak menarik karena tidak menjanjikan pencapaian materi”. Terus terang pernyataan pak judhi tsb sangat menakutkan bagi saya selaku orangtua bagi anak saya. Apabila semua orangtua berpikir bahwa sekolah favorit atau kuliah di kampus mentereng adalah jalan untuk mencapai “materi” alias tiket untuk dapatkan kerja, mau jadi apa bangsa ini…. apa mau bangsa ini menjadi bangsa hedonis.
Terus terang saya malah tertarik kelak akan memasukkan anak saya (masih balita) ke sekolah agama dan pesantren ketimbang ke sekolah negeri atau sekolah2 bertaraf Internasional. Saya tidak berharap banyak bahwa anak saya harus menjadi kaya raya, tapi saya ingin anak saya bisa menjadi anak yg mandiri,disiplin, menghormati orang tuanya serta paham ilmu agama. Menurut pendapat saya itu banyak ada di sekolah agama dan Pesantren. Saya merasakan sendiri perbedaannya pada kedua adik saya, yg satu sekolah agama dan yg satu sekolah negeri, amat beda sekali kemandiriannya dan juga kenakalan remajanya
Justru Boarding School ala pesantren akan tetap langgeng, jika kita memasuki era masyarakat perkotaan yg super sibuk. Sebagai contoh, kelak jika nanti anak saya memasuki usia SMP, saya sudah memprospek anak saya masuk pesantren. Karena saya yakin di usia 35-40an nanti, karir saya pasti akan menanjak dan sering pindah2 serta tambah sibuk dan sulit membagi waktu untuk perhatian kepada anak saya, maka dari itu ketimbang saya menitipkan anak saya ke mbahnya, mending saya masukin ke Pesantren, biar kelak dia menjadi pribadi yg mandiri dan disiplin. Karena saya sadar sebagai ortu tidak bisa mencurahkan waktu byk untuk anak saya.
Saya rasa faktor pendidikan komunal yg menjadi salah satu variabel bertahannya NU dan Muhammadiyah yg pak Judhi ketengahkan, justru saya rasa ke depan malah akan menambah langgengnya ormas tsb. Orang Indonesia pada umumnya saya rasa tetap menjadikan agama sebagai “jalan pelarian” di tengah kehidupan yg penuh dinamika. Saya melihatnya pada ayah saya. Dulu beliau sama sekali tidak bisa baca Quran, ga pernah shalat, dan suka judi. Tapi sejak kecil, saya diwajibkan ikut TPA, ikut remaja masjid dan kegiatan keagamaan lainnya. Seiring berjalannya waktu beliau malah belajar baca Quran pada saya dan malah sekarang beliau sangat alim sekali, saya sangat senang sekali sekarang beliau jadi pribadi yg lebih baik.
Pola parenting tsb saya rasa jamak terjadi di keluarga2 Indonesia lainnya. Banyak para orangtua2 di Indonesia yg merasa bahwa “anaknya harus lebih baik agamanya ketimbang orangtuanya” kemudian “Dulu saya memang saya rajanya maksiat, tetapi anak saya harus jadi hafiz quran”. Saya rasa pola pikir tersebut masih banyak di benak para ortu2 di Indonesia. Maka dari itu saya menganggap ormas seperti NU dan Muhammadiyah masih kita butuhkan hingga ke depan. Itu baru variabel pendidikan, belum variabel yg lain. Mohon maaf dlm hal ini saya agak berbeda dengan pak Judhi… “Islam masih menjadi nalar bagi pemeluknya”
@Satria: sukurlah kalau masih banyak orang yang ingin menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren atau sekolah agama.
Namun untuk bisa melihat pengaruhnya ke masa depan, kita harus melihatnya melalui kacamata statistik, yaitu
Jika yang ke pesantren dan sekolah agama mewakili jumlah yang cukup serta mencakup anak-anak berprestasi tinggi, maka kita tak perlu khawatir.
Kalo saya pribadi saya memandang boarding scholl ala pesantren atau sekolah agama sperti RA, MTS, MAN dll, itu lebih ke aspek ke pembentukan akhlak yg lebih disiplin, mandiri dan agamis.
kalo kita bicara pengaruh, ya tentunya kalo semakin banyak ortu yg memasukkan anaknya ke skolah agama ato pesantren, maka akan semakin banyak potensi anak cucu kita yg lebih disiplin dan mandiri dalam mengarungi hidup, ketimbang sekolah konvensional yg terlalu fokus ke akademik tapi kurang perhatian terhadap ilmu dlm menghadapi hidup. kebanyakan temen2 saya yg lulusan pesantren walau ortunya kaya raya, dia sanggup cuci/setrika pakaian sendiri, masak sendiri, pinter nukang, disiplin dan tentunya pengetahuan agama yg luas, tentunya saya pasti berharap punya anak yg demikian sehingga mampu mengarungi hidupnya dgn kemandirian tanpa brgantung terus sama ortunya.
Pak Judhi selalu bicara statistik… hehehe… ya saya ga punya, tapi saya tanya temen2 dari kemenag ngasi data ke
http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/
ya saya lihat sih ada peningkatan jumlah sekolah agama. Kalo secara fisik lingkungan sekitar, di kabupaten saya, udah banyak berdiri SD-IT dan SMP -IT, dan minatnya cukup tinggi. Kalo dari sisi pesantren, sekarang lagi trend pesantren hafiz quran yg dipelopori Yusuf Mansyur. dan saya lihat sudah banyak berdiri, dan maaf sedikit riya’, beberapa hari yg lalu warga kami malah patungan sumbangan mendirikan pesantren hafizul quran, itu letaknya malah dekat kota besar
Lalu parameter prestasi saya rasa itu terlalu subyektif pak…. ga jamin orang yg berprestasi itu berhasil dalam hidupnya, tapi orang yg berjiwa keras dan mandirilah yg sukses dalam hidupnya. Maaf bagi saya kemajuan generasi suatu bangsa bukanlah terletak dari banyaknya anak2 yg berprestasi tapi justru anak2 yg mandiri, disiplin dan bertanggung jawab.
Sayangnya sekolah konvensional tidak menjawab tantangan tsb, tetapi terlalu berorientasi nilai akademik yg tinggi dan yg penting 100 % lulus, hingga akhirnya mehalalkan gurunya kasih bocoran UAN pada anak muridnya, itu FAKTA, dan mau jadi apa bangsa ini…??? Berprestasi tp jiwanya korup..
Bagi ortu2 yg “sadar”, hati nuraninya pasti akan beralih ke sekolah agama atau pesantren. Kita ga mau diribetkan kurikulum yg ga jelas atau buku paket yg gonta ganti, kita maunya anak kita kelak kalo udah gede udah bisa hidup mandiri dan paham ilmu agama… kalo masalah prestasi atau rejeki… itu urusan lain… yg penting anaknya sholeh, hormat pada orang tua berguna bagi Nusa dan Bangsa…. amin ya robbal alamin….
Tulisannya keren2 gan…aku membaca hampir semua tulisannya…hebat!
@Beni S: terima kasih mau ngubek-ubek di sini 🙂
jadi semakin haus, setelah membaca artiket bang @judianto. keep good work bang! salam.
Saya sangat sependapat dengan pak judhianto,
Tulisan ini belum menjelaskan jawaban bapak atas pertanyaan yang ada di judul
@Purgatory77: tulisan saya mengkonfirmasi bahwa memang bisa dikatakan Islam menuntut kepatuhan dan anti nalar, tapi itu bukan satu-satunya tafsir yang mungkin ada. 🙂
Kalo menurut saya Islam itu mutlak kepatuhan, tapi bukankah menalar juga termasuk dari kepatuhan yang diperintahkan di dalamnya juga. Kalo dari isi tulisan bapak sih saya menyimpulkan kepatuhan nomor satu, nalar baru nomor 2
@Purgatory77:
lah kan benar, kepatuhan itu mutlak, alias tidak bisa diganggu gugat, alias nomor satu — semua alternatif lain (seperti nalar dan nurani) menjadi nomor dua (atau nomor keseratus) jika berbenturan dengan tuntutan kepatuhan.