
Anda kenal Sistem Khilafah?
Ini adalah magnet luar biasa bagi banyak kelompok Islam untuk mendapatkan dukungan dari para muslimin di Indonesia. Mulai dari mereka yang benar-benar melakukan gerakan nyata mewujudkannya seperti DI/TII, JI, NII, Hizbut Tahrir atau yang secara tidak langsung mendukungnya seperti FPI, FUI, MUI dan PKS.
Bagi mereka, hukum Islam yang datang dari Allah dan ditegakkan dalam negara Khilafah adalah superior diatas semua hukum manusia. Jadi bila Indonesia menerapkan sistem khilafah, pasti semua permasalahan di negeri ini akan teratasi. Detilnya bagaimana? tidak jelas..
Sudahlah, saya tidak membahas lebih lanjut tentang detil negara khilafah dan bagaimana bisa diterapkan di Indonesia. Saya akan menuliskan bagaimana Negara Khilafah dalam catatan sejarah dunia.
Khilafah di Masa Rasulullah
Negara Islam secara efektif berdiri setelah Nabi berhijrah dan membentuk pemerintahan di kota Madinah.
Bagaimana struktur pemerintahannya?
Nabi tinggal di samping masjid, salah satu kegiatan rutin beliau adalah memberi pengajian di masjid dengan audience-nya adalah jamaah muslim yang ada. Bila ada masalah kenegaraan, Nabi dan para sahabat membahasnya ditempat itu juga dengan audience yang sama. Nabi menerima laporan dan memberikan perintah negara di masjid beliau.
Menjadi kepala negara sepertinya adalah pekerjaan sambilan Nabi. Nabi tidak memusatkan perhatiannya untuk membangun institusi kenegaraan yang mengurus negara. Tidak ada pos-pos kementrian, tidak ada organisasi militer, tidak ada tentara dan aparat yang digaji negara.
Pengurusan negara dilakukan seperti sebuah kepanitiaan. Jika ada suatu proyek negara, misalnya perang, pengumpulan zakat dan lain-lain, nabi menunjuk seorang sahabat untuk memimpinnya, sedangkan sahabat yang lain akan membantunya dalam struktur yang lepas. Semuanya dilakukan secara sukarela, tidak ada gaji, tetapi bila ada keuntungan (misalnya pampasan perang) mereka akan mendapat bagiannya.
Pusat pemerintahan adalah Nabi, beliau memegang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Jika Nabi telah memutuskan, maka “sami’na wa ato’na” – dengarkan dan laksanakan. Tidak ada lembaga kontrol. Jika Nabi salah, Allah sendiri yang akan menegur melalui wahyunya atau malaikat. Kontrol dari Allah.
Sebelum mengambil keputusan, beliau kadang meminta pendapat para sahabat. Akan tetapi keputusan terakhir mutlak ditangan Nabi, beliau tidak terikat dengan masukan dari sahabat. Bisa jadi keputusan Nabi berbeda dengan masukan sahabat, tetapi setelah nabi menetapkan, wajib bagi umat Islam untuk taat kepada keputusan Nabi.
Pemerintahan yang berpusat pada Nabi ini kacau saat Nabi wafat. Terjadi kebingungan, kepanikan diantara para sahabat. Nabi tidak pernah menentukan siapa penggantinya, dengan cara bagaimana penggantinya dipilih dan apa saja wewenang penggantinya.
Akibat kebingungan ini, jenazah nabi baru dikuburkan tiga hari setelah Nabi wafat.
Suatu ironi, mengingat semasa hidupnya Nabi selalu memerintahkan penguburan sesegera mungkin umatnya yang meninggal.
Khilafah di Masa Khulafaur Rasyidin (631M – 661M)
Khalifah pertama setelah Nabi adalah Abu Bakar, beliau dipilih dari hasil musyawarah para sahabat.
Suksesi pertama ini adalah terobosan besar umat Islam dalam berpolitik yang belum ada contohnya di berbagai kebudayaan lainnya. Ketika dunia masih memilih seorang Raja/Kaisar karena ia adalah anak dari Raja/Kaisar sebelumnya, umat Islam memilih pemimpin karena kualitas dan kapasitas pribadi pemimpin tersebut.
Prinsip suksesi ini terulang dalam periode Khulafaur Rasyidin ini, walau dengan metode yang berbeda-beda. Berikut ini daftar Khalifah dalam periode ini beserta metode pemilihannya:
- Abu Bakar, dipilih dalam musyawarah para sahabat.
- Umar Bin Khatab, ditunjuk Abu Bakar sebelum beliau meninggal.
- Usman Bin Affan, dipilih oleh tim formatur yang dibentuk Umar.
- Ali bin Abi Thalib, dipilih dalam musyawarah para sahabat.
Dalam organisasi pemerintahan, para sahabat mulai membangun struktur pemerintah secara profesional. Mulai dibentuk tentara profesional dan aparat negara yang digaji negara, dibentuk semacam kementrian untuk lebih fokus mengurusi kepentingan negara.
Dalam pengambilan keputusan, mereka meniru apa yang dijalankan Nabi yaitu pemusatan semua kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif ditangan pemimpin tertinggi, yaitu Khalifah.
Tidak ada lembaga kontrol. Jika Khalifah dianggap salah, para sahabat senior akan menegur Khalifah, akan tetapi hal itu tidak mengikat Khalifah. Kekuasaan Khalifah adalah mutlak.
Perbedaan pendapat akan selalu ada di sistem manapun. Dan dimana tidak ada mekanisme kontrol untuk kepala negara, perbedaan pendapat bisa menjadi suatu hal yang berbahaya.
Dari 4 orang Khalifah, 3 orang meninggal dibunuh oleh lawan politiknya. Hanya Abu Bakar yang meninggal wajar. Suatu sistem yang berbahaya atau bisa dikatakan kacau, dimana 75% kepala negaranya dibunuh karena konflik kepentingan.
Pada akhir masa Khulafaur Rasyidin, Negara Islam telah menjelma menjadi imperium raksasa, menelan imperium Romawi dan Persia yang ada sebelumnya.
Kekuatan militer menjadi unsur penentu untuk penguasaan wilayah yang luas tersebut.
Muawiyah yang secara de-facto menguasai sebagian besar militer negara dan berseberangan secara politik dengan Ali, mengambil kesempatan saat Ali tewas dibunuh.
Ia mengangkat diri menjadi Khalifah. Ia mengakhiri tradisi suksesi pada periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas pribadinya.
Ia memulai periode dimana jabatan Khalifah direbut oleh kekuatan militer dan diwariskan secara turun-menurun.
Khilafah di Masa Dinasti Keluarga (661 M – 1924 M)
Pada periode ini negara Islam berkembang pesat dalam penguasaan wilayah dan penguasaan ilmu dan teknologi. Dari banyak wilayah barunya, Islam banyak menyerap banyak pengetahuan yang ada di sana. Tradisi intelektual Yunani, teknologi dan birokrasi Persia dan Romawi diserap dan dikembangkan lebih lanjut dalam bendera Islam.
Dalam masa ini berbagai macam ilmu berkembang pesat. Kemakmuran meningkat. Islam tumbuh menjadi superpower dunia, pusat peradaban dunia. Banyak kitab-kitab hukum, ilmu pengetahuan, kedokteran dan filsafat disusun dan menjadi rujukan utama sepanjang masa bagi umat Islam.
Dalam sistem pemerintahan, Islam mengadopsi sistem yang terbukti stabil, yaitu sistem kerajaan.
Khalifah adalah Raja/Kaisar versi Islam, ia menjadi Khalifah karena mewarisi jabatan ini dari ayahnya yang Khalifah. Para bangsawan ditempatkan dalam posisi-posisi strategis untuk melanggengkan kepentingan keluarga.
Dalam pemerintahan, Khalifah adalah memegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ia mungkin mengangkat beberapa ulama terkemuka sebagai penasehatnya, akan tetapi kekuasaan mutlak ada di tangan Khalifah, is tidak bisa dikontrol oleh apapun.
Dalam sejarah tercatat beberapa Dinasti berkuasa. Ceritanya sama, para pendiri dinasti adalah tokoh kuat yang merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya dan kemudian mewariskan kekuasaan itu ke keturunannya.
Berakhirnya Era Para Raja, Berakhirnya Khilafah Islam
Api pengetahuan filsafat dan pengetahuan yang dinyalakan Islam, pada saatnya sampai pula di dataran Eropa. Renaissance timbul di Eropa, Eropa yang Kristen mengejar ketertinggalan mereka dari dunia Islam. Berbagai ilmu berkembang pesat.
Salah satu hal penting yang bangkit di Eropa adalah kesadaran bahwa tidak ada hak istimewa kaum bangsawan dalam menguasai negara, bahwa dengan pendidikan, semua orang bisa mempunyai kapasitas yang diperlukan untuk memimpin. Bahwa negara berdiri berdiri untuk mewakili kepentingan warganya dan bukan hanya kepentingan raja dan kelompok bangsawan.
Negara bangsa muncul, revolusi Perancis memulai disingkirkannya hak-hak istimewa Raja dan bangsawan. Berbagai negara bangsa muncul menggantikan kerajaan.
Kerajaan yang tertinggal mulai membatasi hak-hak Raja dengan beralih menjadi Monarki-Konstitusional.
Kekhalifahan Ottoman adalah satu dari segelintir imperium yang bertahan dengan Monarki–Absolut, dimana kekuasaan Raja/Khalifah adalah absolut. Khilafah Islam adalah salah satu benteng terakhir era negara para Raja.
Perang Dunia I mengoyak Eropa, menghancurkan dan menuliskan ulang batas-batas negara.
Perang ini begitu hebat, belum ada skalanya dalam sejarah. 40 juta orang mati, 4 imperium yang mempunyai akar hingga perang salib terhapus: Kekhalifahan Ottoman (Islam), Kekaisaran Jerman (Kristen), Tsar Rusia (Kristen), dan Imperium Austro-Hongarian (Kristen). Belasan negara bangsa baru muncul di bekas imperium tersebut. Tak ada lagi Monarki-Absolut di Eropa yang ada yang tersisa adalah Monarki-Konstitusional.
Benang Merah Sistem Khilafah
Dari tiga era Khilafah Islam ada benang merah yang bisa ditarik sebagai berikut:
- Khalifah adalah Muslim dan memerintah berdasarkan hukum yang ditafsirkan dari Qur’an & Hadits. Penafsiran dilakukan oleh ulama yang dianggap menguasai ilmu agama. Kondisi dan aspirasi rakyat dianggap dapat diwakilkan dengan pertimbangan ulama.
- Warga non muslim diakomodasi dalam negara, akan tetapi tidak mempunyai hak untuk dipilih sebagai pimpinan lembaga yang strategis.
- Khalifah memegang kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
- Khalifah berkuasa seumur hidup dan tidak ada lembaga yang bisa menurunkan Khalifah ditengah masa jabatannya.
- Tidak ada manusia atau lembaga yang bisa mengontrol Khalifah. Khalifah mungkin membentuk lembaga penasehat atau meminta masukan ulama, akan tetapi keputusan terakhir ada ditangan Khalifah. Diantara para Khalifah, hanya Nabi yang mempunyai kontrol, yaitu Allah yang bisa menegur dan memerintahakan Nabi untuk memperbaiki kesalahannya.
- Pendapat atau kepentingan rakyat dan siapapun tidak penting, karena sifatnya adalah masukan dan tidak mengikat Khalifah. Rakyat hanya boleh berharap kemurahan hati sang Khalifah.
Jadi
Apakah layak mengganti sistem demokrasi di Indonesia dengan sistem otoriter yang bernama Khilafah? Anda pilih sendiri jawabannya…
Bacaan:
setuju …diskusinya perlu di perluas lagi…
Contoh syariah, denda 21 milyar, ada yang mau menerapkan monggo, gak ada bedanya ini huku m adat ala papua gak rasional dan aji mumpung, kalau ada orang membagakan hukum syariah, baca dulu apa syariah itu biar lebih jelas dan tau secara gamblang apa yg di maksud syariah dan kelanjutannya. Gak ada bedanya hukum asal2an (hukum adat arab yang dibungkus agama)banyak nipunya itu. jangan percaya ekonom muslim (biarpun aku muslim) gak percaya implementasi dilapangannya. Kebanyakan yang ngomong karena ada kepentingannya di hukum syariah tersebut. Dan masih bayak lagi. Contoh aj adi aceh selama 11 tahun mana keefektifan hukum syariah? gak efektif banget dan membodohkan masyarakatnya, gak ada kepastian hukumnya, masak tuhan membolehkan membunuh/mancung orang, , tuhan suruh potong tangan, cambuk dll. Lucuuuuuuuu! !!! jadi negara yg pakai syariah gak bedanya badut2 lagi beratraksi
@WISYA… SETUBUH EHHH sori setuju sekali… saya juga muslim keturunan… tidak telan mentah mentah khotbah para preman surga.. jiwa dan raga tetap indonesia harga mati mengalir deras dalam tiap inci urat nadi hehehe… kalo hukum syariah atau khalifah di tegakan di indonesia berarti raga kita… ulangi hanya RAGA kita milik indonesia… tapi jiwa dan hati kecil sudah menjadi budak arab dan mungkin tiap RT atau RW sebagian anak muda yang sering begadang sudah tidak bisa melambaikan tangan atau berjabat tangan..
tidak ada yang lebih berhak kecuali hukum allah, semua sistem akan berputar dan hilang kecuali hukum sang pencipta, saya mendukung khalifah karena dibawah kekhalifahan maka hukum allah lah yang tegak allahu akbar
@Yani: kalau sekedar mengklaim ya silakan saja. Hitler juga klaim ras Arya adalah ras tertinggi, ada yg klaim batu akiknya bisa bawa rejeki.
Tapi kalau bicara fakta, khilafah ala nabi sudah habis saat nabi wafat, khilafah ala khulafaur rasyidin habis saat Ali dibunuh, khilafah ala kerajaan habis saat Turki berevolusi. Saat ini ada khilafah ala Taliban, ISIS, Boko Haram – yang juga bakal habis karena tak ada yg mau dukung kebiadabannya.
Yang abadi itu hukum alam saja kok 🙂
Inilah perbedaan agama dengan ilmu filsafah.. Ngak nyambung..
Assalamualaikum Wr. Wb.
Sobat yang insyaAllah dirahmati Allah Swt. Yuk mari kita berdiskusi dan shearing terkait akar dari perpecahan umat islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW meninggal yakni adalah tiada lain karena masalah perebutan kekhilafahan atau kepemimpinan. Sebagaimana dari setiap kepemimpinan itu memiliki peraturan-peraturan khas dan hal itu terus berubah-ubah dari zaman ke zaman hingga sampailah islam pada generasi sekarang ini yang banyak macamnya.
Tujuannya adalah tiada lain mencari informasi untuk islam yang benar-benar original dan yang belum tercacati.
1. Pertama, kita faham bagaimanakah hukumnya mengurus jenazah seorang muslim yg meninggal adalah fardhu kifayah yakni artinya jika sudah ada yang mengurusnya (jenazah tersebut) maka gugur sudah kewajiban yang lainnya.
Kedua, apakah hukumnya tentang khilafah? Apakah fardu a’in ataukah fardu kifayah?
Ketiga, manakah yang lebih penting dan utama dari hukum fardhu kifayah dan fardhu a’in? Ya tentu, jawabnya adalah fardhu a’in karena setiap muslim berkewajiban atasnya.
Keempat, jika khilafah hukumnya adalah fardhu a’in artinya hal ini sangat teramat penting. Analoginya adalah apakah mungkin sesosok nabi Agung Muhammad SAW sebagai penutup atau penyempurna kenabian yang dengannya membiarkan hal ini terjadi tanpa suatu KEJELASAN YANG PASTI sehingga umat islam ini tidak akan PECAH??? mungkinkah sosok beliau (SAW) yang telah mengajarkan cara mengurus jenazah secara jelas kepada umatnya yang hukumnya fardhu kifayah, namun lalai dan gagal mengurus khilafah yang teramat penting sepeninggal beliau. JAWABNYA, “TENTU ITU TIDAK MUNGKIN SAUDARA”!!! Nabi Muhammad SAW adalah orang yang tidak akan berkata dan berbuat sesuatu melainkan hal itu adalah dari Allah Swt dan karena Allah SWt..
Jawabnya: Nabi Muhammad SAW, PASTI dan SUDAH menyampaikan masalah penting ini dengan SANGAT JELAS kpd umatnya.. Sehingga umat tidak akan terpecah karenanya.
Lalu sebenarnya siapakah ahli orang2 yang sebenarnya ditunjuk dan dipercaya oleh Allah dan nabi SAW untuk umatnya sepeninggal beliau???
Silahkan kepada sobat-sobat mohon ditanggapi dan utamakan dalilnya.
Jazakalloh Khoiran Katsir.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
@Anas Wafiq: tulisan saya ini mengenai apa yang sudah terjadi.
Kalau anda punya dalil-dalil mengenai apa yang terjadi, ya silakan saja disampaikan. Tolong menyampaikannya dengan jelas, tak perlu banyak basa-basi yang tak perlu.
Bolehlah tulisannya. Yang jelas membuka cakrawala berfikir. Kalau ummat islam memiliki khalifah saat ini, kita bisa berbaiat. Mudah mudahan bisa melindungi ummat islam dan menyampaikan islam ke seluruh dunia. Kalau kejadiannya tidak ada khalifah seperti sekarang, jalankan syariat islam semampunya. Mulai dari diri sendiri dan keluarga, mulai dari yang wajib dan mulai sekarang juga.
@Dini Ahmad: lah anda kemana saja selama ini? saat ini sudah ada 2 khilafah di dunia Islam.
Yaag pertama adalah Khalifah Ahmadiyah ke V, Hazrat Mirza Masroor Ahmad yang sudah menjabat sejak 2003. Khilafah Ahmadiyah bersifat dakwah, bukan kekuasaan politik, tujuannya adalah memimpin gerakan dakwah jamaah Ahmadiyah dunia.
Yang ke dua adalah Khalifah versi ISIS – Abu Bakar Al Baghdadi yang menjabat sejak Juni 2014. Khalifah ini ini memiliki kekuasaan politik dan wilayah negara yang nyata, yaitu di seputaran Suriah dan Irak.
Anda mau berbaiat? silakan saja pilih mereka. Saya sih emoh.
Terimakasih pak judhianto atas infonya mengenai dua khalifah. Saya sih punya kriteria dalam berbaiat. Khalifah haruslah yang menjadi pelindung masjidil haroom, berdiri diatas kebenaran dan memang terbukti mampu melindungi ummat islam.
Saya juga menunggu tulisan pak judhianto yang akan menafsirkan ulang islam. Kalau bisa digarap serius pak seperti ulama ulama terdahulu.
@Dini Ahmad: kalau melihat rencana jangka panjang ISIS, mereka bermaksud melebarkan wilayah kekuasaannya ke semua negara dengan populasi muslim. Saudi yang Mekah di dalamnya, serta Indonesia yang memiliki muslim terbanyak bakal menjadi bagian dari khilafah ISIS. Masih bakal berbaiat pada penguasa masjidil haam itu? saya tetap enggak.
pastinya di akhir zaman nanti negara Khilafah akan kembali bangkit.
@Fatih: berdasarkan ramalan kan? bukan fakta. Oke
Artikel artikelnya menarik semua dan sejalan dengan cara pandang saya selama ini. Artikelnya sangat logis, humanis dan realistis.serta berani kontroversial. Mas judhianto bahkan mampu menanggapi komentator dengan cerdas,dan bisa mengelola emosi. Salut aku mas.
Cara berpikir Orang seperti mas Judhianto inilah yg diperlukan oleh rakyat Indonesia yg sangat beragam ini, agar Indonesia damai dan tidak terjebak pada klaim kebenaran kelompok tertentu yg ingin memaksakan kebenarnya pada pihak yg berbeda.
Dunia ini akan damai kalau saling menghargai perbedaan, tapi sebaliknya akan konflik berkepanjangan bila terjadi pemaksaan kebenarannya sendiri.Karena itu kalau Indonesia ini dikuasai oleh kelompok tertentu saja dan memaksakan aturan versinya, saya kawatir Indonesia akan bergolak seperti di Timur Tengah.
Kelompok minoritas pasti akan protes, karena Indonesia ini dibentuk atas dasar keberagaman. Para tokoh negara dan tokoh ulama sudah sepakat untuk saling menghargai kebhinekaan saat negara ini dibentuk.. Jangan anggap protes kelompok minoritas mudah untuk diatasi, kalau terdesak mereka juga akan minta bantuan negara lain, yg akan menambah keruh yg terjadi.
Inilah yg saya khawatirkan terjadi.
Kalau saya tanya teman teman,, baik yg Islam maupun non islam, mereka kebanyakan tidak setuju negara berdasarkan agama. Tapi kalau lihat tulisan tulisan dan komentar komentar di dunia maya, banyak sekali yg ingin Indonesia menjadi Khilafah. Saya jadi bertanya tanya, mana yg fakta dan mana yg semu ?
Mas Santo , mas Judhi ….para sesepuh dan bapak bangsa sudah dengan penuh kearifan menerima segala perbedaan yg merupakan kenyataan yg hidup dan menjadi kekayaan bangsa ini.Shg semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA ….TAN HANA DHARMA MANGRWA dalam serat SUTASOMA kita jadikan semboyan, dan PANCASILA kita jadikan dasar negara.Mari kita isi kemerdekaan ini dengan baik utk kita wariskan kpd anak cucu kita, negara yg kita impikan ,adil, makmur, aman dan sejahtera.Semua golongan, yg beragam suku. agama, kepercayaan, punya kontribusi terbentuknya NKRI ini.NKRI tidak lahir begitu saja jatuh dari langit seperti yg kita lihat skr ini.Dia merupakan suatu proses yg panjang dari Jaman SRIWIJAYA , yg Buddhist, Majapahit yang HINDU dengan sumpah PALAPA nya GAJAH MADA mempersatukan NUSANTARA…diikuti runtuhnya MAJAPAHIT….kmd munculnya KESULTANAN2 tersebar di mana mana…tidak lagi ada kesatuan NUSANTARA dibawah satu pusat pemerintahan spt jaman MAJAPAHIT ,SIRNA HILANG KERTANING BHUMI, sampai Belanda dengan VOC nya datang selama 350 tahun menjajah kita , yang membangkitkan rasa kebangsaan untuk mengusir BELANDA….muncul Budi UTOMO 1908…..JONG ini JONG itu , puncaknya SUMPAH PEMUDA…1928…kita sudah berbaiat SATU NUSA, SATU BANGSA,SATU BAHASA INDONESIA , yg mempersatukan kita utk meminta kembali wilayah NUSANTARA dari BELANDA dan tentunya JEPANG yg sempat 3 tahun menjajah kita….dan pada 17 Agustus 1945 kita merdeka dst dst dengan segala dinamika pasang surutnya hingga sampai skr kita menikmati reformasi dan demokrasi ….dimana perbedaan pendapat adalah rahmat, kita terus sempurnakan demokrasi ini shg semua anak bangsa ini mendapat kesempatan yg sama utk kiprah memajukan bangsa.
Mohon jangan lagi kita membuat eksperimen dan melakukan TRIAL and ERROR memimpikan suatu bentuk negara diluar koridor yg sudah disepakati oleh para pendahulu kita ….ongkosnya nanti sangat muuaahaal sekali , very costly. Pepatah mengatakan : SESAL DAHULU PENDAPATAN SESAL KEMUDIAN TIDAK BERGUNA.
CRAH AGAWE BUBRAH RUKUN AGAWE SANTOSO…..mari kita bersama sama MAMAYU AYUNING NUSWANTARA…MAMAYU AYUNING BAWONO.
Boleh juga di coba nih Negara Khilafah, karena kalau tidak dicoba, belum ketahuan di mana kelemahannya, kalau ada kejelekannya lalu diperbaiki hingga menemukan yang terbaik dan optimal. Terbaik untuk umat minoritas dan mayoritas. Karena selama ini menurut pengalaman negara tambah miskin dan tidak mandiri. setelah Presiden Sukarno hutang negara 89 triliun, dan hingga Nopember 2015 menurut Bank Indonesia hutang negara kita sudah 4.234 triliun. Salam dari profesorcilik.wordpress.com
@Maliku45: Negara khalifah belum dicoba? waduh, anda kok seperti gak pernah baca sejarah dan melihat fakta.
Islam sudah menggunakan system khilafah selama 1200 tahun dan berakhir ketika dibuang oleh rakyat Turki karena gak mampu menghadapi perubahan jaman.
Inti system khilafah adalah penerapan syariah Islam sebagai hukum negara. Saat ini ada dua macam Negara syariah yang ada di dunia. Yang pertama adalah Negara syariah dalam wadah kerajaan, ada Saudi Arabia, kerajaan2 di wilayah Arab dan Afrika serta Brunei Darusalam. Yang kedua adalah syariah dalam Negara demokrasi seperti Iran dan Pakistan.
Selain itu ada juga yang sedang memperjuangkan berdirinya Khilafah dengan merebut wilayah Negara berdaulat lain seperti ISIS, Boko Haram, Jabal Al Nusra, al-Qaeda. Ada juga yang cuma sebatas demo-demo dan promosi di sana-sini seperti Hizbut Tahrir.
Di skala propinsi ada juga Aceh.
Hasilnya? pemerintahan yang otoriter, tak transparan, korup, gagal memajukan rakyatnya, sadis dan dipenuhi hukum-hukum konyol.
Anda mau mencoba system seperti ini? saya sih emoh …
Pemerintahan yang otoriter juga dilakukan di masa Nazi, Musolini, dan Korut sekarang. Bukankah mereka bukan negara syariah. Pemerintahan tak transparan dan korup, gagal memajukkan juga ada di Indonesia (buktinya banyak yang masuk KPK). Ini juga bukan negara syariah. Negara sadis yang banyak melakukan penembakan oleh warga sipil terhadap warga lain juga dilakukan oleh Amerka, seperti penembakan di sekolah, kampus. Hal ini akan terjadi terus penembakan beribu-ribu kali jika hukumnya bukan hukum “yang membunuh dengan sengaja harus dihukum bunuh juga’ atau “yang mencuri di hukum potong tangan’. Banyaknya penembakan sadis Ini juga bukan negara syariah. Coba anda beli buku tentang Umar Bin Abdul Aziz, ia pemimpin yang sederhana yang berhasil membuat sejahtera semua rakyatnya, sehingga tidak ada yang miskin di negaranya. Keadaan hasil negatif yang anda sebutkan dihasilkan oleh pemimpin yang cinta dunia dan tajut mati. dan juga pemimpin yang tidak mau mengikuti perubahan jaman. buktinya, Yunani yang bukan negara syariah juga bangkrut.
@Maliku45: saya coba ambil poin komentar anda
Saya setuju. Dengan sistem otoriter, kekuasaan berpusat pada pemimpin tertinggi, sehingga tidak ada kontrol (apalagi dari rakyat) bila penguasa menjadi korup atau menindas rakyatnya. Anda menunjuk pada Hitler, Musolini atau penguasa Korut sekarang.
Pada sistem otoriter, nasib rakyat seolah dipertaruhkan sepenuhnya pada kualitas penguasanya. Jika beruntung akan dapat orang seperti Nabi, Umar bin Abdul Aziz atau banyak pemimpin otoriter yang dicintai rakyatnya. Namun jika apes bisa dapat Kim Jong Un, Hitler, Khalifah Yazid yang pemabok dan gila seks atau Khalifah Usman bin Affan yang menggemukkan kroninya hingga dikudeta rakyatnya.
Bagaimana mencegah penguasa menjadi otoriter, peradaban manusia telah menemukan pemisahan dan pembatasan kekuasaan penguasa dan menjadikan rakyat sebagai pengendali tertinggi negara. Kongkritnya ada dalah sistem Trias Politika dan Demokrasi.
Dalam negara demokrasi orang buruk yang bisa menipu rakyatnya dengan citra yang bagus bisa terpilih, namun tidak akan bisa berkuasa selamanya. Di negara kita, kita bisa dapat presiden seorang Jendral Prihatin yang tak berbuat apa-apa selama menjabat, tapi ia maksimal cuma bertahan selama 10 tahun, karena itu jangka maksimal ia bisa berkuasa. Bandingkan dengan negara otoriter yang memungkinkan seorang pemabok jahat semacam Yazid atau psikopat Kim Jong-Un bisa berkuasa seumur hidup.
Jadi bagi saya Indonesia sudah menuju arah yang benar dengan menggunakan demokrasi. Balik ke sistem otoriter? baik yang disebut kerajaan, kekaisaran atau kekhalifahan? apa kita mau mempertaruhkan nasib rakyat kualitas satu orang tang tak bisa lagi dikontrol? bodoh dan tolol sekali.
Anda menyebut banyaknya pejabat yang ditangkap KPK sebagai kegagalan Indonesia? Anda yakin kalau sebelum ini mereka gak korup, atau gak ada koruptor di Indonesia?
Bagi saya ini adalah sinyal kemajuan Indonesia. Selama ini kita hidup di negara maling, dimana semua orang, bahkan agamawan ikut jadi maling. Jika sekarang banyak yang ketahuan korup, itu hanya karena sebelumnya belum ada lembaga sekuat KPK yang mampu menangkap koruptor.
Bagaimana kekerasan senjata di AS? kok kita bisa tahu? karena ada pers bebas di sana, setiap cacat cela pemerintah pasti diberitakan dengan bebas. Manfaatnya? karena masalah jadi terbuka dan tiap orang tahu, maka pemerintah dituntut bekerja keras untuk mencari jalan keluar. Bisa jadi solusinya cepat tapi bisa jadi lama, tapi akan ada proses perbaikan, kalau tidak pemerintah bisa kehilangan dukungan warganya karena tak becus.
Bagaimana kejahatan di Saudi atau negara-2 syariah? gak ada yang tahu karena tidak ada pers bebas di sana. Yang kita tahu hanya dari laporan pihak asing yang sembunyi-sembunyi meliput di sana. Apakah tidak ada kejahatan? wah, dari TKW kita bisa tahu bahwa pelecehan wanita terutama kepada pekerja asing sesuatu yang berlimpah di sana. Apakah akan ada perbaikan? sepertinya tidak, karena secara resmi mereka mengelak mengakuinya.
Apakah di Korut tidak ada penindasan? kalau baca koran Korut atau informasi resmi pemerintah, pasti tak ada. Kim Jong-Un itu citranya seperti dewa yang tanpa ada cacat cela. Apakah kita bisa berharap ada perbaikan, jika model pemerintah Korut yang seperti itu dipertahankan? tidak bisa.
Jadi di negara terbuka (pers bebas adalah syarat demokrasi), buruknya pemerintah akan segera terekspos kemana-mana karena pemerintah tidak boleh membatasi informasi, karena dengan bebasnya informasi, rakyat bisa menilai penguasanya sendiri secara fair. Sedangkan di negara otoriter seperti Saudi, Korut, ISIS atau RI (diera Soeharto), penguasa selalu baik karena yang buruk dilarang diberitakan. Hasilnya? penindasan apapun akan dikatakan baik, karena itu “demi pembangunan”, “demi revolusi” atau “demi kejayaan Islam”
Anda mau pilih Khilafah? Saya enggak
Kalau gitu kasih saran dong, supaya negara ini lebih baik, karena banyak yang aneh, misalnya jurang yang kaya dan miskin semakin lebar, banyaknya kasus perkosaan diakibatkan pornografi/pornoaksi dari kebebasan pers/internet, karyawan kontrak yang bisa di PHK setiap saat, banjir setiap tahun, kemacetan semakin parah, pengangguran semakin banyak, penipuan lewat sms dan sejenisnya, pendidikan yang mahal, kesehatan yang mahal, begal dan kejahatan serta kriminal yang selalu berulang, penguasa/pejabat yang memihak pengusaha (contohnya reklamasi Jakarta).
@Maliku45: anda kurang lengkap menyebutkan problem-problem bangsa ini. Ada terorisme, main hakim sendiri, penindasan kelompok minoritas, fitnah-fitnah di media sosial yang bila dirunut akarnya dari mabuk agama.
Kasih saran? ini yang saya lakukan lewat web ini atau akun media sosial saya. Mengajak untuk mengkritisi agama sehingga beragama dengan nalar dan kemanusiaan. Anda sudah kasih saran apa?
Aksi lainnya? mendukung pemerintah yang bersih, transparan dan bisa bekerja dengan efektif. Dengan pemerintah yang bersih dan efisien, ada harapan berbagai kasus yang anda sebut bisa satu-satu diatasi.
🙂
terorisme bukan ajaran islam, karena dalam islam orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Orang yang membunuh dengan sengaja harus dihukum bunuh atau denda sesuai permintaan keluarga korban. main hakim sendiri juga bukan ajaran Islam, yang berhak menghukum ya hakim setelah ditemukan bukti-bukti yang kuat, penindasan kelompok minoritas juga buka dari islam. Nabi Muhammad berkata, barang siapa menggangu atau memusuhi orang lain akan menjadi lawan Aku di akhirat, islam juga nggak mengajarkan fitnahn islam mengajarkan kasih sayang. Misalnya Tidak boleh berkata Ah kepada orang tua atau membentaknya. Adanya penyimpangan dari orang islam karena mereka tidak membaca Al-Quran dan memahaminya lalu menjalankannya.
Liberalisme telah masuk ke dalam semua kelompok masyarakat manusia. Tidak terkecuali kaum muslimin. Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam pun demikian. Pengaruh liberalisme telah merasuk ke dalam semua lini kehidupan banyak masyarakat kaum muslimin di negeri ini.
Selain faktor internal kaum muslimin yang lemah dari sisi komitmen mereka terhadap agamanya, terutama persoalan yang berkaitan dengan akidah, tersebarnya aliran pemikiran liberalisme tidak lepas dari peran Barat yang sangat giat menyebarkannya melalui kekuatan politik, ekonomi dan teknologi informasi yang mereka miliki. Dan disinyalir, kaum muslimin adalah sasaran utama dari invansi pemikiran ini. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Clash Of Civilization” (Benturan Peradaban), setelah jatuhnya aliran Komunisme, maka tantangan Barat selanjutnya adalah Islam. Menurutnya, “bahaya Islam” lebih berat dari peradaban-peradaban yang lain seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri Asia Utara yang lain.
Selain itu, keyakinan Barat terhadap konsep liberal di antaranya juga diinspirasi oleh tesis Francis Fukuyama dalam “The End Of History” (Akhir Sejarah) yang menyebutkan bahwa demokrasi liberal adalah titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk pemerintahan manusia.
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin peradaban Islam yang di bangun diatas akidah dan nilai-nilai agama Allah ini dirusak oleh orang-orang kafir dengan pemikiran-pemikiran luar itu. Islam adalah agama yang sempurna dengan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah, Pencipta yang Mahamengetahui segala kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Karenanya Islam tidak membutuhkan isme-isme dan ideologi dari luar. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5]: 3)
Sejarah Liberalisme
Sejarah kemunculan liberalisme terbentang dari sejak abad ke-15, saat Eropa memulai era kebangkitan (Renaissance) mereka sampai sekitar abad ke-18 masehi, setelah sebelumnya dari sejak abad ke-5, orang-orang Eropa hidup dalam era kegelapan (Dark Ages).
Dr. Abdurrahim Shamâyil mengatakan, “Liberalisme secara teori politik, ekonomi dan sosial tidak terbentuk dalam satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir, akan tetapi ia dibentuk oleh sejumlah pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke (w 1704), bukan pemikiran Rousseau (1778), atau pemikiran John Stuart Mill (w 1873), akan tetapi setiap dari mereka memberikan konstribusi yang sangat berarti untuk ideologi liberalisme.”
Sejarah liberalisme dimulai sebagai reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad pertengahan di Eropa. Sebagaimana diketahui, Kristen adalah agama yang telah mengalami perubahan dan penyimpangan ajaran. Pada tahun 325 M, Imperium Romawi mulai memeluk agama Kristen yang telah mengalami perubahan tersebut, yaitu setelah agama Kristen merubah keyakinan tauhid menjadi trinitas dan penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.
Pada saat yang sama, sistem politik yang dianut oleh penguasa untuk memerintah rakyatnya ketika itu adalah feodalisme; sistem otoriter yang zalim, menekan dan memasung kebebasan masyarakat. Sistem feodal berada pada puncaknya di abad ke-9 Masehi ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan dan hilangnya pemerintahan pusat. Kaum feodal terbagi menjadi tiga unsur ketika itu; (1) intitusi gereja, (2) kaum bangsawan dan (3) para raja. Semuanya memperlakukan rakyat yang bermata pencaharian sebagai petani dengan otoriter, zalim dan sewenang-wenang.
Kehidupan beragama dibawah institusi gereja juga sarat dengan penyimpangan. Tersebarnya peribadatan yang tidak memiliki landasan dalam kitab suci dan merebaknya surat pengampunan dosa adalah diantaranya. Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai aktifitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan menghimbau masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga. Pendapat-pendapat tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat. Alquran juga menyebutkan di antara penyimpangan mereka:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah [9]: 34)
Penyimpangan keyakinan, ditambah dengan sistem politik otoriter inilah faktor utama yang kemudian melahirkan pemikiran liberal. Saat masyarakat tertekan dan hidup dalam kezaliman, muncullah reaksi yang bertujuan kepada kebebasan hidup. Hal yang telah menjadi sunnatullah.
Kesadaran masyarakat Eropa yang ingin bebas dari segala bentuk tekanan itu mengharuskan mereka untuk melakukan tranformasi pemikiran. Diantara proses transformasi pemikiran ini adalah reformasi agama. Pada akhir abad ke-15, muncul seorang tokoh Gereja asal Jerman bernama Martin Luther (w 1546), kemudian diikuti oleh John Calvin (w 1564), lalu John Nouks (w 1572). Mereka melakukan perlawanan terhadap Gereja Katolik yang kemudian mereka beri nama Protestan.
Gerakan reformasi agama yang dilakukan oleh Luther ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah liberalisme selanjutnya. Rumusan pemikiran Luther dapat disimpulkan menjadi beberapa poin berikut:
1. Otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible dan bukan pendapat tokoh-tokoh agama.
2. Pengingkaran terhadap sistem kepausan gereja yang berposisi sebagai khalifah almasih.
3. Menegasikan keyakinan pengampunan atau tidak diampuni (dari institusi geraja).
4. Ajakan kepada liberalisasi pemikiran, keluar dari tirani tokoh agama dan monopoli mereka dalam memahami kitab suci, klaim rahasia suci serta pengabaian peran akal atas nama agama.
Gerakan ini disebut sebagai gerakan liberal karena ia bersandar kepada kebebasan berfikir dan rasionalisme dalam menafsirkan teks-teks agama.
Perlawanan terhadap gereja dan feodalisme terus berlanjut di Eropa. Runtuhnya feodalisme menutup abad pertengahan dan abad selanjutnya disebut dengan abad pencerahan (Enlightment). Beberapa tokoh pemikiran muncul. Di Perancis, Jean Jacues Rousseau (w 1778) dan Voltaire (w 1778) adalah diantara pemikir yang perannya sangat berpengaruh. Karya-karya mereka berdua menjadi inspirasi gerakan politik Revolusi Perancis pada tahun 1789, puncak dari perlawanan terhadap hegemoni feodal.
Namun, gerakan yang tadinya sebagai reformasi agama, pada perkembangan selanjutnya perlawanan terhadap gereja mengarah kepada atheisme. Para pemikir dan filusuf Perancis rata-rata adalah para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama. Sejarah panjang agama Kristen dari sejak penyimpangan dan perubahan ajaran hingga perang agama yang meletus akibat reformasi Luther memunculkan kejenuhan yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap agama. Kebebasan rasional (akal) secara mutlak akhirnya menjadi ciri utama dari gerakan ini.
Dr. Abdulaziz al Tharify mengatakan, “Pengagungan terhadap akal semakin nampak pada waktu-waktu revolusi. Mereka mengangkatnya dan mempertuhankannya. Sebagian mereka bahkan mengatakan bahwa ini adalah penyembahan terhadap akal. Para tokoh revolusi mengajak orang-orang untuk meninggalkan agama, terkhusus agama katolik, mereka memutuskan hubungan Perancis dengan Vatikan. Dan pada tanggal 24 November 1793 M, mereka menutup gereja-gereja di Paris, merubah sekitar 2400 fungsi gereja menjadi markaz-markaz rasionalisme dan untuk pertama kalinya digagas soal kebebasan kaum wanita.”
Intinya, titik tolak liberalisme berangkat dari perlawanan terhadap penguasa absolut raja dan institusi gereja yang mengekang kebebasan masyarakat.
Pengertian Liberalisme
Secara etimologi, Liberalisme (dalam bahasa inggris Liberalism) adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Perancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa Liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya dalam satu generasi, dengan tokoh pemikiran yang bermacam-macam dan orientasi yang berbeda-beda.
Dalam al Mawsû’ah al ‘Arabiyyah al Âlamiyyah dikatakan, “Liberalisme termasuk terminologi yang samar, karena makna dan penegasannya senantiasa berubah-ubah dalam bentuk yang berbeda dalam sepanjang sejarahnya.”
Namun demikian, liberalisme memiliki esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan penerapannya, sebagai cara untuk melakukan reformasi dan menciptakan produktifitas. Esensi ini adalah, bahwa liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan manusia. Ia adalah satu-satunya sistem pemikiran yang hanya menghendaki untuk mensifati kegiatan manusia yang bebas, menjelaskan dan mengomentarinya.
Dr. Sulaiman al Khurasyi mengatakan, “Liberalisme adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan berfikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun diatas prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.
Dalam Acodemik American Ensiclopedia dikatakan, “Sistem liberal yang baru (yang termanifestasi dalam pemikiran abad pencerahan) memposisikan manusia sebagai tuhan dalam segala hal. Ia memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Mereka dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan bebas.”
Karakteristik Liberalisme
Walaupun liberalisme bukan terdiri dari satu trend pemikiran, namun kita dapat mengenali aliran ini dengan karakteristik khusus. Karakter paling kuat yang ada dalam aliran ini adalah:
– Kebebasan Individu
Setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk merusaknya. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema yang mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini.
Kebebasan dalam pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kaidah kebebasan mereka berbunyi, “Kebebasan Anda berakhir pada permulaan kebebasaan orang lain.”
– Rasionalisme
Penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran liberal. Rasionalisme diantaranya nampak pada:
Pertama, keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum alam. Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui media indera/materi atau eksperimen. Dari sini kita mengenal aliran filsafat materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap kebenaran melalui materi) dan empirisme (aliran filsafat yang menguji setiap kebenaran melalui eksperimen).
Kedua, negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena tidak ada kebenaran yang bersifat yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran yang bersifat relatif. Ini yang dikenal dengan “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata hasil dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.
Perspektif Islam
Dari latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan semua bentuknya.
Apalagi jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.
Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘ajaran’ liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.
@Maliku45: anda menjelaskan panjang lebar, untuk membantu pembaca yang lain, saya coba sederhanakan beberapa poin pentingnya:
Saya yakin beberapa pembaca jadi bingung melihat hubungan terorisme dan main hakim sendiri dengan liberalisme.
Bukankah main hakim sendiri atau terorisme adalah cermin ketidak adanya penghargaan terhadap kebebasan individu dan menolak menghormati kemerdekaan orang lain?
Orang yang main hakim berarti meyakini bahwa pandangannya adalah yang paling benar, dan tak menghiraukan alasan atau pendapat orang lain. Orang lain tidak diteror dan tidak dihakimi hanya bila orang lain setuju dengan pandangan dia. Seorang liberal akan menghormati kemerdekaan orang lain untuk punya pendapat berbeda se-ekstrim apapun selama mereka tidak melanggar hak orang lain sesuai dengan hukum yang telah disepakati bersama.
Sebagai contoh:
Seorang liberal tak ambil pusing dengan kepercayaan orang lain. Kalau orang lain mau menyembah kuda, kelinci atau bahkan tak bertuhan, ya silakan saja, itu urusan mereka. Namun kalau orang lain mengancam atau berbuat kekerasan terhadap yang lain, mereka akan meminta otoritas untuk menindak orang tersebut.
Seorang liberal tidak akan main hakim sendiri, karena ia sadar belum tentu pendapatnya yang paling benar, ia akan berargumen dengan orang yang pendapatnya berbeda untuk mencari titik temu atau memilih pendapat yang terbaik. Untuk keperluan itu dibutuhkan akal dan pemahaman. Dengan memerhatikan pendapat orang lain, seorang liberal hampir tidak mungkin meneror orang lain agar ikut pendapatnya.
Jika anda berpendapat bahwa liberalisme bertentangan dengan Islam, maka jika dihubungkan dengan prinsip-prinsip liberalisme, maka:
Sepertinya Islam dalam pandangan anda sudah sangat cocok digambarkan dengan tindakan ISIS, Boko Haram, dan Taliban yang memberangus kebebasan warganya untuk berpikir sendiri, berkeyakinan sendiri. Segala macam urusan pribadi dicampuri dan diatur negara, mulai dari aturan berpakaian, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dibaca, didengarkan atau dilihat. Dan bila warganya menolak, akan siap meneror mereka dengan hukuman-hukuman sadis, sampai mereka tunduk. Ini juga dapat dilihat di negara Arab Saudi dan berbagai negara dengan basis hukum syariah. Di kalangan swasta kita juga bisa melihat FPI dan FUI yang ringan tangan meneror siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan Islam mereka.
Jika kita mencari negara-negara dimana agama sudah diminggirkan sama sekali dan digantikan oleh liberalisme-demokrasi, kita bisa menemukan negara-negara Skandinavia seperti Swiss, Finlandia dan sekitarnya yang mayoritas warganya atheis. Di sana tidak ada teror negara untuk memaksakan pandangan-pandangan tertentu.
Jadi sepertinya jika bagi anda ajaran Islam itu antitesa dari liberalisme, maka terorisme dan main hakim sendiri itu bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Terorisme dan main hakim sendiri bukan ajaran Islam?
ah kok mirip bualannya tukang obat
🙂
Dibutuhkan proses, setelah 30 th dikuasai soeharto dan kroni2nya masrakat khususnya penjabat pada saat itu berfoya2 alias korup pada zamannya setiap orang yang memberitakan kebenaran langsung di PKI kan, Kuasa dipegang penuh dan informasi ditutup rapat, masyarakat dicekoki berita tidak obyektif. Dan ini sudah menjadi penyakit dan membutuhkan proses, oleh karena itu dengan membaiknya sistym pemerintahan kita borok2 lama mulai kelihatan di era terbuka ini. Siapa saja berani komen, coba zaman soeharto, kita kritik pejabat sedikit aja, bakal buih kalau tidak hilang nyawa, butuh waktu untuk menghilangkan penyakit tersebut, sampai orang2 lama atau orba punah.
Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib. Utsman juga merupakan salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf. Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.
Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[9] Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.
PERMASALAHAN
Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi bermuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.
Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah terhadap masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan. Disadari proses ini tidaklah mudah. Maka perlu dibatasi permasalahan kajian ini dengan menfokuskan pembahasan guna menjawab pertanyaan : Mengapa Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan publik strategis ?
KRONOLOGI PEJABAT NEGARA ‘KELUARGA’ KHALIFAH UTSMAN
Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia.Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan. Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negative.
Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya. Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”.
Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.
PENUTUP
Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya.
Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut ?
@Tri Mulat: suatu pembelaan yang panjang lebar untuk Usman bi Affan, saya coba singkatkan pembelaan anda untuk pembaca yang lain.
Saya sih tidak tertarik mendebat alasan anda. Saya hanya ingin mengungkapkan fakta-fakta berikut:
Di pemerintahan khalifah sebelumnya memang juga ada pemberontakan, namun dengan alasan yang berbeda.
Abu Bakar memerangi kelompok-2 yang menolak kewajiban zakat serta separatisme, Umar dibunuh oleh orang dari wilayah non-muslim yang ditaklukkan oleh Umar.
Sedangkan Usman, diperangi justru oleh rakyat muslim yang tahu persis kedudukan Usman sebagai salah seorang sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Musuh Usman bukan orang asing, melainkan umat muslim sendiri yang kenal betul dengan Usman tapi menjadi sangat benci padanya.
Jika di era Khulafaur Rasyidin, Amirul Mukminin bisa dipilih dari keturunan siapa saja asalkan beriman, berintegritas dan kompeten, maka negara bentukan Muawiyah menjadikan Khalifah adalah jabatan turun temurun klan Umayah. Di kerajaan Bani Umayah ini, bahkan seorang pemabuk dan gila seks seperti Yazid bisa menjadi Khalifah karena ia anak Muawiyah.
Jadi apakah kita harus percaya bahwa Usman dan keluarganya adalah orang-orang luhur dan kompeten? sehingga tak mungkin menjalankan nepotisme?
Kekhalifahan bani Umayah adalah bentuk lain melembagakan nepotisme mereka dalam negara Islam yang awalnya egaliter. Kerajaan adalah bentuk lain dari nepotisme.
🙂
Pemberontakan besar-besaran yang di lakukan oleh umat islam yang dihasut oleh rabbi Yahudi yang pura-pura masuk islam, yaitu Abdullah bin Saba. Ia melakukan gerakan fitnah dan mengadudomba umat islam selama 5 tahun. Ia banyak mengunjungi negeri Muslim. Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi dari Shan’a, Yaman, yang berpura-pura masuk Islam dan menampakkan rasa cinta kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Rencana besarnya menghancurkan Islam dari dalam, karena muslim semakin banyak dan tidak bisa dilawan dengan senjata. Dialah yang menjadi penyebab utama terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Di antara bukti riwayat yang menetapkan adanya Abdullah bin Saba’ adalah riwayat Syiah dari Abu Ja’far bahwa Abdullah bin Saba’ mengaku sebagai nabi dan meyakini bahwa Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu adalah Allah‘azza wa jalla. Berita itu sampai kepada Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu memanggilnya dan bertanya kepadanya. Abdullah bin Saba mengakuinya dan berkata, “Ya, engkaulah Dia. Telah dibisikkan ke dalam sanubariku bahwa engkau adalah Allah ‘azza wa jalla, sedangkan aku adalah seorang nabi.”
Amirul Mukminin berkata radhiallahu ‘anhu, “Celaka kamu, sungguh setan telah menguasaimu. Tarik ucapanmu ini dan bertobatlah.”
Dia enggan bertobat sehingga Ali radhiallahu ‘anhu menahannya selama tiga hari dan menyuruhnya bertobat. Namun, dia enggan bertobat sehingga beliau membakarnya dengan api dan berkata, “Sesungguhnya setan menguasainya, datang kepadanya, dan membisikkan hal itu ke dalam hatinya.”
Diriwayatkan oleh Syiah dari Abu Abdillah bahwa ia berkata, “Semoga Allah ‘azza wa jalla melaknat Abdullah bin Saba. Sesungguhnya dia menganggap diri Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu sebagai Rabb, padahal Amirul Mukminin adalah seorang hamba yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla. Celaka bagi orang yang dusta atas nama kami. Sesungguhnya ada sebagian kaum yang berkata tentang kami yang kami sendiri tidak mengucapkan hal itu tentang diri kami. Kami berlepas diri kepada Allah ‘azza wa jalla dari mereka; kami berlepas diri kepada Allah ‘azza wa jalla dari mereka.” (Ma’rifat Akhbar ar-Rijal, karya al-Kisysyi, hlm. 70—71)
Al-Mamaqani berkata, “Abdullah bin Saba’ kembali kafir dan menampakkan sikap berlebih-lebihan.” Ia juga berkata, “Dia seorang yang ekstrem, terlaknat, dan dibakar oleh Amirul Mukminin dengan api. Dia menyangka bahwa Aliradhiallahu ‘anhu adalah ilah, sedangkan dirinya seorang nabi.” (Tanqihul Maqal fi Ma’rifat ar-Rijal, 2/183—184)
Dalam riwayat Syiah dari Ibnu Abil Hadid berkata, “Orang pertama yang menampakkan sikap ekstrem pada masa pemerintahannya (yaitu Ali radhiallahu ‘anhu -pen.) adalah Abdullah bin Saba’. Sambil berdiri tatkala Ali radhiallahu ‘anhu sedang berkhutbah, Ibnu Saba berkata, ‘Engkaulah, engkaulah…’ Dia terus mengulangnya.
Ali radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya, ‘Celaka kamu, siapa aku?’
Ibnu Saba’ menjawab, ‘Engkaulah Allah.’
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan untuk menangkapnya, sedangkan sebagian kaum ada yang sejalan dengan pendapatnya .” (Syarah Nahjul Balaghah, 2/234)
Dari Ni’matullah al-Jazairi, Abdulah bin Saba berkata kepada Ali radhiallahu ‘anhu, “Engkaulah ilah yang sebenarnya.”
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian mengucilkannya ke daerah Madain. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam.
Adapun dari kalangan Ahlus Sunnah, seluruh ulama sunnah menetapkan adanya Abdullah bin Saba’ sebagai salah satu tokoh fitnah dalam sejarah Islam. Di antara yang menetapkan adanya Ibnu Saba’ adalah Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhnya, Ibnu Abdi Rabbihi dalam al-‘Aqdul Farid, Ibnu Hibban dalam al-Majruhin, al-Baghdadi dalam al-Farqu Bainal Firaq, Ibnu Hazm al-Andalusi dalam al-Fashl fil Milal, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, as-Sam’ani dalam al-Ansab, dan yang lainnya.
Abdullah bin Saba’, Pencetus Pemikiran Rafidhah
Telah masyhur bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang yang mencetuskan pemikiran Rafidhah, dan asal pemikiran Rafidhah ialah dari Yahudi.
Para ulama telah menyebutkan bahwa asal mula pemikiran Rafidhah berasal dari seorang zindiq/rabbi (Abdullah bin Saba’). Dia menampakkan diri sebagai muslim dan menyembunyikan pemikiran Yahudinya. Dia berkeinginan untuk merusak Islam seperti yang telah dilakukan oleh Paulus Si Nasrani yang sebelumnya adalah seorang Yahudi untuk merusak agama Nasrani.”
Beliau juga berkata, “Asal pemikiran Rafidhah dari kaum munafik zindiq yang dimunculkan oleh Ibnu Saba’ az-Zindiq. Dia menampakkan sikap ekstrem terhadap Ali radhiallahu ‘anhu dengan alasan bahwa beliaulah yang berhak menjadi imam dan telah disebutkan nash tentang hal tersebut. Bahkan, ia menganggap Ali radhiallahu ‘anhu sebagai orang yang maksum. Karena asal mula pemikiran ini dari kemunafikan, sebagian salaf berkata, ‘Mencintai Abu Bakr dan Umar merupakan iman, sedangkan membenci keduanya merupakan kemunafikan. Cinta Bani Hasyim merupakan keimanan, sedangkan membenci mereka adalah kemunafikan’.”
Demikian pula yang diterangkan oleh Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah, “Sesungguhnya asal Rafidhah dimunculkan oleh munafik zindiq yang bertujuan membatalkan agama Islam dan mencerca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagaimana yang telah diterangkan oleh para ulama. Tatkala Abdullah bin Saba’ menampakkan keislaman, dia ingin merusak agama Islam dengan makar dan kejahatannya, sebagaimana halnya Paulus yang berpura-pura sebagai ahli ibadah dalam agama Nasrani. Dia menyebabkan munculnya fitnah terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu dan terbunuhnya beliau.”
Keterlibatan Abdullah bin Saba dalam Peristiwa Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
Abdullah bin Saba’ berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Dia mengelilingi berbagai negeri untuk menyesatkan umat. Dimulai dari Hijaz, Kufah, lalu ke Syam.
Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia pun menuju Mesir dan menanamkan beberapa keyakinan Saba’iyah kepada penduduk Mesir.
Di antaranya adalah keyakinan alwashiyah. Ia berkata, “Sesungguhnya, dahulu ada seribu nabi dan setiap nabi memiliki washi (yang diserahi wasiat). Ali radhiallahu ‘anhu adalah penerima wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia berkata bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, sedangkan Ali radhiallahu ‘anhu adalah penutup para penerima wasiat. Siapakah yang paling zalim dari orang yang tidak menjalankan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melangkahi Ali radhiallahu ‘anhu yang diangkat sebagai penerima wasiat, dan mengambil alih kekuasaan?
Selanjutnya dia berkata, “Sesungguhnya Utsman radhiallahu ‘anhu telah mengambil kekuasaan tanpa hak, sementara Ali radhiallahu ‘anhu adalah penerima wasiat Nabi. Bangkitlah kalian, lakukanlah gerakan, dan mulailah celaan terhadap penguasa kalian. Tampakkan diri sebagai orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar agar kalian dapat menarik hati manusia. Ajaklah mereka melakukan hal ini.”
Akhirnya, dia berhasil menyebarkan berita ini di tengah-tengah umat Islam. Sekelompok orang yang berasal dari Basrah, Kufah, dan Mesir terhasut. Mereka berangkat menuju Madinah pada 35 H, seolah-olah pergi untuk menunaikan ibadah haji. Mereka merahasiakan tujuan sebenarnya untuk memberontak terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu. Jumlah mereka diperselisihkan. Ada yang mengatakan 2.000 orang dari Basrah, 2.000 orang dari Kufah, dan 2.000 orang dari Mesir. Adapula yang mengatakan bahwa seluruhnya berjumlah 2.000 orang.
Mereka memasuki Madinah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengepung rumah Utsman radhiallahu ‘anhu pada akhir Dzulqa’dah dan memerintahkan agar Utsman radhiallahu ‘anhu lengser dari jabatan khalifah. Pengepungan tersebut dimulai dari akhir Dzulqa’dah hingga hari Jum’at 18 Dzulhijjah yang merupakan hari terbunuhnya Utsman.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa pengepungan itu berlangsung selama empat puluh hari, sementara Utsman radhiallahu ‘anhu hanya berada di rumahnya, bahkan dilarang untuk mengambil air. Sementara itu, yang memimpin shalat jamaah adalah seseorang yang terlibat dalam fitnah.
Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar kemudian mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu dan bertanya, “Yang memimpin shalat kami adalah seorang imam fitnah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Utsman radhiallahu ‘anhu menjawab, “Shalat adalah amalan terbaik yang diamalkan oleh manusia. Jika manusia berbuat baik, berbuat baiklah bersama mereka. Jika mereka berbuat keburukan, jauhilah kejelekan mereka.”
Sebagian sahabat mengutarakan keinginan mereka kepada Utsman radhiallahu ‘anhu untuk membela beliau. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, al-Hasan bin Ali, al-Husain bin Ali, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Zubair.
Namun, Utsman radhiallahu ‘anhu memerintah mereka agar tidak melakukan perlawanan yang dapat menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Sebab lainnya, beliau bermimpi yang menunjukkan telah dekatnya ajal beliau. Beliau radhiallahu ‘anhu berserah diri menerima keputusan Allah ‘azza wa jalla.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu dan berkata, “Para penolongmu telah ada di dekat pintu ini. Mereka berkata, ‘Jika engkau mau, kami akan menjadi ansharullah sebagaimana kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami akan melakukan perlawanan bersamamu’.”
Utsman radhiallahu ‘anhu menjawab, “Jika peperangan, tidak.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu. Lalu Utsman radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai Ibnu Umar, perhatikanlah apa yang mereka ucapkan. Mereka berkata, ‘Tinggalkan kekuasaan itu dan jangan engkau membunuh dirimu’.”
Ibnu Umar berkata, “Jika engkau melepaskannya, apakah engkau akan dikekalkan hidup di dunia?”
Utsman menjawab, “Tidak.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Aku sarankan agar engkau tidak melepaskan sebuah pakaian yang telah Allah ‘azza wa jalla pakaikan kepadamu sehingga nantinya akan menjadi contoh. Setiap kali ada kaum yang membenci khalifah atau imamnya, mereka segera mencopot penguasanya dari jabatannya.”
Setelah sekian lama mengepung rumah Utsman radhiallahu ‘anhu, mereka masuk dan membunuh Utsman radhiallahu ‘anhu dalam keadaan beliau meletakkan mushaf di hadapannya. Tetesan darah Utsman radhiallahu ‘anhu tepat mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
“Jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan . Maka dari itu, Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 137)
Mereka yang diketahui sebagai tokoh pergerakan yang menyebabkan terbunuhnya Utsman radhiallahu ‘anhu adalah Ruman al-Yamani, Kinanah bin Bisyr, Sudan bin Hamran, dan Malik bin al-Asytar an-Nakha’i. Adapun yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman radhiallahu ‘anhu adalah seseorang yang berasal dari Mesir yang bernama Jabalah.
Demikianlah akhir dari makar dan tipu daya Yahudi ini: terbunuhnya Utsman radhiallahu ‘anhu, khalifah rasyid yang ketiga, dengan cara yang zalim melalui tangan seorang Yahudi. Pembuat makar yang masuk Islam dalam rangka melakukan tipu daya terhadap kaum muslimin dan menghancurkan persatuan mereka.
@Tri Mulat: menyalahkan orang lain? yaitu orang Yahudi?
Jadi menurut anda, intinya ada seorang Yahudi (Abdullah bin Saba’) yang menghasut umat Islam agar memusuhi Usman (yang tak mempunyai salah) dan akhirnya umat Islam tersebut memberontak kepada Usman?
Kalau menurut logika anda, berarti >> Umat Islam saat itu bodohnya minta ampun, sehingga lebih percaya orang Yahudi dibandingkan dengan Usman dan semua sahabat Nabi yang masih hidup dan tidak memusuhi Usman.
Lalu bagaimana dengan Muawiyah yang akhirnya melembagakan nepotisme dalam bentuk negara kerajaan untuk keluarga mereka (Bani Umayyah)? salah Yahudi juga?
Pantesan umat Islam saat ini melaju kencang mundur kebelakang. Lha wong setiap ada masalah hobinya menyalahkan orang lain dan tak mau meneliti apa yang salah dan kurang dari dirinya sendiri agar bisa melakukan perbaikan.
Kalau saya percaya ada peranan Abdullah bin Saba dalam menghasut umat masa Usman. Karena 2 faktor, dalam dan luar yang menentukan subur atau matinya Islam. Seperti tanaman padi, gak mungkin satu faktor saja ia tumbuh subur, ada banyak faktor yang menyebabkan padi berkembang, seperti faktor genetik, faktor luar pupuk, air, cahaya matahari. bahkan ia bisa mati karena faktor luar seperti angin kencang, banjir, hama dan penyakit tanaman. Memang benar salah satu kemunduran adalah kelemahan umat islam sendiri. Seperti dialog Heraclius (Romawi Timur) setelah perang Yarmuk. ia berkata kepada bawahannya, Mengapa kita kalah dengan Muslim, padahal jumlah kita berkali lipat dengan mereka?. Bawahannya berkata “Mereka rajin sholat malam, puasa disiang hari, tidak pernah berdusta/berbohong, berbuat adil, suka berbuat kebaikan, menjalankan perintah dan larangan Kitab Al-Quran dan nabinya, Muhammad”
@Tri Mulat: komentar anda:
Baiklah ada kemajuan, yaitu mau mengakui memang ada masalah dalam tubuh umat Islam sendiri.
Tapi bagaimana kita bisa membuat perbaikan kalau tak jelas masalahnya apa. Jadi yang anda sebut faktor dalam itu apa? (tolong yang jelas, spesifik dan tak berpanjang-lebar tanpa inti)
Membaca artikel ini telah mengingatkan saya mengenai
“Ketika tahun pertama Hijrah Nabi ke Madinah.. Baginda telah maembuat satu perjanjian bertulis (peraturan) yg dikenali Piagam Madinah. Dari bacaan saya, ia juga dikenali dengan perlembagaan madinah.. ”
Saya bearharap saudara Judhianto sudi menulis satu artikel mengenai Piagam Madinah satu hari nanti.
@Bellicose Leo: Piagam Madinah? semoga dapat bahan ide yang menarik..
Khilafah islamiyah adalah sistem pemerintahan terbaik, karena umat
muslim akan hidup dengan damai di bawah naungan syariat islam, hal ini juga bisa menjadi jawaban akan keterpurukan yang dialami oleh Inodnesia. selengapnya http://transparan.id
@Aqilla Fariza Mufia : Khilafah adalah sistem pemerintahan terbaik?
agar tak cuma terdengar sebagai slogan gombal kosong, mohon tunjukkan apa kelebihan khilafah dalam bidang-bidang yang krusial dalam pemerintahan, seperti metode suksesi, distribusi kekuasaan, pembatasan kekuasaan, serta bagaimana aspirasi rakyat bisa disalurkan. Serta untuk melengkapinya, tunjukkan contoh-contoh nyatanya.
Bisakan? saya tunggu..
Cobalah mencari apa yag mendorong pahlawan kita di indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Dan hubungan indonesia dengan kekhilafahan turki. Apa yg membuat bung tomo membakar semangat arek” sby dg ALLAHUAKBAR bkn merdeka
@Pricilia: kok nyuruh orang lain mencari tahu? kalau anda tahu hubungan antara kemerdekaan RI dengan khilafah, ya silakan dituliskan di sini, biar bisa saya komentari.