Ini adalah lompatan-lompatan liar pikiran yang muncul, saat ribuan Sapi dan Kambing dijajakan untuk disembelih di hari Idul Adha.

Kisah Luar Biasa

Allah: Korbankan anakmu, sembelih dia!
Ibrahim: Oke, saya laksanakan…

Ibrahim menggandeng anaknya ke atas bukit. Dibawanya belati besar yang tajam. Ia berpapasan dengan Iblis.

Ibrahim: Allah perintahkan untuk mengorbankan anakku, saya akan sembelih dia di atas bukit ini.
Iblis: Jangan!.. membunuh manusia itu bukan perkara kecil, apalagi anak kandungmu sendiri. Coba kau tanyakan ke Allah alasannya, lawan dengan alasanmu, bela anakmu, jangan diam saja!
Ibrahim: saya tak perlu alasan apapun, Allah Maha Tahu, kalau dia memutuskan, pasti itu baik, dan saya wajib ikuti.

Ibrahim mengambil batu, dan melemparkannya ke Iblis. Tiga kali.

Ia mengusir Iblis, ia tak ingin tekadnya digugurkan oleh alasan, oleh akal pikiran, oleh hati nurani, oleh pertimbangan kemanusiaan.

Akhirnya Ibrahim menyembelih anaknya, walaupun digagalkan Allah sendiri di detik terakhir, tapi Ibrahim menunjukkan tekadnya untuk melakukan apapun perintah Allah tanpa tanya, tanpa perlu alasan, walaupun itu berarti menjadi pembunuh manusia, walaupun menjadi pembunuh anaknya sendiri.

Manusia Panutan

Allah senang dan bangga dengan sikap Ibrahim.

Dalam Islam, salah satu bacaan wajib dalam sholat adalah mendoakan Ibrahim bersama Nabi Muhammad. Anda sholat 100 kali, maka 100 kali pula wajib anda mendoakan Ibrahim.

Mengenang fragmen hidup Ibrahim juga diabadikan dalam ritual Haji dan Hari Raya Idul Adha.

Dia manusia panutan, tak ada yang seperti dia.

HiFi Tanpa Noise

Kenapa Allah senang dan bangga pada Ibrahim?

Karena kalau dianalogikan sebagai alat pemutar audio, Ibrahim mempunyai kualitas HIFI – High Fidelity. Pemutar audio dengan kualitas HIFI akan mampu menghadirkan suara semirip sumber suara aslinya, tanpa delay, tanpa noise apapun. Kehendak Allah adalah sumber suara, dan Ibrahim mampu membunyikannya tanpa cacat.

Bagaimana agar menjadi HIFI? Ibrahim hanya memproses sumber dari Allah, perintah Allah. Selain itu dianggap noise yang mengganggu, yang harus dibuang.

Pertimbangan nalar? itu noise, pertimbangan kemanusiaan? itu noise, hubungan ayah dan anak? itu noise — semuanya harus diabaikan.

Hanya ada Allah dan perintahnya.

Allah, Problem Pihak Kedua

Ibrahim adalah teladan, namun hubungan Ibrahim dan Allah mempunyai masalah mendasar bila diterapkan pada kehidupan kita.

Masalah mendasarnya adalah, Allah selalu hadir sebagai pihak ketiga dalam kehidupan manusia.

Kita tidak pernah berhadapan dengan Allah yang mengatakan, “mauku begini…”.

Allah selalu hadir sebagai pihak ketiga, ada perantaranya yang mengatakan, “Allah berkehendak seperti ini, Allah tidak mau yang itu…”. Tidak pernah Allah hadir di hadapan kita mengatakan, “Ini mauku…”

Pihak keduanya bisa bernama Ustad, Imam, Kiai, kisah-kisah lalu atau Kitab Suci. Tidak ada jaminan bahwa pihak kedua benar-benar mewakili Allah secara HIFI.

Kita tidak tahu apakah benar kehendak Allah itu seperti yang dikatakan oleh ustad seperti ini, “Sedekahkan Avanzamu lewat saya, nanti Allah akan menggantinya dengan Alphard”, atau “Menyumbanglah lewat ACT, nanti Allah menjamin tempatmu di Surga”, atau “Pilihlah Anies, Allah memandangmu sebagai Muslim yang taat, yang akan mendapatkan ganjaran surga”, atau “santriwatiku, kalau kamu masuk surga, bukalah bajumu, ikuti inginku”

Pihak kedua, sebagai perantara selalu bisa membajak hubungan kita dengan Allah, dengan mengatasnamakan kepentingannya sendiri sebagai kepentingan Allah.

Abaikan Pihak Kedua

Dalam kisah Ibrahim, Ibrahim mengabaikan sama sekali Iblis dan bahkan melemparinya dengan batu.

Setelah mendapatkan langsung perintah Allah, alternatif apapun adalah noise. Siapapun yang mengatakan “Allah pasti bijak, dan tak ingin kau sembelih anakmu sendiri”, adalah orang yang ingin menempatkan dirinya sebagai orang kedua yang menyampaikan kehendak Allah sebagai pihak ketiga, itu juga noise.

Lalu harusnya bagaimana?

Abaikan pihak kedua. Hubungan Allah dan manusia itu hubungan pribadi, tidak ada perantara di antaranya. Allah akan menghakimi tindakan kita, kalau kau ikuti orang lain dan salah, itu jadi kesalahanmu sendiri bukan beban orang lain. Salah sendiri ikuti yang salah.

Jadi?

Gak usah anggap serius perkataan ustad, kiai atau ahli agama. Bukannya sudah banyak contohnya kebejatan yang dilakukan para ahli agama itu? Berapa banyak ustad penipu yang memakan dana sedekah, menggerakkan umat untuk meraih jabatan, atau melakukan kebejatan susila?

Gak usah anggap serius bunyi kitab suci. Bukankah kitab suci terjebak pada norma masa lalu dan tak lagi cocok dengan kehidupan kita. Kita tidak cocok lagi dengan hukum perbudakan di kitab suci, dongeng penciptaan manusia dan semesta, dan hukum yang membelenggu wanita.

Kalau mau dengarkan, pilih-pilih saja. Ambil yang adil dan masuk akal, abaikan sisanya.

Gak Ada Pihak Kedua, Lalu?

Jika ahli agama bukan perantara menuju Tuhan, kitab suci hanya petunjuk masa lalu bercampur dongeng, lalu bagaimana?

Ada dongeng samawi yang mungkin bisa dipakai.

Dalam penciptaan manusia, Tuhan meniupkan ruhnya pada lempung yang dibentuknya, agar hidup sebagai manusia. Kita membawa ruh-Nya, itu bagian dari Tuhan.

Ingin tahu kehendak Tuhan? dengarkan ruh-nya, bukan dengarkan pihak kedua yang mungkin menyesatkan kita.

Bagaimana mendengarkan ruh-Nya? dengarkan hati nurani kita, dengarkan kata hati kita.

Bagaimana kalau dongeng ruh atau bahkan Tuhan itu sama sekali tak lagi anda percayai?

Tetap dengarkan kata hati kita.

Kata hati kita adalah perwakilan kompleks bawah sadar manusia, tabungan evolusi berjuta tahun yang berisi kumpulan perilaku yang terbukti baik bagi kelangsungan hidup manusia.