Manusia punya Jiwa yang tidak akan musnah setelah tubuhnya mati. Tubuh hanyalah wadah sementara untuk zat ghaib bernama Jiwa yang abadi.

Konsep di atas hampir menjadi pengetahuan umum yang dikembangkan oleh semua peradaban di muka bumi ini. Itu seumum pengetahuan bahwa setiap hari matahiari terbit di Timur, lalu bergerak di langit menuju Barat, tenggelam, lalu esoknya terbit lagi di Timur.

Jika Jiwa abadi, kemana Jiwa pergi setelah manusia mati?

Maka muncul berbagai penjelasan dari agama untuk mengabarkan kemana Jiwa pergi. Orang Eropa Utara mengatakan Jiwa pergi ke Valhalla untuk bergabung dengan Odin dan para Dewa berpesta, orang Yunani mengatakan Jiwa pergi ke Elysium untuk hidup bersama para Dewa dan Pahlawan, orang India mengatakan selama belum terbebas dari nafsu akan ber-reinkranasi ke tubuh lain di Bumi, kalau sudah bebas dari nafsu akan bergabung ke Nirwana, orang Timur Tengah bilang berpesta di Paradize, orang Arab bilang berpesta di Jannah.

Lukisan Dewa Odin menjamu roh para pejuang di Valhalla sesuai dengan kepercayaan bangsa Viking.

Sains Yang Membuang Jiwa

Setelah abad pencerahan, gairah meneliti alam meningkat di dunia. Berbagai penemuan baru muncul, dan bersama itu berbagai pengetahuan lama gugur digantikan pengetahuan baru.

Siklus harian yang timbul karena perjalanan Matahari, ternyata salah. Matahari tidak kemana-mana, justru Bumi yang berputar dan mengelilingi Matahari yang menciptakan efek siang-malam.

Bumi yang berputar di porosnya sambil mengelilingi Matahari yang diam di pusatnya. Temuan Sains yang menggugurkan anggapan bahwa Matahari bergerak dari Timur ke Barat untuk menciptakan siklus harian.

Metodologi Ilmiah seolah menjadi agama baru bagi manusia. Salah satu “Iman” yang penting adalah Empirisme, pembuktian. Semua klaim butuh bukti, jika tidak bisa dibuktikan maka sebuah klaim akan sejajar dengan dongeng atau imajinasi yang tak bisa dibuktikan.

Masalahnya Jiwa sebagaimana Valhalla, Elysium, Nirwana, Paradize dan Jannah itu tidak bisa dicek buktinya. Karena tidak ada buktinya, maka mereka sejajar dengan dongeng atau imajinasi, dianggap tidak ada.

Ilmu Kedokteran tidak mengajarkan tentang Jiwa, melainkan tanda vital kehidupan. Kematian medis tidak didefinisikan dengan perginya Jiwa, melainkan hilangnya aktivitas otak, alias mati otak.

Sains Yang Mencipta Ulang Jiwa

Namun Sains menciptakan ulang Jiwa dengan konsep baru.

Sains menemukan fakta bahwa Otak Manusia menerima sinyal listrik dari seluruh indra dan organ tubuh, memprosesnya dan mengeluarkan perintah berupa sinyal listrik ke organ tubuh untuk menggerakkannya. Otak adalah pengolah data (sinyal listrik), seperti komputer. Otak adalah komputer biologis.

Lebih jauh lagi diketahui bahwa kesadaran manusia bisa dideteksi dari aktivitas otaknya. Manusia sedang tidak sadar, manusia sedang melamun, manusia sedang berpikir keras, manusia sedang bersedih, manusia sedang bergembira — semuanya bisa dideteksi sinyal penandanya di otaknya. Kesadaran dan Pikiran lalu diterima sebagai hasil proses di Otak, hasil kerja Otak.

Saat ini ilmuwan sudah bisa membaca sinyal-sinyal listrik otak yang berhubungan dengan kesadaran, tingkat stress, emosi dan sebagian pikiran.

Manusia hidup karena punya Kesadaran dan Pikiran, tanpa Kesadaran dan Pikiran maka manusia tidak ada bedanya dengan seonggok daging yang mati. Jika pada masa lalu peradaban manusia mengisahkan tentang Jiwa sebagai zat ghaib yang tidak bisa dideteksi dan dibuktikan keberadaannya (sehingga dianggap tidak ada), maka sains seolah mendefinisikan ulang tentang apa itu Jiwa. Jiwa adalah Kesadaran dan Pikiran manusia — yang bisa diukur pertandanya di Otak.

Dongeng Baru Keabadian Jiwa

Jika penelitian tentang otak manusia kelak bisa menguraikan apa saja data yang diolah otak serta bagaimana otak mengolahnya, maka tentunya proses tersebut bisa diolah di komputer, tidak harus lagi dilakukan di otak.

Lalu pendongeng modern mengembangkan cerita lebih lanjut bagaimana jiwa bisa abadi.

Dalam film Chappie, sebelum meninggal, sang tokoh utama memindahkan Jiwanya ke tubuh robot dan melanjutkan hidup dengan tubuh robot.

Dalam film Replicas, dalam sebuah kecelakaan mobil, seorang ilmuwan kehilangan istri dan anaknya. Ia lalu mengekstrak pikiran dan kenangan mereka, menklon tubuh mereka dan memasukkan ulang pikiran dan kenangan mereka ke dalam klon tersebut. Dan kehidupan merekapun berlanjut lagi (tentu dengan drama-dramanya).

Dalam serial Altered Carbon di Netflix, setiap manusia menerima cangkok disk penyimpanan sejak berumur satu tahun. Sepanjang hidupnya pikiran dan ingatannya disalin ke disk tersebut. Saat mereka mati, disk tersebut bisa dicangkokkan ke wadah (alias tubuh manusia klon) yang lain untuk melanjutkan hidup. Tokoh utamanya menjalani kehidupan dengan rentang ratusan tahun dengan berbagai wadah yang digunakannya. Secara teoritis, jiwa manusia bisa abadi menjalankan kehidupan ini, walaupun harus berganti-ganti wadah (tubuh).

Dalam film Chappie, sang tokoh terluka, dan untuk menyelamatkan hidupnya, ia memindahkan ‘Jiwanya’ ke tubuh robot.

Dalam dunia nyata, Elon Musk, milyader pendiri Tesla dan SpaceX, percaya bahwa sebelum abad ke 22, manusia bisa mengupload Jiwanya ke Cloud, sebagai backup ataupun melanjutkan hidup di dunia Virtual. Ia berusaha mencapai mimpinya ini dengan mendirikan perusahaan Neuralink yang berfokus menciptakan interface antara otak manusia dengan komputer.

Jadi?

Apakah Jiwa abadi? Tidak dan Ya.

Tidak, kalau anda membutuhkan bukti. Karena keabadian Jiwa versi agama, sampai saat ini belum bisa ditunjukkan buktinya, sedangkan teknologi yang memungkinkan memindahkan Jiwa ke tubuh lain atau ke komputer belum bisa dibuat.

Ya, kalau anda meyakini sepenuhnya dogma agama yang mengatakan keabadian Jiwa, atau anda berumur panjang hingga masih hidup saat manusia bisa membuktikan bahwa jiwa bisa dipindahkan ke tubuh lain atau dijalankan di komputer.


Bacaan:

Elon Musk’s Neuralink Showcase Spurs Mind-Copying