“Buk, kok ada jajanan basi di laci?”
“Owalah, itu dari kenduri 2 minggu yang lalu. Ibu pikir waktu itu kamu pulang”
Saya buang jajanan itu.

Keluarga kami bukan termasuk berkelimpahan, bahkan untuk urusan jajanan. Saya tahu kalau bapak habis dari kenduri atau ibu kembali dari arisan, mereka biasa membawa pulang jajanan yang dihidangkan untuk anak-anaknya. Jika ada dari kami yang sedang tidak ada, Ibu sering menyimpankannya untuk kami sampai nanti kami kembali. Seringkali bahkan mereka sendiri tak kebagian. Hal ini tetap berlangsung bahkan sampai kami sudah bukan anak-anak lagi.

Saat itu saya sudah kuliah di Malang, dan biasanya baru pulang ke Surabaya kalau sudah kehabisan duit. Kalau ibu punya jajanan, ibu selalu menyisihkan sebagian buat saya, barangkali saya pulang.

Kalau saya balik lagi ke Malang, kadang Ibu berkata: “Yud, Ibu tadi beli jajanan di pasar, bawalah buat bekalmu di bis”.

Kalau jajanan itu tahan lama, kadang saya tak segera memakannya, saya eman karena itu dari Ibu. Kadang saya lupa memakannya, hingga beberapa hari kemudian, saya menemukan jajanan basi di kamar saya. Jajanan itu jadi mubazir karena basi, tapi bagi saya fungsinya adalah pengingat untuk Ibu.

Bagi saya, semua yang dari Ibu adalah wakil kecintaannya pada saya, termasuk pada jajanan yang basi itu.

Saya mengenangnya dan saya sedih. Saat beliau masih hidup, saya merasa belum mampu membahagiakannya dan menjadi penghilang kesedihannya.