Ada yang menarik bila kita mengamati berbagai macam berita-berita hoax yang tersebar di jejaring sosial media, baik di WhatsApp Group, Facebook, Twitter dan web-web. Jika kita mengamati profil dari penyebar atau pembuat hoax tersebut, maka banyak dari mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tampil religius atau yang menganggap penting Agama, Iman atau Tuhan. 

Dari pengalaman pribadi, banyak teman maupun kerabat yang begitu ‘hijrah’ ke kehidupan religius, menjadi sangat aktif membagikan kisah-kisah religius ‘menyentuh iman’, ‘fakta sains agama’ atau ‘konspirasi melawan agama’ di akun media online mereka.

Banyak informasi yang mereka bagikan itu tidak jelas kebenarannya atau bahkan hoax. Beberapa begitu sangat mengganggu karena dengan sedikit googling saja, kisah tersebut bisa diketahui kalau ngawur.

Patung Buddha di Candi Borobudur. Ada ulama yang gigih mendakwahkan bahwa Candi Borobudur adalah buatan Nabi Sulaiman.

Kok aneh, beriman kok suka hoax?

Apakah fenomena ini muncul karena pengaruh sosmed?

Mungkin tidak. Sosmed hanya menguatkan fenomena yang sebetulnya dari dulu sudah ada.

Dari sejarah kaum beriman

Kalau kita baca sejarah, pada saat Imam Bukhari menyusun buku kumpulan hadisnya, ia melakukan pekerjaan besar yang belum pernah dikerjakan orang sebelumnya, yaitu membukukan semua hadis Nabi.

Untuk karyanya itu, ia menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mendatangi para periwayat hadis di berbagai kota, mengumpulkan hadis-hadis mereka dan meneliti siapa saja yang menjadi jalur pewarisan hadis-hadis tersebut.

Jalur tersebut di kroscek dari berbagi sumber dengan memperhitungkan kredibilitas para pewaris hadis tersebut. Dari proses tersebut Bukhari mengumpulkan satujuta hadis dan mencatat delapanpuluhribu perawi dari hadis-hadis tersebut.

Gambar Imam Bukhari dalam perangko terbitan Mesir tahun 1969

Berapa yang lolos dari proses seleksi tersebut?

Hasilnya adalah 7275 hadis saja yang dianggapnya valid. Angka itu berarti hanya kurang dari 1% dari satujuta hadis yang ditelitinya bisa disebut valid.

Mungkin ada banyak duplikasi dari hadis-hadis tersebut, namun itu tidak dapat mengingkari kesimpulan yang nyata bahwa hampir semua hadis yang beredar di era Bukhari hidup, adalah hadis yang diragukan kebenarannya atau bahkan jelas palsu. Di jaman sekarang itu disebut hadis hoax.

Jadi hoax yang disebarkan kaum beriman itu bukan penyakit baru, itu penyakit lama. Paling tidak, terdeteksi di jaman Imam Bukhari hidup, sekitar 200 tahun setelah wafatnya Nabi.

Kenapa yang beriman rentan dengan hoax?

Karena inti dari semua agama adalah percaya (iman) pada dogma tentang Tuhan, roh, hidup setelah mati, makhluk ghaib seperti malaikat, setan dan jin.

Sayangnya semua itu tidak bisa diverifikasi. Pilih percaya atau tidak, iman atau kafir.

Begitu seorang memilih (atau dipilihkan ortunya) agama, maka ia akan memasuki masa indoktrinasi seumur hidup melalui berbagai ritual.

Ia akan mengucapkan alhamdulillah atau puji tuhan atas hidupnya, atas segala hal baik yang dialaminya. Ia juga akan meminta kebaikan ini-itu dan meminta dijauhkan dari celaka ini-itu, mohon agar dimasukkan surga dan mohon agar dijauhkan dari neraka.

Itu diulang tiap hari dalam berbagai ritual seumur hidupnya.

Ia akan juga terus menerus memperbarui imannya lewat menghadiri ibadah bersama, mendengarkan berbagai khutbah agama dan merayakan berbagai macam peringatan keagamaan.

Semakin beriman seseorang, maka semakin tinggi intensitas ritual keagamaan yang dilakukannya.

Sedemikian tingginya intensitas berbagai ritual agama tersebut, hingga pertanyaan dasarnya terlupakan.

Pertanyaan seperti:

  • Apa iya ada hidup setelah kematian?
  • Apakah benar ada berbagai makhluk ghaib itu?
  • Apakah benar ada Tuhan?
  • Apakah ada pembuktian terhadap semua dogma agama itu?

Pertanyaan seperti itu menjadi tidak terpikirkan, karena seumur hidup mereka melakukan berbagai macam ritual yang telah mengandaikan bahwa semua dogma itu benar dan nyata.

Mereka terbiasa menerima (beriman) bahwa semua dogma itu benar dan nyata, tanpa pernah satupun melakukan semacam verifikasi.

Berdo’a untuk bersyukur, meminta bantuan, menolak bala dan sebagainya. Ritual yang dilakukan tiap hari sejak kanak-kanak hingga dewasa.

Karena dalam urusan pokok agama mereka diajarkan percaya (beriman) tanpa verifikasi, maka tidak heran untuk informasi lain yang dibungkus dengan agama, kaum beriman menerima dengan cara yang sama seperti mereka menerima dogma agama, yaitu tidak melakukan verifikasi.

Lalu kenapa kita terkejut dengan gampangnya kaum beriman menerima segala macam hoax yang dibungkus dengan ornamen agama?


Bacaan: