Bangsa Indonesia selalu bangga mengenang kejayaan Majapahit atau Sriwijaya yang pernah menjadi superpower di Asia Tenggara, umat Islam bangga dengan era Khilafah yang pernah menjadi super power dunia. Suatu kebanggaan yang wajar.

Tapi apa memang ada kebanggaan yang tak wajar? ada, dan itu bisa jadi penyakit bagi yang membanggakannya. Kita bisa belajar dari Jepang.

Bangsa Penyempurna

Pada tahun 1543, Jepang mulai mengenal senapan api setelah membeli harquebuses (senapan api kuno) milik 2 penjelajah Portugis.

Senapan itu susah dipakai karena lama untuk mengisi peluru, mudah macet, tak berfungsi diudara lembab dan gerimis. Senapan itu juga tidak efektif karena akurasinya rendah, jangkauan pendek serta tak mampu menembus baju zirah. Tapi ini adalah jenis senjata yang tak dimiliki orang Jepang.

Orang Jepang membongkarnya, membuat tiruannya dan menyempurnakannya.

Jepang terbukti jago menyempurnakan teknologi senapan api. Senapan Jepang terbukti lebih mudah dipakai dan bisa digunakan dalam hujan, selain itu efektifitasnya lebih tinggi karena akurasi tinggi, berjangkauan jauh dan mampu menembus baju zirah.

Pada tahun 1600-an senapan Jepang jauh lebih maju dari senapan api bangsa Eropa.

Rak senapan di kastil Himeji yang dibangun di periode Edo

Bangsa Jepang secara regional unggul dalam strategi berperang menggunakan senjata api.

Keunggulan ini dibuktikan dengan kemampuan Jepang melakukan invasi militer ke Korea pada tahun 1592.

Setelah mendarat di Pusan, 160 ribu pasukan Jepang yang unggul dalam meriam artileri darat dan pasukan senapan api melaju tak terbendung hingga menguasai Seoul dalam 18 hari. Invasi ini terhenti ketika Cina mengerahkan bantuan dan kematian Daimyo Hideyoshi membuat Jepang menarik kembali pasukannya ke Jepang.

Romantisme Masa Lalu

Jepang menjadi superpower Asia Timur, tapi senjata api menghilangkan seni berperang indah Jepang, yaitu pertarungan pedang.

Setelah secara regional kuat dan tak ada ancaman invasi serta perang saudara, bangsa Jepang merindukan “kembali ke jati diri bangsa”, “menghidupkan budaya luhur bangsa” dan menolak “perang tanpa seni”, “kebrutalan asing”, atau “unsur merusak budaya asing”.

Para samurai kemudian berlomba menyempurnakan budaya tinggi bangsa, yaitu seni pertarungan memakai pedang yang lebih indah. Secara perlahan para prajurit dibatasi menggunakan senapan api dan beralih ke seni bertarung ksatria yang luhur, yaitu seni pedang. Jepang yang secara militer unggul di wilayah regionalnya mulai mengisolasi diri.

Nilai-nilai luhur samurai (prajurit Jepang) tidak lagi dimaknai sebagai tekad memenangkan perang, melainkan menegakkan kehormatan, kesetiaan dan pengabdian mutlak pada tuannya serta menjaga nilai-nilai luhur seni berperang. Sosok ideal yang kemudian menjadi panutan para samurai di Jepang pada era itu dapat kita baca pada kisah tentang 47 Ronin serta Musashi.

47 ronin yang melakukan bunuh diri massal setelah membela kehormatan tuannya, sebuah adegan film 47 Ronin

Kedamaian dan isolasi diri selama 250 tahun membuat prajurit Jepang melupakan total teknologi senjata api dan kembali menjadi ksatria yang sangat mahir dalam pertarungan indah dengan pedang.

Isolasi Jepang tak bisa dipertahankan ketika pada tahun 1854, Komodor Perry dari Amerika menerobos masuk Jepang dengan armada kapal perang modernnya. Bangsa Jepang terbuka matanya ketika melihat bahwa pasukan mereka yang sangat anggun dan menguasai teknik berperang indah sama sekali tak bisa mencegah armada perang Amerika yang memaksakan perjanjian membuka isolasi Jepang untuk keperluan dagang Amerika.

Ancaman armada perang Amerika yang tak dapat mereka tandingi menyadarkan mereka bahwa mereka selama ini terlalu asyik dengan romantisme masa lalu, sehingga tertinggal jauh secara militer dan prajurit mereka tak lagi berguna menghadapi peperangan modern.

Film The Last Samurai, yang menggambarkan perjuangan para Samurai menegakkan tradisi menghadapi teknologi barat

Peristiwa tersebut secara tak langsung mendorong revolusi besar di Jepang untuk mengejar ketertinggalan mereka dibidang teknologi, yang populer dikenal dengan Restorasi Meiji. Revolusi ini mendorong mereka mengadopsi sebanyak-banyaknya ilmu dan teknologi barat dengan jalan mengirim sebanyak banyaknya pemuda mereka belajar ke dunia barat.

Saat ini berkat restorasi Meiji, Jepang keluar dari romantisme ketinggian budaya masa lalu dan kembali ke dunia nyata. Saat ini Jepang kembali menjadi salah satu negara penguasa teknologi tinggi di dunia.

Apa yang bisa kita pelajari?

Kita bisa menemukan pola yang sama pada peradaban Islam.

Peradaban Islam mencapai masa keemasannya pada tahun 800 – 1100, pada saat itu peradaban Islam adalah superpower dunia di bidang sains dan teknologi.

Apa yang terjadi kemudian saat itu?

Ketika semangat bertanya, semangat bereksplorasi, semangat membuat perubahan dirasa mengganggu karena menggantikan ketenangan khusyuk, keasyikan beribadah, menurunkan rasa taat dan patuh bulat-bulat pada apapun yang dikatakan kitab suci dan pemuka agama.

Pada saat itulah Al-Ghazali menulis Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof) dimana al-Ghazali mengecam habis-habisan filsafat dan menganggap akal sudah digunakan secara kebablasan sehingga mengancam iman.

Itu adalah titik balik, karena sejak itu filsafat seolah dianggap barang haram dan berpikir bebas seolah menjadi tipuan tertinggi setan.

Setelah itu, Islam mundur.

Sains dan teknologi baru mulai berkurang diproduksi dunia Islam, pendorong utamanya yaitu filsafat dan berpikir bebas sudah mulai hilang dari kepala muslimin.

Jika pada masa keemasannya, muslimin meneropong jauh ke langit membuat peta bintang (hampir semua bintang yang ada memiliki nama yang diambil dari katalog perbintangan ilmuwan muslim), setelah itu mereka menganggap meneropong bintang tak ada hubungannya dengan keselamatan mereka di akhirat.

Sebagai gantinya mereka asyik menekuni ilmu fiqh yang meributkan apakah laki-laki tanpa jenggot termasuk orang beriman? apakah wanita boleh ke pasar? pakai tangan kanan atau kiri untuk cebok?

Apakah umat Islam belum sadar bahwa mereka sedang mengenakan belenggu masa lalu? sepertinya belum.

Saat ini karakter idaman sebagai muslim adalah rajin menjalankan ritual dan taat-tanpa-bertanya pada apapun yang dilabeli agama. Disaat yang sama, kebencian pada pemikiran bebas atau filsafat yang diidentikkan dengan kaum Sepilis (sekuler-pluralis-liberalis) bisa dengan mudah kita dengar dikhutbahkan di ceramah-ceramah agama.

Kapan mereka sadar? entahlah.. mungkin setelah bangsa-bangsa lain sudah mulai tinggal di bulan 🙁


Ini tulisan daur ulang dari catatan di Facebook saya


Bacaan: