“Tidak diperlukan Tuhan untuk penciptaan semesta”, itu adalah kesimpulan Fisikawan nomor satu dunia, Stephen Hawking.

“Tuhan cuma delusi”, kata ahli Biologi, Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion.

Dari hasil survey tahun 1998 pada anggota organisasi sains utama AS National Academy of Sciences, 76,7% dari mereka tidak percaya Tuhan, 23% meragukan atau agnotis (tidak perduli), dan hanya tinggal 7,9% yang masih percaya pada keberadaan Tuhan.

Apa artinya?

Artinya para agamawan sudah tak layak lagi untuk mengatakan bahwa keberadaan Tuhan didukung sains, lha wong mbahnya sains saja (para saintis) kebanyakan memilih tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Kalau ada dukungan sains untuk Tuhan, yang mempercayainya pertama kali tentunya para saintis tersebut.

Kalau Tuhan ternyata tidak mendapatkan dukungan dari sains, apakah sebentar lagi Tuhan akan dilupakan manusia? Sepertinya tidak.

Tuhan itu maha, tentunya maha ulet juga. Pukulan sains mungkin mematikan Tuhan di pikiran sebagian orang, namun pukulan itu tak mampu mengenyahkan Tuhan di pikiran banyak orang lainnya.

Bagaimana bisa? paling tidak ada empat respon menghadapi serangan keras sains terhadap Tuhan.

Penganut agama Buddha di hadapan patung Buddha. Siapa melindungi siapa?

1. Tuhan Memang Tidak Ada

Salah satu prinsip yang biasa dipakai para ilmuwan adalah prinsip pisau cukur Occam, yang secara sederhana berbunyi: ”Untuk sesuatu yang tidak kita ketahui, jika ada penjelasan sederhana disamping penjelasan rumit, gunakan yang sederhana”

Sebagai contoh: jika saya baru menyadari bahwa dompet saya hilang setelah berjalan-jalan di terminal, bisa jadi saya punya 2 penjelasan yang mungkin:

  1. Dompet saya diambil oleh tukang copet
  2. Dompet saya diambil oleh agen Zionis yang ingin melemahkan ekonomi umat Islam

Dua penjelasan tersebut bisa salah atau benar karena sampai saat ini saya belum mendapatkan dompet saya dan cerita sebenarnya.

Dengan menggunakan konsep pisau cukur Occam, penjelasan yang harus saya pilih adalah yang paling sederhana yaitu: “diambil tukang copet”. Penjelasan “diambil agen zionis” mungkin terkesan heroik, namun itu mengada-ada dan memperumit masalah.

Begitu pula jika tidak ada dukungan sains dan saintis untuk keberadaan Tuhan, maka penjelasan yang paling sederhana adalah: “Ya memang Tuhan itu tidak ada!”.

Penjelasan bahwa “kita tak dapat hidayah”, “hati kita beku”, “kemampuan manusia terbatas”, “sains dan saintis bisa salah” dan segalanya memang bisa dipakai untuk menjelaskan tentang tidak adanya dukungan para saintis pada keberadaan Tuhan, namun dengan menggunakan prinsip pisau cukur Occam, penjelasan itu mengada-ada dan memperumit masalah.

2. Sains Bisa Salah

Tuhan sudah ada ribuan Tahun dalam kesadaran manusia, Tuhan sudah tersemat sebagai bagian dari identitas sosial kita, Tuhan ada dalam cara kita berhubungan dengan kerabat dan teman. Tuhan sedemikian rumitnya sudah terjalin didalam diri kita, mengatakan “Tuhan tidak ada”  dan mencabutnya dari hidup kita tidaklah sesederhana tindakan mencabut sehelai bulu hidung kita.

Mengatakan “Tuhan tidak ada” berarti keluar dari identitas yang sudah kita jalani selama ini.

Kita dikeluarkan dari kelompok orang beriman, sobat seagama kita dulu akan berkata “kita sudah tak bersaudara dalam iman”, kerabat kita mungkin akan menangisi kita sebagai “orang yang tersesat”, tetangga kita mungkin menasehati anaknya agar tak dekat-dekat kita “nanti ikut tersesat”.

Tuhan itu rumit, dan tidak ada yang sederhana untuk hal yang rumit.

Jika sains mengatakan Tuhan tidak ada, maka kesimpulan “Tuhan tidak ada” itu menyederhanakan persoalan yang seharusnya rumit. Pasti ada yang salah dengan fakta bahwa “Sains tidak mendukung Tuhan”.

Salah satu penjelasan yang sering dipakai adalah sains tidaklah statis. Sains sekarang memang tidak mendukung Tuhan, tapi itu sains yang sedang salah. Kelak pada saatnya sains akan memperoleh bukti tentang adanya Tuhan dengan gamblang.

3. Tuhan Ada Diluar Wilayah Sains

Ini sebenarnya jawaban pada pertanyaan: Tuhan ada dimana?

Jawaban pertanyaan ini berevolusi melalui waktu.

  • “Tuhan ada di puncak gunung yang tak terjangkau manusia”.
  • Saat manusia telah mencapai puncak gunung, ”Tuhan ada di langit”.
  • Saat manusia telah berhasil meneropong langit, “Tuhan ada di langit tingkat tujuh yang tak terjangkau teropong”.
  • Saat tidak ditemukan tingkatan langit, “Tuhan ada di dimensi lain yang tak terjangkau manusia”.

Apakah jawaban terakhir masih laku di masa kini? tidak.

Saat mekanika quantum mengatakan bahwa materi, dimensi waktu, dimensi ruang dan semua dimensi lainnya yang dapat kita amati, maupun tidak dapat kita amati bisa tercipta spontan dari kekosongan, sepertinya penjelasan “dimensi yang lain” untuk tempat Tuhan, tidak lagi masuk akal.

Apakah masih ada tempat sembunyi untuk Tuhan? masih ada…

Dimana lagi Tuhan disembunyikan?

Lewat sains mereka bisa tahu bahwa dari ketiadaan mutlak, secara spontan bisa tercipta materi, ruang , waktu, konfigurasi hukum alam (konstanta gravitasi, gaya nuklir, muatan quark dan sebagainya).

Lewat sains mereka bisa tahu bahwa semesta kita hanyalah satu kemungkinan dari jutaan kemungkinan semesta yang memiliki konfigurasi materi, ruang, waktu dan hukum alam yang berbeda. Di semesta yang beda mungkin gaya  gravitasi jauh lebih kuat dari gaya nuklir, mungkin ada semesta dengan waktu yang tak linear dan berbagai macam kemungkinan semesta yang lain.

Satu hal yang diketahui dari saintis, ada hukum quantum yang secara spontan bisa mengisi ketiadaan dengan semesta. Bahwa sebelum ada materi, ruang dan waktu yang membentuk semesta – sudah ada hukum yang kelak akan menyebabkan semesta terbentuk.

Bahwa semesta ada karena ada hukum, itu batas terjauh yang saat ini bisa dijangkau oleh sains.

Darimana hukum itu berasal, sains tidak bisa menjelaskan, itu wilayah yang tak terjangkau.

Ditempat yang tak terjangkau sains inilah tempat baru dimana Tuhan diletakkan.

Bagaimana menempatkan Tuhan di luar wilayah sains tersebut? berikut ini urutannya:

  • Hukum adalah keteraturan bukan kekacauan.
  • Hukum adalah tertib bukan asal-asalan.
  • Hukum adalah nalar bukan chaos.
  • Nalar mustahil ada tanpa ada kesadaran.

Jika perlu diberi nama, maka kesadaran itulah Tuhan.

4. Mungkin Tuhan Ada

Sains adalah alat untuk memahami realitas, tapi sains sendiri bukanlah realitas. Sampai kapanpun sains tidak akan sama dengan realitas.

Jika sains saat ini atau sampai kapanpun tidak bisa digunakan menemukan Tuhan, bukan berarti Tuhan tidak ada.

Akan tetapi apa perlunya menyelidiki Tuhan? Jika semesta dan segala prosesnya sudah bisa kita pahami melalui sains, kita dapat menguasai semesta ini. Maka ada atau tidak ada Tuhan tidak terlalu penting lagi.

Jadi Tuhan mungkin ada, mungkin tidak ada – biarlah itu menjadi misteri…

Jadi, Selamatkah Tuhan?

Dari respon di atas, kita bisa menangkap bahwa Tuhan masih bisa diselamatkan di 3 dari 4 respon tersebut.

Akan tetapi Tuhan masa lalu, yang mau mendatangkan domba dari langit untuk pengganti anak Ibrahim yang akan disembelih, yang mau membelah laut untuk Musa, yang mau memerintahkan burung ababil menjatuhkan sijjil bagi pasukan yang akan menghancurkan Ka’bah – sepertinya sudah berlalu.

Tuhan yang bisa selamat dari 3 respon di atas, hanyalah Tuhan tujuan do’a dan keluh yang kita tahu tak akan menolong dengan mengacaukan hukum alam untuk kita.

Tuhan yang kita tahu bahwa kita tak tahu apa-apa tentangnya. Tuhan yang dengan tepat ditwitkan dalang Sudjiwotedjo: “Tuhan adalah kumpulan ketidaktahuan manusia”.

Bagaimana Dengan Agama?

Jika umat beragama harus menyelamatkan Tuhan menghadapi Sains, bagaimana dengan agama sendiri?

Ndak cukup disini, harus di tulisan terpisah…


Bacaan: