Sains Dan Tuhan

Bagaimana gambaran hubungan sains dan Tuhan? macam-macam.
Ada yang bilang semakin banyak sains mengungkapkan fakta baru yang sebenarnya sudah lama ditulis dalam kitab suci. Itu bukti kebenaran kitab suci, itu bukti keberadaan Tuhan yang menurunkan kitab suci tersebut.
Ada yang bilang: ah itu cocokologi! kalau kita baca konteks tulisan yang dianggap cocok tersebut, akan terlihat bahwa kitab suci tidak bermaksud sama sekali sedang membicarakan fakta sains yang mereka maksud. Itu hanya upaya memalukan untuk mencocok-cocokan dengan sains, tak lebih. Lagi pula kenapa para ahli kitab suci itu tidak menemukan lebih dulu “fakta sains” tersebut sebelum ditemukan saintis? bukankah kitab suci mereka sudah mengatakannya ribuan tahun yang lalu?
Kedua pendapat di atas saling bertolak 1800, saya tidak akan mengurai lebih jauh dua pendapat tersebut, saya hanya akan menggajak pembaca untuk menelusuri sejarah yang menggambarkan hubungan Sains dan Tuhan.
Tuhan Adalah Sains
Di awal peradabannya, manusia adalah mahluk yang serba ingin tahu yang terdampar di dunia yang tak dimengertinya.
Manusia sama sekali tak punya penjelasan teknis tentang apa dan bagaimana matahari bisa memberi cahaya, kehangatan dan muncul dengan teratur. Manusia sama sekali tidak punya penjelasan tentang pepohonan, hewan-hewan, angin, hujan, dan bintang-bintang.
Manusia sama sekali tidak bisa memperkirakan nasibnya hari ini, apakah mendapat buruan atau bahkan tewas diburu binatang buas. Alam begitu tak tertebak, apa yang akan dialaminya hari ini seolah-olah semuanya diluar kontrolnya.
Di ketidaktahuan tentang alam disekelilingnya, di ketidakmampuan untuk memastikan nasibnya, manusia menemukan Tuhan sebagai jawaban.
Mengapa matahari bersinar?, mengapa hujan jatuh?, mengapa ada binatang dan pepohonan?
Semuanya sudah terjawab oleh jawaban yang memuaskan: Semua itu atas ijin dan kehendak Tuhan yang serba maha (maha pencipta, maha pemelihara, maha tahu, maha kuasa dan segala maha).
Jika manusia tak bisa mengendalikan nasibnya, lalu siapa?
Semuanya sudah terjawab oleh jawaban yang memuaskan: Tuhan menentukan nasib semua mahluk, dari lebah yang mencari madu hingga manusia yang berangkat mencari penghidupannya. Mintalah pada Tuhan untuk nasib baikmu hari ini.
Jika sains adalah upaya manusia memahami segala sesuatu, maka di era ini Tuhan adalah sains itu sendiri.
Sains Untuk Memahami Tuhan
Ketika manusia mulai bisa menemukan bahwa ada keteraturan di alam, bahwa alam bergerak menurut sebab dan pola tertentu, maka manusia mulai merumuskan bagaimana cara membaca alam. Beberapa orang mulai mengkhususkan diri untuk meneliti dan merumuskan pola dan cara kerja alam, inilah berawalnya sains dan saintis.
Dengan pemahaman sainsnya manusia mulai tidak lagi menjadi mahluk yang sama sekali tidak berdaya dihadapan alam. Dengan mengerti cara kerja alam, manusia bisa menyesuaikan diri menghadapi alam dan bahkan memanfaatkan alam untuk keuntungannya.
Alam masih menjadi misteri bagi manusia, lebih banyak yang tidak diketahui manusia dibanding yang ia tahu. Kehendak dan ijin Tuhan masihlah menjadi jawaban yang paling memuaskan manusia. Sains? itu hanyalah alat untuk bisa memahami sebagian kehendak Tuhan, hanyalah alat untuk mengagumi Tuhan yang berada dibalik semua keteraturan alam ini.

Gregory Mendel – perintis genetika dan Ibnu Rusyd – filosof dan ahli kedokteran. Mereka adalah tipologi Ulama-Ilmuwan yang bekerja dengan sokongan penuh institusi agama
Pada era ini kehendak untuk memahami Tuhan menjadikan agama menjadi pendorong utama semua usaha perolehan sains. Hampir semua penemuan besar sains di awal berkembangnya sains berasal dari lingkaran elit para agamawan, mereka ulama-ilmuwan atau pendeta-ilmuwan. Sistem pendidikan, sekolah dan universitas diseluruh dunia, pada mulanya berdiri dan berkembang untuk kepentingan agama. Mereka belajar untuk memahami Tuhan, untuk menemukan betapa sempurnanya Tuhan mengatur semesta.
Di era ini sains digunakan untuk memperkuat dogma-dogma agama. Ketika kitab suci mengatakan Tuhan menciptakan alam, maka sains bekerja untuk membuktikan betapa sempurnanya hukum yang mengatur alam. Sempurnanya hukum alam menjadi bukti yang kuat tentang betapa hebatnya Tuhan yang menciptakan hukum alam tersebut.
Di era ini sains adalah alat untuk memahami kebesaran Tuhan. Agama merupakan pendorong utama sains.
Tuhan Yang Butuh Sains
Ketika sains menjadi semakin maju, manusia mulai menyadari bahwa sains tidak hanya bisa menjelaskan sebagian dari fenomena alam, melainkan sains seharusnya bisa digunakan untuk menjelaskan semua fenomena alam. Bila masih ada fenomena yang belum terjelaskan, manusia yakin, itu hanyalah masalah waktu saja. Suatu saat manusia pasti bisa menjelaskan dengan sains.
Kepercayaan terhadap sains bahkan mencapai titik dimana kita percaya bahwa dengan sedemikian sempurnanya hukum alam, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa terjadi dengan melanggar hukum-hukum alam.
Penjelasan mistis atau mukjizat semakin tidak mendapatkan tempat, itu hanya untuk yang percaya tahayul, kurang pendidikan dan bahkan bodoh.
Bagaimana dengan campur tangan Tuhan? mungkin Tuhan bisa melakukan campur tangan terhadap suatu peristiwa, tetapi campur tangan-Nya tidaklah dilakukan dengan melanggar hukum alam.
Misalkan jika orang yang jatuh dari lantai 4 sebuah gedung, pasti orang tersebut mati. Tetapi atas campur tangan Tuhan, orang tersebut bisa selamat. Akan tetapi campur tangan Tuhan tersebut harus bisa dimengerti nalar dan tidak melanggar hukum alam.
Orang tidak akan percaya jika tiba-tiba orang yang jatuh tersebut tiba-tiba melayang dan mendarat dengan lembut di tanah karena ada malaikat tak terlihat yang membantu mendaratkannya.
Orang akan percaya jika tiba-tiba ada truk dengan bak berisi penuh dengan busa yang berhenti tepat di mana orang yang jatuh tersebut mendarat, orang tersebut selamat karena mendarat di tumpukan busa. Tuhan membantu dengan mengatur truk tersebut melintas disaat yang tepat.
Pada titik ini sains sedemikian kuatnya, hingga agama merasa butuh mendapatkan dukungan sains agar bisa diterima masyarakat. Maka banyak agamawan yang berusaha menunjukkan bahwa agama mereka benar karena apa yang dikatakan agama yang mereka anut bisa dicocokkan dengan sains.
Ada banyak sekali ulama dan situs web yang “hobi” mengutip segala macam kata ilmuwan penemu “fakta sains” yang sesuai dengan ayat ini dan itu atau dogma ini dan itu. Sebagai contoh, kita bisa mengunjungi http://id.harunyahya.com/ untuk Islam atau http://www.gotquestions.org/Indonesia/index.html untuk Kristen.

Harun Yahya yang giat berkampanye untuk menunjukkan bahwa Qur’an benar-benar sesuai dengan sains
Dengan menmpatkan Tuhan dan Agama dalam kerangka sains, secara tak sadar para agamawan mulai melucuti sifat Maha Kuasa dari Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi semena-mena melakukan tindakan yang melanggar hukum alam dan diluar nalar. Kalaupun terpaksa untuk campur tangan, Tuhan hanya bisa campur tangan sebatas diijinkan oleh hukum alam, oleh nalar.
Di era ini, sains menjelma menjadi lebih kuat dan lebih penting daripada Tuhan.
Sains Yang Membuang Tuhan
Ini adalah era kita.
Ilmu Kosmologi mengatakan awal semesta bisa dirunut ulang awalnya pada sebuah bigbang. Bergunung bukti dari pergerakan bintang, galaksi dan sebaran radiasi semesta yang mendukung peristiwa bigbang tersebut.
Ilmu Fisika Nuklir mengatakan kompleksitas beragam atom di semesta ini pada awalnya berawal dari atom Hidrogen yang sederhana. Gravitasi dan beragam gaya semesta mengolah Hidrogen tersebut dalam rangkaian evolusi yang melibatkan reaksi nuklir dalam bintang untuk berkembang menjadi beragam atom yang ada di alam. Materi yang sederhana ini juga berevolusi dalam periode milyaran tahun membentuk galaksi, bintang, planet dan segala isi semesta ini.
Ilmu Biologi mengatakan semua kompleksitas mahluk hidup di bumi ini tercipta melalui proses evolusi yang panjang. Evolusi biologi ini mendapat dukungan dari berbagai fakta arkeologi, analisa DNA dan bahkan simulasi seleksi alam yang dapat dilakukan manusia untuk meniru evolusi alami.
Ilmu Anthropologi, Sosial dan Budaya menunjukkan bahwa proses budaya dapat menjelaskan proses pembentukan agama dalam berbagai peradaban dunia. Tak ada aktor supranatural atau alam supranatural yang bisa dibuktikan dan terlibat dalam pembentukan agama-agama tersebut.
Ilmu Psikologi dan Neurosains menunjukkan bahwa fenomena mistis dan bahkan Tuhan dapat dijelaskan sebagai hasil proses dalam otak.
Ilmu Mekanika Quantum menunjukkan bahwa materi, ruang, waktu, dan hukum alam seperti yang kita alami ini bisa muncul spontan tanpa campur tangan siapapun dari kekosongan mutlak. Bigbang yang menciptakan semesta ini dan hukum alamnya muncul begitu saja dari ketiadaan. Alam semesta dengan hukum alamnya yang seperti kita diami ini hanya satu dari jutaan kemungkinan alam semesta lain dan hukum alam yang lain yang bisa tercipta. Bisa jadi ada semesta lain yang komposisi materi dan hukum alam di dalamnya tidak memungkinkan terciptanya planet dan mahluk hidup.
Gabungan semua sains terbaru itu menunjukkan bahwa semua proses di alam ini bisa dijelaskan oleh sains saja. Lebih jauh lagi Stephen Hawking salah satu ilmuwan utama dunia mengatakan “Tuhan tidak diperlukan dalam penciptaan semesta”.

Perjamuan terakhir kaum saintis. Siapa yang akan disalib esok? Tuhan?
Akibat perkembangan terbaru ini, secara praktis gambaran Tuhan agama-agama kuno yang secara aktif menciptakan dunia, dengan tangannya sendiri menciptakan manusia, melibatkan diri melalui mukjizat dalam berbagai peristiwa di dunia dan menjanjikan surga neraka; menjadi tidak relevan dan tergusur oleh sains.
Tergusurnya Tuhan oleh sains dapat dilihat dari hasil survey mengenai Tuhan terhadap anggota National Academy of Sciences, organisasi ilmuwan Amerika Serikat. Hasil survey tersebut mengejutkan karena 93% dari ilmuwan tersebut tidak percaya lagi pada Tuhan.
Beberapa saintis melangkah lebih jauh dengan menyatakan Tuhan dan agama hanyalah delusi masyarakat kuno, mempertahankannya hanyalah menjadikan penyakit bagi peradaban manusia. Ilmuwan seperti Richard Dawkins, Sam Harris dan banyak lagi bahkan dengan gigih mengkampanyekan penghapusan agama.
Di era ini, sains membuang Tuhan.
Tamatkah Tuhan Dan Agama?
Jika sains sudah membuang Tuhan sebagai aktor yang mengatur dunia, apakah Tuhan akan dilupakan? Apakah agama akan tamat?
Ah, anda meremehkan keuletan Tuhan.
Tuhan personal ala agama-agama kuno mungkin tersingkir, tapi Tuhan dan agama akan kembali dengan format yang mungkin tidak diduga oleh banyak orang.
Bagaimana Tuhan akan kembali? Saya akan coba tuliskan dalam artikel terpisah.
Bacaan:
- Buku: Lawrence Krauss, A Universe from Nothing
- Buku: Karen Armstrong, A History of God
- Buku: Robert N. Bellah, Religion in Human Evolution
- Buku: Richard Dawkins, The God Delusion
- Stephen Hawking’s Final Book Says There’s ‘No Possibility’ of God in Our Universe
Kemenangan tentara Islam atas Persia dijelaskan oleh hadist Nabi.
“Kerajaan Persia akan hancur, dan takkan ada lagi Raja Persia setelahnya. Kekaisaran Romawi juga akan hancur, dan tak ada lagi Kaisar Romawi setelahnya. Kalian akan membagi harta simpanan mereka di jalan Allah. Karena itu, perang adalah tipu daya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Kemenangan Romawi terhadap Persia dan juga kemenangan tentara Islam yang menaklukkan Romawi timur (Istambul) dan Persia itu hanyalah contoh sejarah masa depan yang terjadi di dunia ini saja. Peristiwa hebat lainnya akan segera menyusul. Malah komplit dengan dialog yang terjadi di masa depan itu. Kalau ada yang berminat mau membuat film layar tentang masa depan itu, tidak usah bersusah-payah membuat teks dialognya. Tinggal dihafalin saja.
Bung Judhianto.
Saya berpendapat, semakin maju kemajuan sains malah semakin membuktikan kebenaran informasi yang tertera di dalam Al Quran itu. Misalnya Big bang. Coba anda buka surat al Anbiya 30. Sedangkan Edwin Hubbel baru mengetahuinya pada awal abad ke 20. Terus ending universe ini juga akan berakhir dengan Big Crunch. Al Quran menyebut langit ini kelak akan dilipat. Dibagian lain dikatakan akan digulung. Mirip seperti balon kempes.
@Edriandi: wih hebatnya…
Jadi big-bang juga sudah ada di Qur’an?
He-he-he…
Mungkin kita tinggal cari semut dan burung yang bisa bicara, membuktikan bahwa DNA lempung pasti jauh lebih sama dengan DNA manusia dibandingkan DNA simpanse yang cuma sama sekitar 95% dari DNA kita.
Dari pada mengklaim sains yang ditemukan orang kafir (dan orang Islam gak tahu) sebagai sudah ada dalam Qur’an, apa gak sebaiknya ilmuwan Qur’an mengajari apa yang orang kafir tak tahu. Misalkan tunjukkan saja planet yang bisa dihuni manusia, daripada orang kafir keluarkan duit luar biasa banyak untuk kirim penjelajah antariksa untuk mencarinya.
Atau tunjukkan saja resep ajaib dari Qur’an yang bisa sembuhkan kanker, AIDS atau penyakit mengerikan lainnya, kan gak perlu keluar dana riset milyaran dolar untuk itu.
Dana riset yang milyaran dolar itu kan bisa dimasukkan ke kotak amal masjid?
Wuih hebaaatnya———-Siapa dulu dong Nabinya….!
Ada keterangan dalam Al Quran yang menyebutkan bahwasanya “langit itu kami luaskan dengan kekuasaan Kami”. Saya memaknainya dengan Big bang. Langit ini kelak akan dilipat atau digulung. Ini berarti Big Crunch (penciutan hebat). Anda pasti sudah membaca tentang itu.
Al Quran adalah firman yang tertulis, sedangkan universe adalah firman yang tercipta. Keduanya berasal dari satu sumber yang sama. Tidak mungkin ada pertentangan antara satu sama lain. Demikianlah keyakinan saya. Kalau ada yang bertentangan dengan akal sehat karena tidak semuanya bisa dipahami akal manusia. Ibaratnya kita ini seperti semut kecil yang berada dibalik tumpukan daun kering yang berusaha untuk memahami berapa besarnya alam persada ini.
Pada skala kuantum saja para ahli masih kebingungan. Tidak ada yang mengerti mekanika kuantum kata Richard Feyman. Elektron bisa jadi gelombang, bisa juga jadi partikel. Dua hal yang sangat bertolak belakang. Ajaibnya aplikasinya malah berlaku.
Pada skala makro para saintist masih terperangah dengan hakikat materi gelap dan energy gelap yang mendominasi universe ini. Sekarang semua fisikawan sedunia berlomba-lomba untuk mewujudkan teori medan terpadu yang akhirnya menelurkan string theory dan M-theory. Ketemunya dimensi ruang waktu ini tidak hanya 4 (x,y,z,t). Tetapi lebih banyak lagi.
Teori medan terpadu yang ingin diwujudkan oleh para fisikawan sedunia itu menurut saya hakekatnya adalah bersatunya informasi apa yang tertulis dalam Al Quran dan apa yang tercipta. Yaitu universe dengan segala isinya. Tidak ada dongeng di sini.
Ada satu hal pokok yang sering diulang-ulang dalam Al Quran. Yaitu langit 7 lapis. Kalau ada ilmuwan Islam yang mempunyai kapabilitas seperti Stephen Hawking ia akan dapat mewujudkannya dalam bentuk persamaan. Theory of everything.
@Edriandi: menarik sekali melihat cara anda mengambil kesimpulan, anda mengambil ayat-ayat yang bisa dicocok-cocokkan dengan sains lalu menganggap bahwa itu berarti Qur’an bicara sains. “Langit diluaskan” lalu diartikan big-bang, “langit digulung” lalu diartikan big-crunch.
Lha kalau caranya seperti itu apa bedanya dengan pembaca mimpi, peramal lotre?
Tahukah anda, suatu pendapat ilmiah sebelum dapat diterima atau diakui, harus melalui satu proses yang dinamakan peer review (penilaian sejawat). Yaitu proses penilaian dari ilmuwan lain (atau lembaga ilmiah) dibidang yang relevan dengan pernyataan tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa pendapat itu tidak memiliki kesalahan prosedur atau kesalahan lainnya untuk dapat sampai pada kesimpulan itu.
https://id.wikipedia.org/wiki/Penelaahan_sejawat
Untuk kesimpulan bahwa Qur’an bicara big-bang atau big-crunch, bisa anda tunjukkan ilmuwan kosmologi mana atau lembaga riset mana yang sudah melakukan verifikasi pernyataan itu? saya yakin tidak ada 🙂
Mungkin pernyataan bahwa Qur’an itu ilmiah, itu ilmiah menurut kelompok pengajian anda, tidak lebih. Karena tidak ada lembaga ilmiah yang berpendapat sama.
Ini mirip seperti tukang ojek membicarakan secara detil cara kerja mesin mobil setelah mengamati mesin motornya. 🙂
Oh ya, itu kan mengenai cocokologi untuk hal yang multitafsir.
Kok anda gak membahas pendapat qur’an yang tak multitafsir, seperti semut dan burung yang bisa bicara, manusia yang umurnya 950 tahun, meteor yang kata Qur’an adalah alat pelempar setan? itu kan gampang dibuktikan.
Semua orang tahu bahwa semut dan burung tak bisa bicara interaktif dengan manusia, itu hanya ada dalam dongeng anak-anak.
Jika Qur’an mengatakan Sulaiman bicara dengan semut dan burung, maka kesimpulannya Qur’an itu dongeng. Anda gak setuju kalau Qur’an itu dongeng? tinggal tunjukkan saja seekor semut dan seekor burung yang bisa bicara (bukan menirukan bicara, seperti beo), jika ada maka tentu orang tak ragu lagi cerita ajaib itu bukan dongeng 🙂
Yang terakhir, anda persis sekali menggambarkan betapa Tuhan membutuhkan sains.
Karena keberadaannya tak bisa dibuktikan, maka ajarannya dicocok-cocokkan dengan sains untuk sekedar mengatakan “Ini lho, Tuhan itu benar, buktinya firmannya cocok dengan sains”.
Tuhan yang keberadaannya begitu lemah, sehingga butuh dicarikan dukungan dari sains.
Bung Judhianto terima kasih atas jawabanya yang responsif, interaktif dan komunikatif.
Orang yang mengatakan isi Al Quran itu adalah dongeng sejak zaman dahulu kala sudah ada. Yaitu semenjak zaman para Nabi. Sekarang juga masih banyak dengan warnanya masing-masing. Pada saat diperlihatkan mukjizat sebagai bukti seperti yang selalu mereka minta, mereka akan mengatakan “ah itu adalah sihir”. Karena terlihat melanggar akal sehat dan bertentangan dengan hukum alam yang biasa mereka alami.
Universe dengan segala isinya ini adalah bayangan kebesaran dari sang Pencipta. Secara harfiah saya kasi tamsilan kalau ada sebuah bayang-bayang pastilah ada benda sebenarnya yang disinari oleh cahaya. Mudah-mudahan paham dengan yang saya maksud.
Agar dapat berkomukasi interaktif dengan semut dan burung hanya level para Nabi dan orang soleh yang diberi anugerah yang mampu seperti itu. Manusia biasa seperti anda dan saya yang belum sampai maqamnya ini tidak bisa berkomunikasi dengan hewan tersebut. Semut bertubuh kecil dengan organ otak juga kecil tidak bisa mengeluarkan suara. Apa bedanya dengan ikan paus berukuran besar dengan organ otak besar juga tidak mengeluarkan suara.? Namun, saya percaya percaya semut dengan semut bisa berkomunikasi satu sama lain. Demikian juga ikan dengan ikan.
Perihal umur Nabi Nuh 950 tahun, Nabi Sulaiman berbicara dengan burung dan semut, Nabi Daud bertasbih bersama gunung dll. Hanya satu kata saya katakan. Mukjizat…..! Yang misteri biarlah tetap misteri. Ini sudah menyangkut wilayah keimanan. Sudah harga mati bagi umat Islam. Tafsir itu levelnya sekelas dengan sains. Ia akan berubah terus sesuai dengan perkembangan iptek. Tuhan tidak butuh sains.
Kalau seumpama isi Al Quran itu memang ada yang cocok dan sesuai dengan temuan para ilmuwan kenapa masih tetap menutup mata dan menutup diri. Sediakanlah waktu untuk bersandar ke belakang sejenak sambil merenung “kenapa cocok ya….?” Coba anda buka surat Al Maarij, anda akan menemukan relativitas waktu di situ. Kalau Al Quran mengatakan bahwa manusia itu berasal dari sperma (nuthfah) lalu sesuai dengan kenyataan yang ada, apakah masih tetap juga dikatakan al Quran itu tidak ilmiah.
Hirarki menafsirkan ayat Al Quran adalah dengan ayat Al Quran itu sendiri. Nomor 2 baru dengan hadist. No 3 baru dengan sains dibantu dengan teknologi teranyar supaya bisa diitung, diamati dibuatkan simulasi dst. Akurasi sebuah tafsiran tergantung dari kedalam ilmu dan kecerdasan si penafsir. Tafsiran itu levelnya sejajar dengan sains. Ia akan berubah terus sesuai dengan perkembangan sains. Kalau zaman dulu orang mengatakan zarah itu sebesar biji sawi. Maka zaman sekarang orang mengatakan zarah itu sebesar quark. Anda boleh tidak sependapat dengan saya. No problem….
Mencocok-cocokkan benda atau sesuatu dan mencari hubunganya satu sama lain adalah cara paling mudah dan praktis dalam hidup ini. Di perusahaan lama tempat saya pernah bekerja, saya sering melihat mekanik Caterpillar memperbaiki alat berat. Pada saat memasang baut kadang kala mereka mengambil baut dari produk Komatsu, Hitachi atau yang lain. Yang penting ukurannya sama, bentuk ulirnya sama sehingga cocok untuk dipasang.
Saya lebih suka menyebut dalam menapak kehidupan di dunia ini ibarat bermain bongkar pasang (puzzle). Manusia berusaha merakit kepingan-kepingan informasi yang bertaburan di bawah kolong langit sambil dibimbing dengan kitab suci untuk membentuk satu pemahaman yang utuh. Kalau bisa dibuat simulasi maka dibuatkan simulasinya. Trial and error.! Jatuh-bangun dan salah dalam mencari kebenaran itu adalah biasa. Nabi Ibrahim sendiri juga pada awalnya salah-salah dalam mencari kebenaran yang hakiki.
Saya selalu bersifat open mind terhadap pemikiran baru. Saya tidak ingin mengulang kesalahan seperti yang dilakukan oleh Gereja Roma yang menganut paham geosentris. Butuh waktu ratusan tahun untuk membuat gereja Roma beralih ke paham heliosentris.
Saya tidak pernah melakukan riset. Tapi saya memberikan satu pertanyaan kepada anda. Kenapa sidik jari manusi tidak ada satupun yang sama…? Dimana database sidik jari itu tersimpan?
Pertanyaan kedua. Saya mengambil atom-atom C, H, N, O, P dan S sehingga membentuk molekul organik. Bayangkan saya mengambil 6 buah kelereng beda warna. Lalu kelereng itu saya masukkan ke dalam kantong plastik. Entah bagaimana caranya kumpulan kelereng itu berubah menjadi makhluk ber sel satu yang HIDUP, punya free will, free act, lalu membelah diri alias berkembang biak. Pertanyaan, dari mana datangnya Hidup Dan Kehidupan itu……?
Terus terang saya tergelitik untuk mengulang percobaan yang sudah pernah dilakukan oleh Masaru Emoto. Saya tinggal ambil 4 gelas air. Dengan kondisi percobaan yang tetap sama lalu:
1. Pada gelas 1 saya katakan Tuhan itu 0 (alias tidak ada).
2. Pada gelas ke 2 saya katakan Tuhan itu SATU.
3. Pada gelas ke 3 saya katakan Tuhan itu dua.
4. Pada gelas ke 4 saya katakan Tuhan itu banyak.
Dinginkan air itu, lalu lihat dengan mikroskop electron. Bandingkan pola-pola kristal yang terbentuk. Saya ingin tahu apakah Masaru Emoto itu sekedar jual kecap, ataukah air itu memang betul merespon atas suara atau tulisan yang diperlihatkan padanya.
@Eriandi: ok, sepertinya ini hanya masalah perbedaan kosa kata saja.
Semut dan burung berbicara dengan manusia itu tidak ada buktinya, dan manusia kebanyakan akan menyebutnya “tidak masuk akal”.
Namun manusia beriman tidak menggunakan kosa kata yang pasaran itu, alih-alih mereka mengatakan “itu mukjizat”.
Yah memang para beriman itu mempunyai kekhususan sendiri, mereka memiliki wawasan eksklusif yang tidak akan sama dengan masyarakat awam.
Begitu juga yang disebut ilmiah oleh masyarakat ilmiah atau oleh masyarakat awam, tentu berbeda dengan sebutan ilmiah oleh masyarakat yang telah disinari iman. Untuk itu maka tak heran jika kita tak akan melihat kejeniusan ilmuwan-beriman macam Harun Yahya yang sangat masyhur dikalangan muslim, namun tak satupun ada karyanya berjejak di jurnal ilmiah atau diperdebatkan di lembaga ilmiah macam NASA atau pusat riset dunia.
Masaru Emoto, itu juga contoh lain. Ia adalah Doktor di bidang pengobatan alternatif, yang gelarnya didapat di sebuah universitas terbuka di India yang tidak terakreditasi. Kenapa gak di Jepang? oh ia di Jepang lulusan S1 hubungan internasional.
Di negara Jepang yang riset sainsnya maju, Masaru Emoto dapat gelar lain lagi, yaitu nise kagaku (sains palsu), bahkan ada yg menganggapnya nihon no haji (aib buat jepang).
https://asruldinazis.wordpress.com/2006/12/14/kritikan-tuk-pak-masaru-emoto-yang-nulis-the-power-of-water/
http://www.cp.cmc.osaka-u.ac.jp/%7Ekikuchi/nisekagaku/index.html
http://atom11.phys.ocha.ac.jp/wwatch/appendix/app33.html
http://kxk.makibishi.jp/hado_s.html
Jadinya sama seperti Harun Yahya, Masaru Emoto itu ilmiah dan sudah membuktikan kehebatan agama, namun ya itu, cuma di akui oleh kalangan agama. Untuk yang belajar sains serius, keduanya cuma hiburan saja.
Ini masalah kosa kata saja.
Saya ikut kosa kata para ilmuwan saat berbicara tentang ilmiah, mungkin anda ikut kosa kata agamawan saat berbicara tentang ilmiah.
Itu pilihan saja kok, gak ada yang mewajibkan harus ikut ini atau yang itu.
Bung Judhianto.
Anda belum menjawab dua pertanyaan saya di atas.
@Edriandi: Oh oke
Nggak tahu.
Saat ini dari penelitian spektrum cahaya bintang, komposisi komet dan sampel yang diperoleh dari komet, molekul organik penyusun kehidupan diketahui ada berlimpah di semesta. Itu hasil proses alami.
Kemungkinan membentuk kehidupan secara alami, peluangnya ada. Dengan usia semesta 4 milyar tahun dan luasnya semesta, tinggal menunggu waktu dan kondisi yang tepat saja bahan-2 itu menjelma menjadi hidup.
Kalau anda membaca percobaan Craig Venter dan Eckard Wimmer, mereka berhasil menyusun organisme sistetis yang menggunakan DNA dan RNA rancangan mereka dari bahan-bahan mati. Organisme alien ini bisa hidup dan bereproduksi tanpa perlu campur tangan kekuasaan ghaib.
Ketidak-tahuan itu jantung dari sains. Karena tidak tahu, maka manusia memakai cara sains untuk mencari tahu. Kalau belum tahu ya bilang tak tahu. Kalau nanti hasil penyelidikan menemukan jawabnya, ya sukur. Intinya kalau belum ada faktanya, belum ada teori yang bisa menghubungkan faktanya, ya sains mengatakan: “tidak tahu”.
Bagi saya, lebih baik mengatakan tidak tahu utuk sesuatu yang memang saya tidak tahu, daripada percaya dengan sesuatu yang tak ada buktinya 🙂
Bung Judhianto. Terima kasih atas kejujuran anda.
Saya ekstrapolasi sedikit pertanyaannya. Bayangkan ada 10 butir telur ayam yang dierami oleh mesin tetas. Kita semua tahu sel-sel telur ayam itu semuanya adalah molekul organik. Ada 9 butir telur menetas. 1 butir gagal. Kalau dikupas telur yang tidak menetas itu tampaklah anak ayam itu mati dalam cangkangnya. Kalau diperiksa lagi anatomi tubuhnya sudah terbentuk sempurna. Pertanyaan: entitas apa yang ada pada ayam yang menetas. Dan entitas apa yang tidak ada pada anak ayam yang mati? Apakah entitas itu? Bagaimana sains menjelaskannya?
@Edriandi: ayam mati dan ayam hidup, itu saja.
Sains memang luar biasa. Yang lebih luar biasa lagi, adalah manusia pertama kali yang bisa mengatakan bahwa ini itu atom, ini itu partikel, dan lain-lain. Aneh rasanya? Dari mana dia tahu kalau namanya atom? Kalau saya yang pertama kali menemukannya, saya akan mengarang namanya menjadi oak, dan nama atom hanya akan menjadi sebuah fantasi.
Aneh rasanya, jika manusia mengklaim bahwa mereka harus berkutat kepada sains dan ke-realistis-an, padahal manusia sendiri tercipta secara tidak realistis. Dunia ini tercipta secara tidak realistis, kemudian manusia menerapkan dasar-dasar yang menjadi rujukannya, dan menganggap itu sebagai realistis sesuai dengan batas kemampuan, itulah sebabnya manusia tidak akan pernah bisa menciptakan alam semesta, manusia hanyalah sebuah konsumen alam yang cerdas. Manusia dan sains memang hebat.
Saya sangat mendukung sains dan ilmu pengetahuan, tapi saya memiliki pegangan teguh terhadap Tuhan. Hal itu membuat saya tidak menjadi “kacang yang lupa kulitnya”.
Saya tidak menyalahkan konsep “Sains mengalahkan Tuhan”, sebab memang hal ini sulit dipahami. Hal ini wajar terjadi, karena sains pada hakekatnya adalah “menduga-duga”.
@Dali Kewara: terima kasih komentarnya.
Manusia itu merdeka kok, gak ada yang memaksanya harus berkutat dengan sains, itu pilihan. Ada yang memilih sains, sebagaimana juga ada yang seumur hidupnya berkutat dengan kitab suci dan ritual.
Realistis atau tidak, hanya masalah persepsi orang yang menangkapnya. Bila ada seorang ilmuwan jaman mojopahit yang secara ajaib muncul di jaman ini, tentu ia sepanjang hari berteriak “Ini tak realistis!” saat melihat Smartphone, Mobil, Televisi, Pesawat Terbang dan sebagainya. Tentunya kita tak usah berteriak balik padanya “Ini realistis!”.
Oh ya sains bukan menduga-duga. Menduga hanya salah satu langkah sains yang disebut hipotesis, secara umum sains menggunakan langkah berikut: Pengamatan/pengukuran, hipotesis, prediksi, pengujian/eksperimen. Hipotesis yang lolos pengujian baru bisa disebut teori.
Bagaimana dengan agama? Agama itu keyakinan. Harus diterima begitu saja.
Kalau absurd? ya tetap harus diterima.
Kalau masih butuh fakta, pembuktian atau sesuai rasio, namanya gak yakin lagi 🙂
bagaimana bisa sesuatu yang diciptakan bisa melampui penciptanya..jgn lupa bahwa manusia itu hanya ciptaan yang terdiri dari jiwa, raga dan roh. jiwa berhubungan ke dalam dirinya sendiri,raga berhubungan dengan dunia luar, dan
roh berhubungan ke atas dengan allah. jika ketiganya itu berjalan seimbang tentu kita bisa merasakan eksistensi ketuhanan tetapi dalam sains jiwa dan raga yang lebih dominan. karena sains terbentuk dari perkembangan pola pikir manusia yg mengandalkan panca indera padahal jelas pancaindera itu terbatas.
@UtamyNurPassau: jangan lupa sains itu berhubungan dengan fakta dan pembuktian.
Jiwa, roh dan Tuhan itu sampai saat ini tidak pernah bisa dibuktikan. Dengan tidak didukung bukti, maka statusnya sama dengan dewa-dewi, siluman, kuda sembrani, dan berbagai makhluk mitologi dan dongeng lainnya. Jadi filosofi agama yang anda sampaikan tak ada bedanya dengan filosofi yang disampaikan para tokoh dongeng. Percaya boleh, tidak juga tidak apa-apa 🙂
Bukan bukti fisik Tuhan yg dimaksud tapi bukti yang membuktikan keberadaan maksudnya bro.
@Arhasel: bukti apa saja, fisik atau non-fisik tentang Tuhan itu gak ada yang bisa diverifikasi.
Atau anda bisa menunjukkan bukti yang diverifikasi yang anda maksud?
Ditunggu tulisan berikutnya Mas Judhi.
membosankan jika harus menganalisa isi otak profesor, jam tangan serta kentut yang maha bau.
Jelas, dengan mereka membaca tulisan anda sudah terlihat adanya pertanyaan di benak para analis kentut tentang keberadaan tuhan hanya saja meraka ingin pembutktian “apa buktinya tuhan itu tidak ada” bukannya membuktikan bahwa “tuhan itu ada”
Berapa persen sains (pengetahuan seluruh manusia digabungkan) mengetahui “segala sesuatu?” (rasio antara yang sudah diketahui, dengan misteri yang belum dipahami)
Bisa diukur dari tren jurnal ilmiah yang diterbitkan. Apakah semakin stagnan bahkan mengecil, atau sebaliknya.
Dapatkah pengetahuan seluruh manusia itu menyimpulkan dua hal ini dengan pasti?
A. TUHAN TIDAK ADA
B. TUHAN ADA
Bagaimana jika ada teks dari Tuhan? Sanggupkah sains menguji itu asli bukan buatan manusia?
@Muhammad Hanif Priatama: sains itu tidak bicara tentang “segala sesuatu” atau “kepastian”, itu kosa-kata agama yang mutlak-mutlakan.
Sains itu selalu berkembang, jurnal ilmiah yang diterbitkan tiap tahun selalu meningkat. Batasnya? tidak tahu.
Sains itu menyimpulkan dari fakta-fakta, yang sejauh ini diketahui adalah Alam Semesta ini bisa tercipta karena ada Hukum Alam dan berjalan berdasarkan Hukum Alam. Apakah Hukum Alam itu ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakannya? itu tidak dibicarakan sains karena tidak bisa dibuktikan.
Jadi apakah Tuhan yang menciptakan Hukum Alam ada atau tidak ada, itu bukan urusan sains, karena keduanya tidak ada buktinya.
Itu wilayah keyakinan. Yakini saja, bukan karena terbukti benar atau salah.
Agama yang manusia anut saat ini itu adalah prodak dari ketidak tahuan atas jawaban dari suatu pertanyaan,berangkat dari kelemahan umat manusia pada saat itulah beberapa orang mencari kesempatan untuk mendapat kekuasaan,penghormatan dll. dengan membuat satu cerita bahwa Tuhanlah sang maha dan telah memberikan firman padanya lalu disebutlah ia nabi. Setelah jadi nabi dan mendapat pengakuan dari banyak orang sang nabi pun menuliskan aturan-aturan dan imajiner lalu Anda menyebutnya Kitab suci. itulah sebabnya kenapa dizaman setelah sains berkembang tak lagi ada Kitab yang baru muncul, karena otak udah pada pintar karena sains, kini tinggal para pengikut masing-masing kitab itu yang mencocok-cocokkan dengan sains, mencoba tetap eksis tetapi berbangga dengan tafsir yang berubah-ubah mengikuti perubahan sains.
Aku yakin… Suatu saat nanti sains dapat menciptakan otak yang utuh hasil dari perkembangan tegnologi
“AI” dan “organoid serebral”
Atau menciptakan janin di inkubator dari hasil ekstrak protein bukan sperma dan ovum.
Pada saat ini terjadi aku tidak tahu akan bagaimana lagi agama dalam kitab suci dapat bertahan atau dalih apalagi yang akan mereka gunakan untuk mencocok-cocokkan kitab dengan sains.
ini bukan isapan jempol.
Cari tahu di Wikipedia apa itu.
AI dan apa itu “organoid serebral” itu sudah nyata dan terbukti berfungsi dan bekerja.
Jadi saran saya…bagi Para pemertahan agama siap-siap kan saja asumsimu untuk 10-20 tahun kedepan, karena sains sudah menggebrak.
Salam damai.
(Suatu hari nanti) anda akan mati (dan menghendaki dikubur di dalam tanah). Dapatkah sains menjawabnya?
@M Nur Hisyam: setiap manusia nantinya mati. Mengenai dikubur, dikremasi atau apapun perlakuan terhadap mayatnya, itu cuma pilihan berdasarkan budaya.
Lalu apanya yang perlu dijawab sains?
Artikel nya bagus , tanya jawabnya luar biasa , saya tidak mau berspekulasi dalam hal tuhan ada atau tidak, karena pasti saintis akan mencari alasan dengan segala upaya begitu juga ahli tafsir akan menjawab dengan segala upaya,
Tapi Saya mau ikutan bertanya aja , buat pak judhi bagaimana tentang “first cause” ??
Terimakasih assalamualaikum , semoga sehat selalu
@Arya: fakta yang sudah ditemukan melalui sains adalah bahwa semesta kita ini tidak acak atau bebas aturan.
Semua yang bisa diamati dan diukur di semesta ini bisa dijelaskan oleh berbagai macam hukum alam, entah itu hukum gravitasi, relativitas, mekanika quantum, evolusi, dan sebagainya. Hukum-hukum alam itu juga makin berkembang sebanding dengan semakin canggihnya manusia dalam melakukan pengamatan pada semesta.
Kalau ditanya tentang “First Cause”? sejauh ini, “First Cause” yang bisa dijangkau manusia adalah hukum alam itu sendiri.
Apakah hukum alam ada dengan sendirinya?, atau hasil dari satu “First Cause” yang belum dapat kita jangkau? ataukah ada rangkaian tanpa ujung yang menyebabkan hukum alam? Itu semua ajang spekulasi dan keyakinan, karena kita tidak dapat membuktikannya.
Dalam wilayah spekulasi ini, saya sependapat dengan agama bahwa ada kesadaran yang menciptakan hukum alam, dan disebut Tuhan.