Salah satu saat yang menyenangkan di masa saya kecil dulu adalah saat mendengarkan ibu mendongeng untuk saya. Ibu mendongeng untuk membujuk saya agar tidur siang sepulang dari sekolah.

Bermacam dongeng koleksi ibu saya, mulai dari dongeng kancil, legenda rakyat Jawa, hingga kisah para nabi. Sambil duduk di samping tempat tidur atau kadang berbaring menemani saya berbaring, ibu bercerita. Menyenangkan sekali. Saya hapal koleksi dongeng ibu saya, kadang saya memesan dongeng apa yang ingin saya dengarkan.

Kebanyakan dongeng itu tidak tuntas diceritakan. Biasanya saya tertidur sebelum dongeng selesai. Kadang ibu yang tertidur sebelum selesai mendongeng, dan itu berarti saya punya kesempatan menyelinap keluar untuk pergi bermain…

Dongeng, pelajaran yang sangat efektif

Setelah dewasa, ada satu hal yang saya sadari: dongeng ibu saya itu adalah sekolah kedua saya.

Di sekolah saya diajari untuk tidak berbohong (lewat pelajaran agama atau PMP mungkin).

Di rumah, ibu menceritakan anak gembala yang suka menarik perhatian dengan berteriak bahwa ada serigala yang datang mengintai ternaknya, padahal tidak ada. Ketika saat serigala benar-benar datang, teriakan anak gembala tadi tidak lagi diperhatikan orang kampung, akibatnya ternak mereka benar-benar habis dimangsa serigala.

Apa yang saya sadari lagi?

Dalam seminggu, apa yang diajarkan guru sudah menguap, sehingga perlu membuka catatan untuk menghadapi ulangan. Dongeng ibu saya tetap saya ingat jauh lebih lama. Bagi saya, ”jangan bohong” tidak datang dari ajaran guru di sekolah, melainkan dari dongeng ibu saya.

Sekarang saya merasa sangat beruntung bahwa dulu ibu punya banyak dongeng dan mau mendongengkannya untuk saya.

Mengapa dongeng efektif?

Dalam dongeng kita diajak mengamati kisah seorang tokoh dalam dongeng tersebut.

Jika pendongengnya pandai menceritakannya, maka kita akan terhanyut dalam dongeng itu, kita bisa terbawa gembira, sedih, bahagia dan marah selama mengikuti dongeng tersebut. Kita bisa merasa terlibat secara emosional dengan tokoh dongeng itu.

Seorang anak kecil mungkin tergerak untuk memakai sarungnya sebagai “jubah Superman” setelah mendengar dongeng Superman atau membawa pedang mainannya setelah mendengar dongeng pendekar silat.

Jangan bohong! nanti hidungmu tumbuh terus kayak Pinokio!

Satu hal yang terpenting adalah kita melihat konsekwensi “nyata” dari tindakan yang diperbuat tokoh dongeng itu dan menerima sebagai pelajaran penting bagi kita.

Jangan berbohong, nanti akibatnya fatal seperti anak gembala yang ternaknya habis dimakan serigala, atau hidung kita memanjang seperti pinokio.

Jangan “ini” atau jangan “itu” sangat efektif disampaikan lewat dongeng.

Sebagai bandingannya, “jangan bohong” bisa juga diajarkan melalui pelajaran budi pekerti atau agama di sekolah. Dalam pelajaran sekolah, anak diberitahu jangan berbohong, dan bersama itu dipaparkan alasan logis dan mungkin ayat-ayat pendukung mengapa kebohongan harus dihindari. Semuanya dengan rasio dalam standar kebenaran yang baku.

Dalam pelajaran, anak langsung diberitahu dan diajari. Dalam dongeng, anak diajak mengamati dan menarik kesimpulan sendiri.

Dalam pelajaran, aspek kognitif yang digunakan membungkus pesan. Dalam dongeng, aspek emosional dan partisipatif digunakan untuk membungkus pesan yang disajikan kepada anak.

Pelajaran itu menyampaikan pengetahuan, dongeng itu terlibat menerima pengetahuan.

Problematika dongeng

Dongeng akan efektif sebagai penyampai pesan manakala pada pendengarnya faktor “menarik” masih bisa mengalahkan faktor “mengetahui”.

Dongeng fabel (binatang yang berbicara) akan efektif pada anak kecil, saat remaja dan tahu bahwa tak ada binatang yang bisa bicara, fabel tidak lagi efektif sebagai penyampai pesan. Kecuali dengan jalinan cerita spektakuler, kebanyakan remaja sudah tidak tertarik lagi pada cerita fabel.

Dongeng akan efektif jika pendengar memusatkan perhatian pada keseluruhan cerita dan tidak meributkan masalah detil.

Cerita Superman akan menarik kalau kita memusatkan perhatian pada keseluruhan cerita dan tak meributkan kenapa semua orang sedemikian bodohnya untuk tak dapat mengenal bahwa Superman itu Clark Kent hanya karena sebuah kacamata saja.

Astaga! kok gak ada yang tahu kalau Superman itu sama dengan Clark Kent?

Kisah agama dan dongeng

Penceritaan kisah-kisah dalam agama sebenarnya mengikuti pola penceritaan dongeng.

Pesan untuk mengalahkan kepentingan pribadi dan menegakkan perintah agama seberat apapun itu bisa tangkap dalam keseluruhan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.

Keteguhan hati Ibrahim untuk menyembelih anaknya dan keteguhan hati Ismail menerima nasibnya digambarkan dalam dialog-dialog mereka dalam Qur’an, godaan setan yang menghalangi juga digambarkan dengan menarik. Kita menjadi lega saat malaikat disaat-saat terakhir mengganti Ismail dengan domba.

Pesan yang sama bisa kita tangkap pada kisah Nabi Nuh. Ketika seluruh desa mengolok-olok Nuh karena membuat bahtera di atas bukit dan ramalan mustahilnya tentang azab banjir yang akan diturunkan Allah, Nabi Nuh tetap teguh melaksanakan perintah Allah. Semustahil apapun itu. Kita menjadi lega manakala Allah benar-benar menurunkan banjir yang menenggelamkan para kafir yang menertawakan Nuh.

Agama menyampaikan itu dengan mengajak kita menyaksikan kehidupan para Nabi dan terlibat secara emosional dalam drama mereka. Dengan menyimak banyak kisah dalam kitab suci, kita bisa tahu apa yang penting bagi kita, apa yang perlu kita perjuangkan dan apa yang perlu kita lawan.

Pudarnya kisah agama, pudarnya pesan agama

Seperti remaja yang tak lagi tertarik dongeng fabel, masyarakat masa kini banyak yang tidak lagi tertarik pada kisah para Nabi.

Para pendakwah yang tidak lagi telaten, memotong-motong kisah panjang para Nabi hanya untuk mengambil pesan-pesan pentingnya tidak sadar bahwa kekuatan kisah para Nabi ada pada keseluruhan cerita, dan bukan pada bagian-bagiannya. Ketika kisah dipotong-potong, perhatian bergeser dari keseluruhan cerita kepada detil cerita.

Karena mimpi, Ibrahim menyembelih anaknya

Orang jadi bertanya, kenapa Ibrahim percaya begitu saja pada mimpi dan mau menyembelih anaknya berdasarkan mimpi? apa agama menganjurkan kita percaya begitu saja pada mimpi yang sering tak masuk akal?

Orang jadi bertanya, kenapa Ibrahim melempari batu pada setan yang tidak mengajak berbuat jahat, melainkan mengajak Ibrahim menggunakan nalar untuk menolak perintah tidak masuk akal? apa begitu kita harus bersikap pada orang yang kritis?

Orang jadi bertanya, jika Nuh tidak dapat mengajak semua orang mengikutinya, kenapa Allah dengan mudahnya membunuh semua orang? kenapa kita tidak mempertanyakan metode dakwah Nuh yang tidak efektif? kenapa tidak Nuh saja yang secara ajaib diupgrade kepandaiannya berdakwah daripada membunuh ribuan (atau jutaan) orang karena tidak kompetennya Nuh menyampaikan ajaran?

Orang jadi bertanya, apa benar Nuh berumur 950 tahun sebagaimana dikatakan Qur’an dan Bible? bukankah itu tidak masuk akal dan tidak pernah ada bukti bahwa manusia bisa setua itu?

Orang jadi bertanya, apa benar Sulaiman bisa bicara dengan semut? bukankah bicara itu memerlukan perkembangan otak yang jauh lebih kompleks?

Sebagaimana dongeng, kisah agama hanya efektif bila faktor “menarik” dapat mengalahkan faktor “mengetahui”.

Bagaimana pesan agama bisa diterima, jika penuturnya lupa pada kaidah bercerita yang mengasyikkan dan terlalu berusaha menyampaikan pesan dengan gaya menggurui serta penuh kutipan-kutipan bahasa Arab yang tak dimengerti?

Dongeng modern, perlukah?

Masih perlukah, atau masih adakah dongeng di jaman modern ini?

Masih perlu? tentu masih.

Dongeng terutama berisi pedoman bersikap praktis yang disampaikan dengan cerita yang menarik dan tidak terlalu memusingkan perihal detil teknis atau logika dibaliknya. Kebanyakan orang butuh pedoman praktis, dan tak punya banyak waktu untuk mengurusi segala macam detil .

Contoh berikut mungkin bisa kita gunakan:

Pada masa lalu, masyarakat kita menganggap cinta dan kesetiaan hanyalah sekedar luapan emosi remaja yang tak perlu diperhatikan. Perkawinan sebagai gerbang menjadi dewasa sepenuhnya seharusnya tidak didasari oleh cinta, melainkan oleh kepentingan agama, adat, orang tua dan kepentingan yang lebih besar. Perjodohan oleh orang tua, menjadi istri keempat untuk mendapatkan surga merupakan alasan yang dapat diterima. Cinta dan pilihan pribadi menjadi penting ketika para orang tua kita membaca roman Siti Nurbaya, Dibawah Lindungan Ka’bah atau berbagai roman pada eranya. Untuk generasi berikutnya film-film percintaan remaja menggambarkan betapa pentingnya cinta.

Pada masa kini, perjodohan oleh orang tua menjadi bahan olokan, menjadi istri keempat jadi cibiran walau masih tidak dengan terus terang.

Apa yang mengubah masyarakat? bukan pelajaran sekolah, bukan makalah aktivis feminis. Masyarakat berubah karena ada dongeng-dongeng baru yang disampaikan novel, film dan bahkan lagu percintaan yang disampaikan dengan menarik.

Berbagai macam ide seperti kesetaraan manusia, demokrasi, tidak menyerah pada nasib dan berbagai ide lainnya, lebih banyak masuk kedalam kesadaran masyarakat bukan melalui buku pelajaran atau ceramah menggurui dari pemuka agama, melainkan dari dari berbagai macam dongeng modern yang disampaikan lewat novel, film dan nyanyian yang akrab dengan keseharian mereka.

Selain menyampaikan ide yang terkait langsung dengan kehidupan kita, dongeng juga diperlukan untuk menyampaikan pengetahuan yang tak terkait langsung dengan keseharian kita.

Pengetahuan tentang DNA dan kloning diterima justru tidak lewat pelajaran biologi, melainkan dari film Jurassic Park.

Perjalanan antariksa dan kehidupan diluar bumi dipahami tidak dari laporan NASA, akan tetapi dari film scifi macam Star Trek, Star Wars atau Avatar.

Film Avatar, dongeng tentang kehidupan di planet lain

Semua dongeng modern ini bisa kita terima manakala kita bisa menikmati sebagai cerita yang utuh dan mengabaikan detil-detilnya. Pesan kita tangkap manakala kita tidak ceriwis untuk menanyakan: apa benar itu terjadi? apa detil seperti itu masuk akal? bagaimana alat canggih itu bekerja?

Jadi, perlukah dongeng dan kisah agama?

Jelas perlu.

Tidak semua orang adalah filosof, ilmuwan atau agamawan yang bisa dan butuh mencerna teori-teori atau dalil-dalil. Dalam setiap jaman, mereka hanyalah kaum minoritas. Pembahasan teori atau dalil hanya efektif jika dilakukan dalam forum ilmiah di lembaga sains atau majelis ulama.

Jika ingin menyampaikan ide atau pesan yang bisa diterima masyarakat banyak, para filosof, ilmuwan atau agamawan harus menyerahkannya kepada para pendongeng modern. Para pembuat film, lagu, novel atau bahkan iklan adalah para pendongeng modern kita, merekalah penyampai ajaran baru pada masyarakat awam.

Sikap kita pada dongeng dan kisah agama

Dongeng dan kisah agama masih akan terus diproduksi, dan itu merupakan kekayaan peradaban manusia. Kita akan rugi jika menolak itu sebagai sumber pengetahuan kita.

Jadi, bagaimana kita bersikap terhadap dongeng dan kisah agama?

Santai, relaks, nikmati saja, tak usah terlalu ceriwis pada detil.

Bila perlu dengan semangkuk popcorn dan minuman ringan dihadapan kita, atau… sambil tiduran di tempat tidur.

Jadi teringat mendiang Ibu saya. Terima kasih Ibu…