Teis bilang: Tuhan itu ada. Tuhan itu begini-begitu.

Ateis bilang: Tuhan itu tidak ada. Tak ada yang bisa membuktikan Tuhan itu ada.

Agnostik bilang: tidak penting Tuhan ada atau tidak ada. Yang penting kita menjalani hidup sebaik-baiknya.

Astaga! bagaimana bisa ada berbagai macam kesimpulan tersebut?
Sebenarnya jalan ke Tuhan itu yang mana? sehingga timbul tafsiran bermacam-macam?

Wahyu Sebagai Jalan Ke Tuhan

Tuhan ada karena begitulah yang dikatakan kitab suci. Para Nabi telah menerima wahyu dari Tuhan sendiri dan dibukukan sebagai kitab suci.

Karena wahyu berasal dari Tuhan pencipta semesta, maka pastilah semua apa yang ada dalam wahyu itu benar, dan itu juga tentang apa itu Tuhan dan bagaimana Tuhan itu.

Membaca Al-Qur’an, mencari pengetahuan tentang Tuhan

Pada kitab suci kita temukan rincian yang sangat lengkap tentang Tuhan. Sifat-sifatnya, apa yang Dia suka dan apa yang Dia berikan kepada yang Dia suka, apa yang Dia benci dan apa yang Dia timpakan pada yang Dia benci, bagaimana mematuhi Dia dan segala sesuatu tentang Dia.

Dengan kitab suci, Tuhan menjadi sesuatu yang sangat terjelaskan.

Nalar Sebagai Jalan Ke Tuhan

Saat ini kita ada di era penalaran. Semua yang tak bisa dibuktikan dan tak bisa dinalar akan jatuh pada kategori dongeng, mitos atau hayalan. Dan kita semua berusaha sekeras mungkin untuk tidak dianggap sebagai penghayal.

Tentang Tuhan, kita juga bisa melihat betapa banyak argumen yang berusaha membuktikan bahwa Tuhan bisa dibuktikan dengan nalar keberadaannya.

Berikut ini konsep utama yang bisa kita temukan dalam usaha tersebut:

Sebab-Akibat

Semua yang ada di semesta ini terikat kepada hukum sebab-akibat. Segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya.

Kursi ada karena dibuat manusia, tidak mungkin dia ada begitu saja. Jika kursi yang sederhana tidak akan bisa muncul dengan sendirinya, bagaimana mungkin manusia dan semesta ini muncul tanpa ada yang menyebabkannya?

Semua rangkaian sebab-akibat ini bertingkat-tingkat, akan tetapi pasti ada awalnya yang tidak disebabkan oleh apapun. Penyebab awal (causa-prima) inilah yang disebut Tuhan.

Analogi

Analogi adalah menganggap apa yang terjadi pada satu hal, terjadi pula di hal lain.

Jika manusia mempunyai kehendak, pasti Tuhan juga berkehendak. Jika manusia bisa mengubah sesuatu, pasti Tuhan bisa mengubah segalanya. Jika bisa berkuasa, pasti Tuhan lebih berkuasa atas segalanya.

Semua asumsi-asumsi tentang sifat Tuhan bukan karena manusia tahu pasti bahwa Tuhan begini-begitu, akan tetapi karena manusia/mahluk bisa begini-begitu maka Tuhan yang pasti lebih lebat lebih mampu untuk begini-begitu.

Masalah Dengan Wahyu Dan Nalar

Apakah dengan wahyu dan penalaran, manusia sudah menemukan Tuhan dengan sebenarnya?

Wahyu yang mana?

Ternyata wahyu tidak hanya ada dalam satu kitab suci, dalam satu agama. Wahyu ada dalam berbagai macam kitab suci dan berbagai agama pula. Tuhan juga ternyata berbeda-beda menurut berbagai macam wahyu tersebut.

Kalau berbeda-beda, yang mana yang benar diantara para wahyu itu?

Apa wahyu mengabarkan kenyataan?

Selain mengabarkan tentang Tuhan, kitab suci juga mengabarkan banyak hal lain, misalnya penciptaan alam dan manusia, kisah para nabi terdahulu serta hukum untuk manusia.

Dengan kemajuan pengetahuan manusia dan bukti-bukti yang bisa diperoleh, beberapa hal yang ada dalam kitab suci mulai mendapatkan tantangan.

Ilmuwan memperkirakan big-bang merupakan awal terciptanya semesta kita ini, dan itu berbeda dengan apa yang dikisahkan dalam kitab suci.

Ilmuwan yakin bahwa proses evolusi yang membentuk manusia sekarang ini, dan itu berbeda dengan penciptaan manusia dalam kitab suci.

Tidak ada bukti yang menguatkan kejadian-kejadian luar biasa dikitab suci, seperti banjir dunia yang dialami Nabi Nuh, laut terbelah yang dilakukan Nabi Musa dan kejadian luar biasa lainnya.

Jika untuk beberapa hal, kitab suci tidak mengabarkan realitas yang sebenarnya, bagaimana kita bisa yakin bahwa kitab suci mengabarkan hal yang benar tentang Tuhan?

Bukti nalar? Hanya teori…

Konsep nalar tentang Tuhan yang dibangun dengan logika sebab-akibat dan analogi adalah konsep yang abstrak. Obyek pembicaraan tersebut yaitu Tuhan tidak bisa diamati atau diukur.

Pengetahuan modern sebenarnya juga telah terbiasa berbicara tentang sesuatu yang abstrak yang tak bisa diamati langsung.

Tuhan? memangnya ada bukti ilmiahnya?

Konsep tentang kelengkungan ruang, ruang dimensi 7, relativitas ruang dan waktu, semesta pararel, struktur partikel elementer dan banyak lainnya merupakan konsep abstrak yang awalnya dirumuskan ilmuwan berdasarkan perhitungan matematis murni tanpa ada realitas nyatanya.

Tetapi berbeda dengan konsep tentang Tuhan, konsep ilmiah di atas dapat digunakan untuk meramalkan apa yang terjadi di dunia nyata dengan akurasi yang tinggi.

Berdasarkan konsep abstrak matematika, ilmuwan bisa membuat bom nuklir, mendeteksi black hole, menemukan partikel Higgs, menciptakan navigasi GPS yang memasukkan perhitungan perlambatan waktu di satelit-satelit guna mendapatkan posisi yang sangat akurat.

Apa yang terjadi dengan konsep tentang Tuhan? semuanya tak bisa dibuktikan. Kita tak bisa melakukan sesuatu percobaan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan Tuhan.

Misalkan jika kita mengumpulkan semua kitab suci dan memasukkan ke dalam blender dan melumatnya, kita tak akan bisa mengharapkan suatu petir akan menyambar kita karena kurang ajarnya kita.

Jika kita tanya juru dakwah, ia akan berkata
“tindakan kurang ajarmu itu akan dibalas kelak di akhirat, bukan di bumi ini”.
Terus apakah ada akhirat?
“kamu akan tahu akhirat kalau kamu mati”
Nah lo… gak ada bukti bukan?

Jadi bila menyangkut Tuhan, semuanya tidak akan bisa diuji, semuanya hanya berdasarkan keyakinan.

Lalu?

Jika wahyu para teolog tentang Tuhan ternyata tidak meyakinkan, jika teori para filsuf tentang Tuhan juga tak bisa dibuktikan, maka bagaimana lagi kita akan menemukan Tuhan?

Tuhan Yang Dialami

Di ujung kebuntuan petunjuk para teolog dan filsuf, kita mendapati satu kelompok yang mencari Tuhan dengan cara yang berbeda, yaitu para mistikus agama dan para sufi.

Para sufi dan mistikus agama adalah orang-orang yang membaktikan dirinya  menjalankan ritual agama dengan dedikasi tinggi. Pada ujung tingginya intesitas ritual, mereka mengalami pengalaman mistis yang membuat mereka menangkap realitas yang diluar realitas nyata sehari-hari. Seolah tabir alam ghaib diangkat dari pandangan mereka.

Ketika bersentuhan dengan realitas ini, mereka menyadari bahwa apa yang mereka alami dalam realitas ini sama sekali tidak ada padanannya dalam dunia nyata. Bahasa dan nalar yang biasa digunakan dalam alam nyata tidak lagi memadai untuk menggambarkannya.

Jika nalar dan bahasa adalah alat untuk menggambarkan dunia nyata, maka nalar dan bahasa akan menyesatkan bila digunakan untuk menggambarkan realitas yang bukan nyata.

Jika Tuhan adalah realitas yang berbeda dengan semua realitas nyata, maka setiap penggambaran Tuhan dengan nalar dan bahasa pasti akan gagal.

Kita bisa gunakan nalar dan bahasa untuk menjelaskan apa yang bukan Tuhan, dan bila kita mengetahui sesuatu melalui nalar dan bahasa, maka sesuatu itu pasti bukan Tuhan.

Para Sufi menari. Tuhan itu pengalaman ..

Bagaimana dengan gambaran Tuhan?

Kalau begitu bagaimana dengan segala bentuk gambaran tentang Tuhan dan segala sifat-sifatnya yang dijelaskan oleh wahyu para teolog dan nalar para filsuf?

Bagi para sufi, semua gambaran agama tentang Tuhan hanya berguna untuk mengarahkan manusia ke Tuhan, tetapi itu sama sekali bukan tentang Tuhan. Setiap gambaran tentang Tuhan pasti menggambarkan sesuatu yang bukan Tuhan.

Bagaimana menemukan Tuhan?

Jika kita memaksa memakai nalar(sains) sebagai jalan ke Tuhan, maka ujungnya adalah: Tuhan tak bisa dibuktikan.

Jika kita memaksa memakai bahasa sebagai jalan ke Tuhan, maka ujungnya adalah: Tuhan sangat absurd dan tak bisa dimengerti.

Bila Tuhan diseberang wilayah nalar dan bahasa, lalu bagaimana Tuhan bisa ditemukan?

Ikuti jalan para sufi.

Khusuklah dengan ritual (ibadahmu), tinggalkan semua konsepsimu tentang manfaat ibadahmu, bagaimana Tuhan itu. Dengan tenggelam dalam ritual dan meninggalkan semua konsep nalar dan bahasa, maka kita akan terbuka menerima pengalaman yang bukan nalar dan bahasa. Tuhan ada di wilayah itu.


Bacaan:

  • Muhammad Al-Fayyadi, Teologi Negatif Ibn’Arabi – Kritik Metafisika Ketuhanan, LKIS, 2012