Tuhan, siapakah Engkau?

Siapakah Engkau, yang karena namaMu ribuan orang terusir dari kampungnya?
Siapakah Engkau, yang karena namaMu masjid-masjid, gereja-gereja dan kuil-kuil indah didirikan?
Siapakah Engkau, yang karena namaMu negara-negara pernah berperang habis-habisan?
Siapakah Engkau, yang karena namaMu umatmu mau berkorban apa saja?

Aku Adalah Aku

Salah satu sifat wajib Tuhan dalam Islam adalah Mukhalafatuhu lil hawadis, – berbeda dengan mahluk.

Dalam Qur’an Allah menegaskan: Tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas:4)

Dalam Bibel, ketika Musa bertanya dalam perjumpaanya denganNya, Ia menjawab: Ehyer Asyer Ehyeh – Aku adalah Aku.

Apa artinya?

Jika segala sesuatu bisa dipikirkan manusia, bagaimana mungkin kita bisa memikirkanNya?. Bukankah Tuhan berbeda dengan dengan segala sesuatu yang bisa dipikirkan?

Jika segala sesuatu bisa dijelaskan oleh ilmu manusia, bagaimana mungkin kita bisa menjelaskanNya?, bukanlah Tuhan berbeda dengan segala sesuatu yang bisa dijelaskan?

Jika segala sesuatu bisa masuk kategori ada atau tiada, bagaimana mungkin kita mengatakan Dia ada atau tiada?, bukanlah Tuhan berbeda dengan segala sesuatu?

Jika Dia berbeda dengan segala sesuatu, jika Dia adalah Dia, maka bagaimana mungkin kita berhubungan dengan Dia yang entah ada atau tiada? dengan Dia yang tak tergambarkan, dan tak terpikirkan?

Manusia Terlahir Menyembah Tuhan

Manusia terlahir dengan kekaguman alami terhadap keteraturan, ke aneka ragaman dan keindahan alam. Kekaguman ini mendorong kesimpulan berikutnya: pasti ada aktor dibalik semua kehebatan ini. Kesimpulan yang sungguh wajar.

Maka tak heran, dalam semua peradaban manusia yang berkembang di muka bumi ini, tak ada satupun yang tidak mengenal sosok Dewa atau Tuhan dalam kehidupan mereka.

Apakah Tuhan dalam setiap peradaban itu sama? tidak. Para Tuhan itu berbeda-beda definisinya, perangainya atau kekuasaannya. Para Tuhan sepertinya disesuaikan dengan tingkat peradaban dan kebutuhan penyembahnya.

Menyembah Tuhan sepertinya menjadi fitrah manusia, tercetak dalam DNA kita, siapapun Tuhan itu.

Menyembah Tuhan sepertinya melengkapi kesempurnaan kita sebagai manusia.

Aku Sebagaimana Sangkaan Hambaku KepadaKU

Itu adalah bunyi penggalan satu Hadits Qudsi *) yang bagi saya sungguh luar biasa.

Jika manusia terlahir untuk menyembah Tuhan, sedangkan Tuhan tidak seperti apapun, maka bagaimanakah kita dapat berinteraksi kepadanya? bagaimanakah kita bisa menyembahnya?

Hadis di atas bisa dibaca:
Allah tidak akan bisa kita temukan. Maka ciptakan saja Allah menurut persangkaanmu.

Perjalanan sejarah manusia menggambarkan dengan tepat bagaimana hadits qudsi tersebut berjalan.

Kalau kau pemburu maka jadikan Tuhanmu sebagai Pemburu Agung.
Kalau kau petani maka jadikan Tuhanmu sebagai Dewi Kesuburan.
Kalau kau prajurit penakluk, maka jadikan Tuhanmu sebagai Dewa Perang.
Kalau kau hidup dalam kendali raja maka jadikan Tuhanmu sebagai Raja Dunia dan Akhirat.

Setiap masa, setiap jaman, manusia menciptakan Tuhan yang sesuai dengan mereka dan meninggalkan Tuhan yang tidak lagi sesuai dengan mereka.

Agama Yahudi, Kristen dan Islam berpusat pada Allah, Tuhan Raja yang menciptakan semuanya, menguasai semuanya, mengatur semuanya, memiliki semua sifat yang baik.

Apakah Allah digambarkan sama dalam ketiga agama samawi tersebut? tidak.

Allah berubah.
Dari Allah yang mencari Adam dengan memanggil-manggil namanya di Eden, yang dijamu hidangan oleh Ibrahim, yang bergelut dengan Yakub, yang menampakkan diri sebagai semak terbakar pada Musa dan akhirnya menjadi sosok tak tergambarkan pada masa Muhammad.

Apakah Allah adalah Tuhan yang sesungguhnya?

Tentu tidak, karena Tuhan tidak tergambarkan, Tuhan berbeda dengan apapun, termasuk Allah yang digambarkan agama.

Allah hanyalah salah satu sangkaan manusia tentang Tuhan.

Tuhan Pengubah Nasib

Salah satu sangkaan umum terhadap Tuhan yang terpenting adalah: Tuhan Maha Kuasa. Ditangannya nasib manusia ditentukan, di tanganNya yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Tetapi bagaimana Tuhan mencampuri nasib manusia, mengubah dunia?

Salah satu landasan etos kerja terpenting yang harus dihayati setiap Muslim adalah ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka (Ar-Ra’d:11)

Apa artinya?

Perubahan ke arah keinginan kita tak akan terjadi, kalau kita tak mengusahakannya.

Jadi siapa yang harus aktif mengubah nasib? kita sendiri.

Untuk apa Tuhan? agar kita bersungguh sungguh mengubahnya, agar kita mengeluarkan semua potensi diri kita.

Kalau anda pernah membaca buku “The Secret” karya Rhonda Byrne atau “The Law Of Attraction” karya Michael J. Lossier, anda akan terpaku pada konsep dasar yang ada pada buku-buku tersebut, yaitu: kita adalah sumber perubahan itu sendiri. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan dramatisasi buku-buku itu, tetapi konsepnya sungguh menarik.

Yang membuat gagal semua usaha kita, semua harapan kita, adalah kita yang tak fokus pada harapan kita sendiri. Yang membuat kita berhasil mewujudkan semua usaha kita, harapan kita, adalah kita yang bisa memusatkan semua perhatian dan energi diri kita kepadanya.

Setiap orang adalah penguasa dalam semestanya sendiri. Kegagalan adalah karena kita yang tak bisa mengarahkan semesta ke tujuan kita. Dan Tuhan adalah pengarah imajiner efektif segala daya dan energi kita.

Aku Adalah Kamu

Jadi siapa sebenarnya Tuhan di dunia ini?

Kisah Dewa Ruci

Dalam jagad spiritual budaya Jawa kita mengenal sebuah kisah wayang yang tidak akan anda temui di kisah versi India, yaitu kisah Dewa Ruci. Kisah ini bagaikan mewakili puncak spiritualisme yang hidup di budaya Jawa.

Bima, tokoh wayang yang mewakili filosofi Jawa dalam pencarian kebenaran

Alkisah Bima sang tokoh yang selalu blak-blakan, atas petunjuk Durna gurunya, diperintahkan mencari Air Prawitasari, air intisari kehidupan, untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Bermacam raksasa jahat harus Bima hadapi, hutan lebat, gunung tinggi, samudra dalam Bima jelajahi untuk mencarinya, tapi tak juga intisari kehidupan itu ia temui.

Di akhir perjalanannya, di puncak semedinya, Bima bertemu Dewa Ruci,
“Masuklah ke telinga kiriku!”, Dewa Ruci itu berkata
”Bagaimana mungkin aku masuk ke lubang sekecil itu?”
”Masuklah!, bahkan semestapun bisa masuk dalam diriku” dan masuklah Bima.

Di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima bersatu dengan Dewa, Bima mengalami manunggaling kawula dan Gusti.

Terkuak segala tabir kehidupan ini bagi Bima, kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan. Ternyata tak ada Air Prawitasari, yang ada hanya perasaan diri yang sempurna. Bima tak ingin kembali ke dunia, tapi sang Dewa memerintahkannya kembali, “Belum saatnya ia bersatu dengannya”.

Dan seperti apakah Dewa Ruci? Dewa itu versi kecil dirinya sendiri.
Dewa itu versi lain dirinya sendiri.

Kisah Al-Hallaj

Tak ada sufi yang paling dicintai dalam dunia sufi dan dibenci kaum fuqoha selain Al-Hallaj.

Dia hidup di era pemerintahan tiran Khalifah Dinasti Abbasi 909M. Di kala formalisme beragama menjadi menjadi-jadi dalam kontrol negara, Al-Hallaj mementingkan “makna batin” Islam sebagai pembawa rahmat bagi semua.

Pertentangan prinsip ini dan berbagai alasan lainnya, membuat penguasa saat itu menghukum mati al-Hallaj.

Penekanannya pada esensi Islam, membuatnya dianggap menabrak semua pagar fiqh Islam. Dalam salah satu syairnya Al-Hallaj menuliskan:

Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku,
kusapa Dia “Siapa Kamu?”
Dia jawab “Kamu”..

Jadi, Siapa Tuhan?

Tuhan berkata: “Aku adalah Aku”
Tuhan sejati berbeda dengan apapun, tak tergambarkan,
tak ada di dunia ini…

Tapi, dalam sejarah dunia, dalam kehidupan kita, Tuhan nyata hadir.
Siapa Tuhan yang ini?
Kamu …


Referensi:

*) Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah swt. berfirman : “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku ingat kepadanya dalam diri-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok orang banyak maka Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari padanya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).