
Bapak yang duduk di samping saya mengaji. Ia membaca sebuah Qur’an yang kecil. Guncangan kereta Commuter Line yang sedang melaju tidak mengganggunya.
Bulan ini Ramadhan. Banyak pemandangan serupa anda temui di tempat-tempat shalat dekat perkantoran. Banyak pegawai yang mengganti waktu makan siangnya dengan membaca Qur’an.
Qur’an yang dibaca bapak di sebelah saya itu sudah agak lusuh, pasti sudah sering dibaca ulang. Kalau itu sebuah novel atau buku pelajaran, pasti dia sudah sangat mengerti isinya.
Apakah bapak di sebelah saya sudah sangat mengerti isinya? Saya tidak yakin.
Qur’an itu tidak dilengkapi dengan terjemahan Indonesia dan saya tidak yakin bapak itu paham bahasa Arab.
Lha kalau dibaca berulang-ulang tanpa mengerti isinya, untuk apa?
Qur’an: Dibunyikan Bukan Dimengerti
Qur’an memang sebuah buku, dalam salah satu ayatnya menyatakan: “Petunjuk bagi orang yang bertakwa”, yang berarti Qur’an adalah sebuah kumpulan informasi.
Tetapi dalam konteks keseharian kaum muslim, bukan itu fungsi utama Qur’an.
Kitab ini dibaca, dihafalkan, didengarkan bukan untuk dimengerti atau sebagai sumber informasi.
Hal ini juga tercermin dari ilmu-ilmu yang biasanya ditekankan saat kita belajar Qur’an. Ilmu Tajwid, Qiro’ah, Adab yang kita dapatkan adalah berkaitan dengan cara membunyikan Qur’an dengan baik dan benar dan sedekat mungkin sesuai dengan cara membaca penutur asli Qur’an yaitu orang Arab. Penekanannya pada bagaimana membunyikan Qur’an.
Ini sangat berbeda dengan bila kita mempelajari bahasa Inggris misalnya, dimana vocabulary, grammar, tenses menjadi titik berat pengajaran. Masalah tentang bagaimana menghilangkan cengkok Jawa kita dalam berbahasa Inggris, bukan hal yang terlalu penting. Belajar bahasa Inggris adalah belajar mengerti dan bisa menggunakannya,
Lha apa gunanya bunyi tapi gak ngerti? Apa tujuan hidup kita adalah menjadi loudspeaker? Jangan sinis gitu deh…
Agama Itu Kumpulan Ritual
Membaca Qur’an adalah salah satu ritual agama, sebagaimana halnya dengan Sholat, Puasa, Haji dan hal lainnya.
Ritual agama itu memang mempunyai kegunaan praktis, seperti fungsi menyampaikan informasi pada Qur’an, akan tetapi kegunaan praktis itu bukanlah yang terpenting dari membaca Qur’an.
Makna ritual agama bukanlah pada mengambil kegunaan praktis dari tindakan ritual itu sendiri, akan tetapi lebih kepada aktivitas emosional untuk menundukkan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Membaca Qur’an berguna karena membuat kita menjadi lebih dekat kepada Allah dan bukan karena kita memahami apa makna ayat-ayat yang kita baca.
Melaksanakan sholat berguna karena membuat kita menjadi lebih dekat kepada Allah dan bukan karena sholat itu adalah semacam senam yang menyehatkan.
Melaksanakan ibadah Haji berguna karena membuat kita lebih dekat kepada Allah dan bukan karena kita lebih memahami sejarah Nabi Ibrahim atau makna lainnya.
Agama secara umum adalah kumpulan disiplin ritual yang akan membuat diri kita dekat kepada Tuhan, memberikan ketenangan hidup dan membuat kita merasa bahwa hidup kita bermakna.
Memandang agama sebagai kumpulan ritual, membuat kita bisa memahami bagaimana Islam bisa dijalankan oleh semua lapisan masyarakat.
Untuk bisa mengambil manfaat membaca Qur’an, tidak diperlukan kemampuan bahasa Arab, kemampuan memahami konteks sosial saat suatu ayat diturunkan, dan lain-lain.
Untuk bisa mengambil manfaat sholat, tidak diperlukan pemahaman anatomi manusia kenapa gerakan itu begitu, apa manfaat kesehatannya dan lain-lain.
Untuk bisa mengambil manfaat Haji, hanya diperlukan kemampuan finasial dan jasmani, pemahaman tentang asal-usul ibadah Haji, fungsinya bagi membentuk persatuan umat dan lain-lain tidaklah begitu penting.
Syarat utama untuk memperoleh manfaat ritual adalah kita mau melakukannya dengan sungguh-sungguh dan teratur. Jika syarat itu dipenuhi, maka perasaan dekat kepada Tuhan akan tumbuh, yang pada gilirannya akan membangkitkan manfaat-manfaat lain bagi jiwa kita.
Kedekatan Dengan Tuhan, Apa Pentingnya?
Jika hidup adalah ukuran realitas saja, maka hidup kita adalah kekecewaan, sebuah tragedi.
Betapa tidak, ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih beruntung dari kita, banyak orang yang menjalani hidupnya dengan pengalaman yang jauh lebih menarik dari hidup kita, banyak orang yang lebih dihormati dari kita.
Hidup sepertinya berarti hanya untuk orang yang berkecukupan, terkenal dan dihormati. Tak ada gunanya hidup ini bila kita menjalani dalam kekurangan, kesusahan.
Tetapi ada hal lain setelah realitas, dan itu hanya bisa kita dapatkan bial kita mau berpartisipasi dalam mendekati Tuhan.
Seorang pengemis cacat masih bisa berterima kasih kepada Allah ketika ia menerima derma dari orang lain. Ia menganggap kesialannya adalah cobaan dari Allah yang suatu saat digantikan dengan yang lebih baik.
Jika ia tidak dekat dengan Allah, ia mungkin mengumpat: “Kenapa aku berterima kasih kepada Allah atas recehan ini, sementara Allah mengambil kesehatanku dan memberikan hidup yang serba kekurangan ini?”
Dalam ukuran realitas, hidup seorang pengemis cacat adalah tak berguna bagi siapapun. Bagi sang pengemis yang dekat dengan Allah, hidupnya tidak sia-sia, ia bersyukur dengan cobaan yang telah diberikan Allah kepadanya dan yakin kesabarannya akan diganti dengan kebahagiaan hidup di akhirat kelak.
Bagi seorang beragama yang dekat dengan Tuhannya, tak ada yang sia-sia dengan hidup ini. Ia akan bisa menemukan sekecil apapun alasan untuk berbahagia, untuk berterima kasih kepada Allah.
Bukankah bisa menemukan makna hidup dan menemukan kebahagiaan atas sekecil apapun alasan adalah tujuan yang patut diperjuangkan?
Harus Bagaimana?
Jika anda ingin mendapatkan pengalaman dekat dengan Allah, endapkan sejenak rasionalitas anda saat menjalankan ritual agama. Laksanakan dengan sepenuh hati.
Saat anda sholat, jangan berpikir tentang manfaat sholat, jangan berusaha menerjemahkan bacaan sholat itu dalam hati. Lakukan saja dan nikmati pengalamannya.
Saat anda puasa, jangan pikirkan tentang manfaat puasa atau persiapan diri agar tak sakit. Jalankan saja dan nikmati pengalamannya.
Ritual harus dilakukan sepenuh hati dan buka diri anda untuk untuk menikmati pengalamannya.
Saya yakin anda akan mengalami perasaan dekat dengan Allah, khusyu’ dan tenang.
Suatu pengalaman yang tak akan anda temui saat berdiskusi tentang makna Qur’an, atau manfaat sholat dan puasa bagi kesehatan.
Makna Lain Agama
Bagaimana dengan apa yang sering diungkapkan pengkhotbah: “Islam adalah petunjuk kehidupan yang lengkap?”
Lupakan saja dahulu…
Saya akan tuliskan dalam artikel yang berbeda. Tulisan ini sudah cukup panjang.
Wow … trims artikelnya, mudah-mudahan Allah melimpahkan pahalanya atas artikel-artikel yang mencerahkan.
Mudah-mudahan juga untuk bapak yang di kereta itu telah dilimpahkan pahalanya, walau belum mengerti sepenuhnya apa yang dibacanya. Amiiin.
Wow … trims artikelnya, mudah-mudahan Allah melimpahkan pahalanya atas artikel-artikel yang mencerahkan.
Mudah-mudahan juga untuk bapak yang di kereta itu telah dilimpahkan pahalanya, walau belum mengerti sepenuhnya apa yang dibacanya. Amiiin.
@Wahyu: Terima kasih atas pujiannya. Semoga Anda diberi keberkahan oleh Allah.
Sebaiknya beragama itu guna menuju kehidupan lain (surga /neraka)
dengan demikian kita mempraktekan dalam menjalani kehidupan itu,kalau ingin surga berkelakuan baiklah, dan sebaliknya.
Berbohong, sadis, dan sebagainya perlulah ‘dikit-dikit’ demi mempertahankan kehidupan bermasyarakat.
Yang penting untuk diri adalah hiduplah berimbang antara agama yang diyakini selama kehidupannya dan disisi lain dengan norma bermasyarakat yang tumbuh dalam negara Indonesia tercinta.
Jangan dicampuradukan dalam menjalan kehidupan bermasyarakati, marilah dicampuradukan dalam benak kita dan dikeluarkan dan dilaksanakan dalam membimbing kita bermasyarakat dengan baik. wkwkwkwk hehheeeeee
beberapa bagian tulizan dari blog ini mengedepankan nalar dan logika hingga mempertanyakan pencipta dan penciptaanyya.
bingung 1; di tulizan maz di ataz ada kalimat “jika ingin mendapatkan pengalaman dengan pencipta, ENDAPKAN ZEJENAK RAZIONALITAZ. mungkinkah kita melakzanakan ritual keagamaan untuk mendapatkan pengalaman beragama zedangkan diri kita mazih ada keraguan (pertanyaan2 tentang agama itu zendiri dan makzud kita melakukan ibadah ini zelalu terbayang)
bingung 2; terkadang memang ada beberapa orang mendapatkan pengalaman miztik hingga dia makin percaya adanya tuhan. yang jadi perzoalan tidak zemua dari kita di beri rezki untuk mengecap pengalaman zupranatural itu.
bungung 3; zaya pernah di kazih penjelezan,
yakin–> tidak butuh bukti, iya akan muncul zendiri
percaya–> lewat panca indra
yang jadi zoal kan agama bagi orang yang berpikir, jadi keyakinan kita nda perlu dazar logika. bagaimana nih???
otak zaya nda nyampe maz kalo bicara zoal tuhan (maz juga di artikel lain pernah juga nyinggung yang tidak biza menggolongkan tuhan itu ada di “ada” atau di “tiada”). zaya hanya mengharap petunjuk dari-Nya. walo petunjuk itu hadir lewat blog ini. amin
tq
@Abeutthank: daya tarik logika dan analisa kadang seperti kutukan bagi beberapa orang (juga bagi saya). Mereka tak bisa menahan diri dengan keasyikannya untuk manganalisa, bahkan pada wilayah yang bagi banyak orang sakral dan pantang diuraikan oleh analisa yaitu agama dan Tuhan.
Saya tidak merasa ahli untuk memberi petunjuk bagi mereka yang terkutuk ini, akan tetapi mungkin yang saya alami bisa membantu.
Saya tidak pernah menahan diri untuk menanyakan segala sesuatu, terlebih bila sesuatu itu penting bagi saya. Tuhan dan Agama penting bagi saya, sehingga saya bertanya habis-habisan mencari dari berbagai sumber.
Apa akhir pencarian itu?
* Seperti pencarian umat yang bertakqwa ketika sampai ke Ka’bah, dan bertanya ada apa didalamnya? mengapa kita harus menghadapkan diri padanya?
Ka’bah hanya bangunan kubus kosong, tidak ada apa-apa didalamnya. Allah tidak ada di sana, padahal ke sanalah kita diharuskan menghadap saat menyeru pada Allah.
* Seperti perkamen naga yang diharapkan Po sebagai kunci puncak ilmunya sebagai Dragon Warior dalam film animasi Kungfu Panda. Ketika saatnya tiba Po mendapati ternyata perkamen naga itu tidak berisi apa-apa, ia hanyalah kertas kosong. Tidak ada jurus rahasia hebat disana.
Akhir pencarian saya sampai pada kesimpulan bahwa Agama dan Tuhan yang saya kenal selama ini ternyata hanyalah produk budaya manusia. Ia bukanlah sesuatu yang berasal dari alam supranatural yang tak terbayangkan.
Ini sangat mengguncangkan saya, dan sempat membuat saya hendak membuang semua ke-sia-sia-an tersebut.
Akan tetapi disaat yang sama saya juga melihat betapa keindahan seni, keakraban hubungan sosial, kenyamanan hubungan keluarga, cinta, ternyata juga mempunyai karakteristik yang sama dengan agama dan Tuhan. Realitas itu adalah bagian dari pengalaman kita, dan setelah menengok kebelakang saya menyadari betapa pentingnya hal tersebut membentuk diri saya yang utuh.
Realitas itu membuat saya yakin tentang tidak sederhananya semesta ini. Saya yakin Tuhan ada, walau tidak lagi dalam bentuk Tuhan personal yang digambarkan agama.
Realitas keindahan seni, keakraban hubungan sosial, kenyamanan hubungan keluarga, cinta, dan religiusitas agama dengan Tuhan sebagai pusatnya adalah Ka’bah yang kosong, perkamen naga yang kosong. Ia hanyalah alat kita untuk menggapai kesempurnaan diri kita sebagai manusia. Bekal kesempurnaan itu ada pada diri kita, bukan sesuatu dari luar diri kita.
Saya kembali menjalankan ibadah ritual agama bukan karena akan ada surga atau neraka kelak, akan tetapi karena sadar itu adalah metode yang terbukti bisa membantu saya konsisten bertahan berpegang pada nurani. Agama membantu saya mencapai kesempurnaan diri sambil bersyukur akan hidup ini apapun yg terjadi, dan saya yakin itu bersesuaian dengan Allah yang tak terbayangkan dan dengan cara yang tak terbayangkan.
Banyak yang berubah dalam cara saya menjalani agama, akan tetapi itu urusan saya pribadi. Untuk berhubungan dengan orang lain saya berpegang pada hukum positif dan norma rasional yang bisa diterima.
terimakazih pencerahannya maz. zungguh mazukan berharga buat zaya.
@Abeutthank: terima kasih kembali.
Mas Judhi, terima kasih saya mendapatkan banyak pencerahan dari tulisan-tulisan anda. Saya coba sharing dengan bahasa yang sangat sederhana mengenai pemahaman saya tentang kehidupan beragama dan berketuhanan (semaksimal mungkin saya usahakan bebas dari doktrin atau dogma yang menurut sebagian ahli agama malah dicap kurang ajar hehehee..)
Bila berbicara mengenai keimanan terhadap Tuhan kita kenal ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Ekstrem kiri gagal menemukan Tuhan hingga mereka berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada. Semakin hari keyakinan mereka semakin didukung oleh para ilmuwan yang dengan teori-teorinya hingga berani dengan lantang menyatakan kejadian alam raya ini tidak memerlukan andil Tuhan.
Sedangkan ekstrem kanan sangat meyakini dan mengimani bukan hanya kejadian alam raya ini tapi semua kejadian (bahkan setiap helai daun yang jatuh dari pohon pun) adalah atas andil dan izin sang pencipta yakni Tuhan yang maha perkasa. Karena menyakini akan adanya Tuhan mereka masing-masing berusaha mengimajinasikan keberadaan Tuhan baik yang katanya melalui wahyu atau hasil perenungan manusia. Imajinasi itu selalu bebas tidak terikat dengan batasan-batasan yang ada, sedangkan Tuhan adalah puncak imajinasi tersebut. Namun sayangnya masing-masing dari mereka saling memaksakan imajinasi tersebut terhadap pihak lainnya hingga kehidupan dunia ini menjadi jauh dari kedamaian.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak sama dengan apa pun (tidak ada padanannya) namun anehnya mereka selalu berusaha menjadikan Tuhan itu sebagai “sesuatu” dengan membuat aturan-aturan yang berhubungan dengan Tuhan (aturan-aturan seperti “wajib”; “tidak wajib”; “setengah wajib” dan lain-lain). Bila kita melaksanakan aturan yang wajib tersebut maka Tuhan akan senang; namun bila sebaliknya maka Tuhan menjadi murka. Dilain pihak manusia diiming-imingi reward “pahala” dan ancaman “dosa”, dengan hal ini secara tidak sadar Tuhan di-jadikan “sesuatu” (karena Tuhan masih butuh senang; marah dan lain-lain) padahal Tuhan itu TIDAK ADA PADANANNYA.
Sama seperti Mas Judhi diakhir pencarian saya pun pernah mengalami keguncangan karena alasan yang sama ternyata Agama dan Tuhan adalah produk budaya manusia, bukan berasal dari alam supranatural yang tak terbayangkan.
Dari sepenggal periode pencarian, saya menemukan sesuatu hal yang menarik yang berasal dari “kearifan lokal” warisan dari leluhur kita sendiri. Di Nusantara ini dahulu dikenal yang namanya “Agama Budhi” (tidak sama dengan Budha atau Hindu karena sudah ada lebih dulu ribuan tahun sebelumnya) walau sebenarnya tidak pernah meng-klaim sebagai sebuah ajaran agama, karena isinya “hanyalah” nasihat-nasihat sebagai petunjuk hidup yang tidak pernah ada iming-iming tentang “reward” dan “ancaman”. Jadi sebenarnya memang bukan sebuah agama karena itu leluhur kita dituduh sebagai “animisme”; “dinamisme” atau apalah sebutan lainnya oleh orang-orang yang merasa sudah paham betul tentang Tuhan melalui agama mereka. Para leluhur kita dituduh sebagai orang-orang yang tidak kenal agama dan tidak punya Tuhan. Padahal leluhur kita bukan tidak punya Tuhan tapi ternyata malah leluhur kita yang jauh lebih paham bahwa Tuhan itu TIDAK ADA PADANANNYA, Tuhan itu tidak bisa digambarkan dan tidak bisa diceritakan, selebih dari itu ternyata kita semua SALAH PAHAM terhadap leluhur kita sendiri.
Maksudnya salah paham yang bagaimana? Maaf saya hanya bisa katakan kenalilah budaya kita sendiri, bukan berarti kita harus tinggalkan semua agama-agama import tersebut dan kembali ke agama leluhur, bukan itu. Karena toh Agama dan Tuhan itu ternyata adalah produk budaya manusia. Kita belum banyak mengenal budaya kita sendiri bahkan kita menganggap budaya kita sendiri sebagai budaya animisme,sungguh tragis!
@Iyon: terima kasih. Informasi anda menambah wawasan tentang Tuhan dan budaya local kita sendiri.
Mas Judhi..kita mengalami kemiripan pengalaman dalam beragama. Sejak tahun 70-an saya senang mendalami agama. Ketika paparan ulama,ceramah & perbandingan agama tak lagi menginspirasi.. saya beralih pada filsafat, sains & teknologi. Meskipun tetap beriman tapi mengalami desakralisasi hebat. Pencarian selanjutnya menjadi ngeri-ngeri sedap…tapi aku tak takut tersesat karena sudut manapun yang kujelajahi adalah milik Allah. Laa maujuda illa Allah …
Tulisan-tulisanmu banyak yang bagus…saya iri .. andaikan saya mengalami ini lebih awal. Salam
@Sulaeman Suparman: waduh kalau tahun 70-an, saya baru belajar ngomong.
Terima kasih, saya yang yunior ini bisa mendapat masukan dari Bapak yang sudah berpengalaman.
Jurnal ilmiah lebih menarik dibaca dan diikuti pak (versi saya sih :)). Bagaimana kehidupa dimulai dari lautan sup molekul miliar tahun yang lalu, bagaimana manusia, pohon, bahkan cacing disusun oleh bahan baku yang sama. Waktu lampau fisika dan kimia dalam mekanismenya memungkinkan membentuk kehidupan, sekarang sains mencoba memanipulasi dengan mengikuti kehendak dan spekulasi kita.
Untuk saya ini merupakan ketakjuban pengalaman spiritual juga, tapi gak pake mistis.. hehehe..
Salam..
@Andiko Setyo: tidak ada resep yang manjur untuk setiap orang.
Jurnal ilmiah lebih menarik? bagus! karena banyak orang yang takut menerima informasi baru apapun karena takut berubah. Kita lahir untuk berkembang dan itu berarti mau menerima perubahan.
Terima kasih mampir.
Ini yg sejak kecil,, Orang tua,, kakek, dan guru ngaji telah ajarkan pada saya…
tapi,, ketika beranjak dewasa,, mulai kuliah,, mulai mengenal cara menggunakan rasio dan logika,, mulai sok keren dan sok pinter,, membuat saya mulai lupa akan semua hal diatas…
terima kasih,, artikel ini mengingatkan saya kembali…
@Mokhamad Khozin: rasio dan logika memang hanya salah satu alat kita menghadapi dunia disamping emosi dan penghayatan. Membatasi dunia kita hanya sebatas rasio akan membuat hidup kita kering…
like this,
Kalau lihat implementasi agama di indonesia, agama membuat lebih runyam bukan membuat lebih nyaman. Toleransi sangat minim apa lagi bila sudah berseberangan. Saling harga menghargai hanya isapan jempol. Penganutnya saling bersaing berebut tulang yang tidak diketahui isi sumsumnya. Agama membuat ego diutamakan karena merasa paling benar dan ” akulah yang berhak mewakili tuhan”. Lembaga agama atau mentri hanya memayungi dan ngurusi mayoritas dan palah menjadi lembaga korup. Memang kalau buat sekala negara sebenarnya agama tidak ada maknanya. Akan tetapi bagi masyarakat yang masih malas belajar dan hanya mendengar, agama masih sangat bermakna, serta bagi beberapa masyarakat yang masih labil, agama sangat bermakna karena agama menjadikan tambatan segala permasalahan yg terjadi dan menjadikan mereka lebih kuat menjalani kehidupan ini. Jujur aja kalau buat saya saat ini agama tidak ada maknanya. Karena tidak memberikan silusi2 yang saya hadapi. Dia hanya sifatnya memotifasi diri. Tanpa agamapun saya masih bisa memotifasi diri saya lebih baik. dan bisa bertoleransi sangat baik
@Bima: agama sifatnya memotivasi diri, saya setuju pendapat anda.
Kalau anda cari kebenaran, sains menyediakan dengan jauh lebih akurat dibanding agama.
Kalau anda cari solusi, solusi agama adalah solusi kuno – yang cocok untuk era lebih dari seribu tahun yang lalu, bukan untuk era sekarang.
Agama pada masa kini berguna karena menyediakan kerangka imajiner (Tuhan, surga, neraka) yang bila digunakan dengan bijak bisa menjadi sumber energi mengalirkan kebenaran bagi sekelilingnya. Bila digunakan dengan bodoh, malah akan menjadi racun sosial seperti pemecah masyarakat dalam sekat-2 agama, sikap sok benar sendiri dan bahkan mengancam siapa saja yang beda.
Kalau tanpa agama, seseorang sudah bisa jadi baik, maka bagi saya agama itu opsional untuk dia 🙂
Dari dulu saya selalu berpikir dan bertanya2 kenapa agama hanya menjajikan surga dan neraka. Saya beragama bukan karena takut dengan surga atau neraka. Setip mendengar ulama maupun ustad selalu ditakut takuti dengan neraka. Walah gimana kita bisa hidup dengan baik kalau landasannya agama didunia ini. Didunia itu ya mikir dunia. Saya gak pernah mikir surga neraka. Karna saya berpandangan, kalau hidup didunia baik insya allah di akhirat palah lebih baik. Dari pada cari akhirat yg belum jelas palah jadi manusia yang sok suci cari akhirat (dunia aja gak dapat, apalagi akhirat) akhirnya menjadi preman agama yg di bayar seperti FPI, MUI dll dari fakta di lapangan orang yang hanya muter2 dengan agama maaf tingkat ekonominya menengah kebawah. Biarpun dia bergelar prof, DR tetap kelihatan bodohnya (buktinya dia tidak pernah menulis sesuatu yang bermanfaat bagi umat yg seagama) hanya sebagai corong hadist dan surat2 kitab suci tanpa menelaah dengan kondisi perkembangan. Kalaupun bisa di atas dia ngibuli umatnya dengan menjual dogma2 agama (lihat itu di tv). Maaf ini cerita masa lalu saya. Saya dulu kagum dengan zainudin mz. Akan tetapi setelah melihat dilapangan masya allah bertolak belakang dengan apa yang diomongkan. Masak hanya membuka buka puasa di salah satu BUMN terkenal waktu itu (1980) menerima amplop sangat besarbuanget. Semenjak itu saya mencari apa sesungguhnya agama itu. Lalu saya simpulkan seperti tulisan2 mas judi yg lain agama bajunya hati. Agama adalah pengalaman pribadi. Agama tidak diperlukan penjelasan tapi dirasakan. Agama tidak perlu kolektif seperti fpi, mui dan kegiatan2 yg sifatnya seperti seremonial saling tanding seragam seperti ibu2:yang pengajian di kabupaten saya. Yang palah kelihatan ngejar dunja dengan kedok agama. Jadi kesimpulan akhir saya, agama masih sangat diperlukan untuk menjawab segala sesuatu yang belum terurai oleh pikiran manusia. Dan saya beragama buat pribadi saya tidak perlu saya tunjukan kepada siapapun seperti saran ustad2. Akhir kata. Mas judhi njengan sebagai orang muslim tak akui hebat bisa memberikan pencerahan yang berani. Dan njenengan ninggalkan sesuatu yang berharga di blog ini dan pasti akan di kenang, ini yang aku sebut cendekiawan muslim yang sesungguhnya. Tidak hanya bisanya mengujat kafir, ateis dll seperti komentar2 yang saya baca di tulisan2 anda yang menjadi pemuja budaya agama arab.
Aku baca tulisan om Judhianto baru sedikit shi. Tapi aku mau menyampaikan komentar yang sangat banyak heheee… Om Judhianto itu orang yang sangat cerdas. Udah gitu ajah, Makasih.
@xkris77: haha..terima kasih. Selamat melanjutkan baca.
saya sebagai seorang buddhis begitu menghargai tulisan-tulisan mas judhi yg kebanyakan coco sekali dengan kehidupan beragama buddha (yang belum terkontaminasi dengan hal-hal klenik dan ritual)
saya kenapa pindah ke buddhis dari muslim juga setelah mengalami pencarian yang begitu panjang.
senang ternyata ada orang yang memiliki pikiran terbuka dan nalar baik tentang kehidupan beragama seperti situ…
salam sejahtera
semoga semua mahluk berbahagia.
Mas Judhi yg baik, yg mendapat hidayah dan keberanian untuk berpikir dan mempertanyakan hal2 yg tabu bagi sebagian besar umat islam. Melalui perjalanan panjang sy sendiri, sepenuhnya saya sepakat dgn Mas Judhi tentang hakikat agama sbg hasil budaya, dan tentu saja juga menjalani proses desakralisasi hebat yg anehnya saya rasakan sebagai proses pembebasan yg sangat melegakan.
Mengingat bahwa bahkan burung dan pohon juga disuruh shalat, maka saya berkesimpulan bahwa sebetulnya shalat atau kewajiban kita sbg manusia/khalifah Allah di bumi adalah tentang menjalani kehidupan sebagaimana seharusnya seorang manusia, yg memiliki nurani, etika dan hukum positif sebagai suatu sunnatullah yg bersifat dinamis dari waktu ke waktu.
Saya jadi paham bahwa yg dinamakan syariat itu tak lain hanyalah usaha org2 jaman dahulu utk mengatur masalah2 pada waktu tersebut, hanya saja dengan membawa2 nama Nabi sbg dasar pendapat, yg sama sekali tidak bisa diverifikasi bhw hadits2 tersebut betul2 berasal dari Nabi Muhammad.
Mungkin itulah sebabnya sangat dilarang mikir2 dan nanya2 terlalu jauh tentang Islam, karena ujung2nya banyak hal tidak masuk akal yg harus kita telan bulat2 kalau tidak ingin dicap kafir, murtad dan masuk neraka. Mungkin itu sebabnya kebanyakan kita memiliki daya analisis yg tumpul, kreatifitas yg tersendat2 dan kehilangan perasaan manusiawi yg membedakan kita dari ciptaan Allah yg lain. Selagi saudara2 kita spt HTI dan FPI masih berkicau di Twitter, berbagi bahan dakwah di website/internet, menggalang ukhuwah dan koordinasi via smartphone dan blackberry yg nyata2 hasil pemikiran orang2 kafir/musyrik/atheis, sebaiknya pikir2 lagi dulu untuk membuat Khilafah atau Daulah Islamiyah, salah2 nanti akan membawa peradaban manusia mundur ratusan tahun ke belakang.
Sampai sekarangpun saya tidak bisa memahami dimana nilai kebaikannya untuk mempermasalahkan hal2 remeh seperti menahan kentut dalam shalat di mana pada saat yg bersamaan kita berpikir boleh membunuh orang karena dia murtad dan mengklaim hartanya sebagai milik kita hanya karena : begitulah syariat Islam. Allah yang saya yakini sekarang sama dengan Allahnya Mas Judhi, yg merupakan sumber segala kebaikan untuk seisi alam.
Maafkan kalau komentar saya terlalu panjang, karena ini uneg2 yg sudah terlalu lama menggumpal dalam dada. Glad that I can finally speak it out.
PS: meskipun sy termasuk org yg selalu menunggu tulisan2 terbaru Mas Judhi (yg sepertinya makin lama makin jarang), sy berpesan agar tidak usah dipaksakan kalau tidak lagi mood, kehabisan bahan atau waktunya sempit. Tulisan2 yg ada sudah sangat berguna, dan kalau dipaksakan takutnya seperti ceramah/khutbah ustadz yg tiap hari mengulang hal itu2 saja sehingga tak lagi menarik, inspiratif dan menyentuh.
@Dodi_StartAllOverAgain: saya senang membaca apresiasi anda pada tulisan saya.
Terima kasih.
saya sudah baca tulisan ini berulang kali, tp sepertinya baru kali ini tiba2 saya pengen komentar. hehe…
semakin hari, semakin yakin, bahwa agama memang hanyalah produk pemikiran dan budaya pada suatu masyarakat tertentu dalam waktu yang tertentu pula.
makin hari, makin menyadari juga bahwa dogma2 agama, doktrin2 agama, syariat2 agama, memang hanyalah produk pemikiran para ulama dan para penyebar agama.
dan itu semua bukanlah “sesuatu” yang jatuh begitu saja dari dunia supranatural.
saat saya menyadari itu semua,, semakin menambah kekecewaan saya, menambah kemarahan saya. karena saya merasa tertipu. kenapa para ulama, kyai, dan ustad tidak menyampaikan saja semuanya dengan jujur dan apa adanya. bahwa agama muncul sebagai suatu proses alamiah perjalanan panjang manusia dalam mencari Tuhan, mukjizat juga merupakan proses yang sangat alamiah, dsb
terkadang kekecewaan itu begitu besar,, sampai-sampai saya juga ingin membuang semua nya. meninggalkan semuanya.
tapi dalam kondisi mengalami kekecewaan yang berat tsb,, saya selalu rutin membaca tulisan ini. dan selalu tulisan ini bisa berhasil menghibur saya dan berhasil meyakinkan kembali saya untuk tidak meninggalkan agama, dan tetap menjalani dan menikmati berbagai ritual2 agama sebagai sebuah proses untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjadikan hidup ini lebih bermakna.
terimaksih atas tulisan yang begitu menghibur ini pak… hehe…
@Khozin: ya memang agama adalah hasil budaya manusia untuk mewujudkan Tuhan yang tak terjangkau. Banyak agamawan yang sampai pada kesimpulan ini, namun lebih banyak lagi yang tetap pada pendapat bahwa agama adalah hadiah dari langit.
Bagi kebanyakan masyarakat, percaya lebih penting daripada tahu, sehingga hanya sedikit yang siap menghadapi guncangan pada sendi keyakinan mereka. Para agamawan pasti tahu, sehingga diskusi mendalam tentang agama sebagai hanya hasil budaya manusia selalu hanya dilakukan pada forum-forum terbatas untuk membatasi dampaknya. Hanya yang urakan dan gak tahu aturan saja yang membahasnya sembarangan di forum umum.
Bagi saya: saat kesantunan menghalangi kebenaran, perlu urakan untuk jadi manusia utuh. Hidup urakan cuk!..
Pak….bolehkah saya share tulisan bapak ini
@Hanif: silakan..
Agama hanya produk budaya saja
ad yg bahagia dgr ceramah ustad, pastor
klo saya ceramahnya Sam Harris, Richard dawkin , Lawrenc krauss jauh lebih faedah
Heleh.
tak pikir mbahas apa.
kok nggak sesuai sama judulnya.
@KucingKarung: jadi, menurut anda judul yang cocok apa ya?
Jadi ingat slogannya yusuf mansyur yang di pasang di sudut kampung saya “yogya menghafal al’quran”. Bergambar dirinya dan orang2 timur tengah. Lawong anak2 kita aja Ho No Co Ro Ko merasa jadi beban disekolah eh palah mengiklankan bahasa orang lain. Bahkan ada statmen, semua bahasa pada akhirnya akan hilang kecuali satu, bahasa arab. nah ini palah semakin menyesatkan masyarakat, emang tuhan berbahasa arab dan hanya menerima bahasa arab. Memang ini sebuah fenomena bangsa kita, bila mebaca dan membunyikan suara2 al’quran merasa tenang dan dekat dengan Nya. Ah itu hanyalah persaan saja sesungguhnya. Karena dari kecil kita selalu dikenalkan tuhan dengan menggunakan bahasa arab atau al’quran.
Agama selama ini palah bikin repot, jadi dasar konflik disemua urusan. Mau berbuat baik kalau apdasarnya agama jadi palah runyam, mau nikah beda agama konflik, mau sedekah kebeda agama masakah, mau mendo’a kan beda agama katanya gakmditerima,, mau mendirikan rempat ibadah jadi konflik, mau memimpin masyarakat agamanya beda jadi konflik, kita gak jalankan ritual agama jadi konflik gunjingan dilingkungan. Kalau oada kahirnya menyebabkan keteganganngapain di ajarkan terus menerus. Mendingan buat agama yang lebih produktif dari pada melakukan ritual2 terus menerus. Bukankah kita bekerja dan berusaha sudah merupakan ibadah, membantu orang merawat keluarga juga merupakan ibadah dan kegiatan sehari2 kita sudah melakukan ibadah dan bersyukur kepadanya karena telah memanfaatkan segala sesuatu yang diberikan oleh Nya kepada kita, tangan kaki, otak dan lain2
@Nonong Batuke: memang saat ini agama di negara kita sudah menjelma menjadi sesuatu yang menyebalkan. Agama dianggap mengetahui segalanya lalu sok tahu mengatur-atur politik, hukum, sains, moral, cara berperilaku orang lain bahkan untuk menindas dan membunuh orang lain yang tak sejalan.
Masalahnya cuma satu, yaitu membawa agama ke luar kandangnya yaitu sekedar ritual pribadi.
Kalau sekedar ngrapal Qur’an siang malam untuk diri sendiri dan tak memaksa orang lain mendengarkan atau ikut membacanya, ya gak masalah, itu mungkin menenangkan bagi yang bersangkutan.
Kalau sekedar sholat siang malam tanpa henti untuk dirinya sendiri dan tak memaksa orang lain ikut sholat sebagaimana dirinya, ya gak masalah, itu memang bikin hatinya tenang (dan mungkin batuke jadi hitam, bukan nonong).
Jika ada istilah “Kembalikan tentara ke barak”, maka mungkin perlu dipopulerkan “Kembalikan agama ke tempat ibadah”. Kalau mulai mengatur-atur di luar perkara ritual pribadi, ya harus ada yang protes.
kalo Agama disuruh masuk barak, gagal tujuan untuk mendisplinkan kelompok agar bisa tetap siap siaga berkumpul bersama lima waktu untuk siap tempur, perbanyak kelompok dengan beranak pinak istri empat, tambah dengan hamba sahaya jadi makin banyak. Turuti perintah pemimpin dan bersiap-siap dengan mengorbankan jiwa dan harta toh ada imbalannya yang dahyst kelak. Jiga darurat apaun cara bisa dilakukan, makan, minum menipu dsbnya
@Kalangkangtinggal: he he… anda bicara fungsi agama yang biasa dimanfaatkan penguasa …
kalo berdasarkan hadis kata rasulullah agama itu adalah nasehat 🙂
Bpk Judhianto Ysh,
Jujur baru 2 minggu ini saya menemukan situs ini dan saya sangat menikmati saat membaca-baca tulisan Bapak. Belum banyak yang saya bisa baca karena kesibukan rutinitas sehari-hari.
Ada hal yg sampai dengan saat ini masih menjadi pertanyaan dalam pikiran saya. Hampir semua agama didasarkan pada prinsip “causa prima”, ada sebab ada akibat. Anda berbuat jahat, anda masuk neraka. Anda berbuat baik, anda masuk surga.
Pertanyaan saya, apakah prinsip “causa prima” ini memang merupakan prinsip utama alama semesta?
Mohon pencerahan, terimakasih.
@Hartono: apakah “Causa Prima” merupakan prinsip semesta?
Ini masalah keyakinan saja.
Causa Prima mengatakan bahwa semua yang ada di semesta ini merupakan hasil rangkaian sebab-akibat, dan di pangkalnya ada pribadi penyebab yang tidak disebabkan oleh apapun. Pribadi ini disebut Tuhan.
Apakah ada bukti yang bisa diverifikasi untuk mendukung pandangan ini? Tidak ada.
Dasarnya hanya keyakinan saja.
Kenyataannya? Bisa jadi ada pribadi tersebut, bisa jadi ini adalah rangkaian tanpa ujung, bisa jadi ini loop tertutup yang berulang pada dirinya sendiri, bisa jadi pangkalnya berupa hukum universal yang bukan sesuatu pribadi.
Banyak kemungkinannya, dan saat ini semuanya di luar pembuktian kita.
Jadi, Causa Prima itu cuma salah satu keyakinan yang belum bisa dibuktikan kebenarannya. Yakin boleh, yakin dengan yang lainnya juga tak jadi masalah, karena akhirnya toh tak bisa diverifikasi.