Tanyakan pertanyaan ini kepada pemeluk Islam, random aja, maksudnya kepada siapa saja yang kebetulan didekat anda. Apa jawabannya?
Islam anti nalar? apa gila anda!… tentu enggak!…
Bila yang anda tanya mempunyai pengetahuan yang lumayan, anda akan segera disodori berbagai macam fakta dan argumen yang menyanggah pertanyaan pertama anda.
Bagaimana anti nalar, kalau justru peradaban Islamlah yang menyumbangkan berbagai rintisan di bidang pengetahuan, disaat peradaban barat terpuruk dalam kegelapan.
Bagaimana anti nalar, kalau peradaban barat justru bangkit menuju pencerahan, karena sumbangan besar umat Islam dalam berbagai literatur yang memicu renaissance?
Oke, fakta tersebut valid. Tapi coba renungkan apa yang saat ini membentuk pola pikir umat Islam di masa modern ini.
Taqwa, Patuh Sebagai Tuntutan
Cermati khotbah Jum’at (sekali-kali berusahalah jangan tertidur saat khutbah), ada pesan wajib yang selalu disampaikan khotib. Bertaqwalah!.
Taqwa. Apa artinya?
Banyak versi untuk maknanya, Tapi saya kutip yang paling populer dikutip yaitu: “Melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya”
Dalam Qur’an ditegaskan:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
Tunduk dan patuh. Itulah intinya.
Laksanakan perintah dan tinggalkan larangan dari Allah, paham atau tidak alasannya, bukanlah hal penting. Tak ada pilihan lain, bahkan bila pilihan lain itu datang dari rasio atau nurani anda.
Jelas sekali. Patuh saja titik…., don’t ask, don’t argue.
Nabi Ibrahim, Teladan Kepatuhan Tanpa Reserve
Untuk kepatuhan, tak ada tokoh yang lebih utama dari Nabi Ibrahim. Ia satu-satunya Nabi yang namanya wajib disebut bersama Nabi Muhammad dalam setiap shalat kita.
Ada dua peristiwa berikut yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan kepatuhan luar biasa Nabi Ibrahim:
Meninggalkan Hajar dan Ismail di tengah gurun.
Ia sudah tua, dan sangat menginginkan memiliki putra. Pernikahannya sekian lama dengan Sarah tidak membuahkan keturunan.
Ketika ia menikahi Hajar sebagai istri muda, Ibrahim mengharapkan mendapat keturunan darinya. Dan harapannya terkabul.
Ketika Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim sangat bergembira, Ismail adalah hadiah terindah setelah sekian lama mengharap.
Allah mengabulkan do’anya, dan Allah mengujinya.
“Tinggalkan Hajar dan Ismail ditengah gurun! “
Suatu perintah yang luar biasa. Meninggalkan seorang ibu dan bayinya di tengah gurun tanpa tempat berlindung, tanpa bekal banyak adalah sama dengan membunuhnya.
Perintah itu sama dengan: ”Bunuh Hajar dan bayinya!”
Ibrahim patuh. Ia meninggalkan keduanya di tengah terik gurun, tanpa naungan.
Segera setelah Ibrahim pergi, Hajar menghadang maut sendirian. Ditengah terik gurun, menghadapi kehausan dan bayi yang menangis.
Fatamorgana menipunya. Ia melihat air fatamorgana dan memburu untuk mendapatkannya. Ia berlari tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa untuk ilusi air dan kecemasan akan nasib anaknya.
Luar biasa! Umat Islam mengabadikannya dalam ritual wajib ibadah haji. Haji tidak akan sah, bila tidak disertai lari-lari kecil bolak-balik tujuh kali antara Safa dan Marwa.
Allah akhirnya menyelamatkan keduanya dengan suatu mukzijat.
Menyembelih Ismail.
Ibrahim sudah berkumpul lagi dengan Hajar dan Ismail. Ismail sudah jadi remaja. Ia jadi kebanggaan dan kesayangan Ibrahim.
Allah mengujinya lagi. Dalam Qur’an dikisahkan:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffat: 102)
Sekali lagi, perintah yang sama dengan: “Bunuh Ismail!”
Ibrahim patuh. Ia tak ragu. Ia tak bertanya. Ia melaksanakannya.
Ia akan menyembelih anaknya di atas bukit. Dalam perjalanan menuju penyembelihan, setan menggodanya.
Setan membangunkan nalarnya.
Atas dasar apa seorang boleh membunuh orang lain? yang tak melakukan kejahatan? apakah berhak seseorang membunuh orang lain yang tak mengancam keselamatan siapapun?
Setan membangunkan nuraninya.
Ayah macam apa yang tega membunuh anaknya sendiri? ayah macam apa yang tak berusaha membela anaknya dengan mempertanyakan perintah pembunuhan anaknya?
Setan saat itu tidak mengajak Ibrahim melakukan kejahatan. Setan sebenarnya mengingatkan Ibrahim tentang esensi manusia yang membedakannya dari mahluk lain, yaitu bernalar dan bernurani.
Apa yang dilakukan Ibrahim? Ia melempari setan itu dengan batu, dan itu yang harus ditirukan umat Islam dalam bagian ibadah wajib mereka: Haji. Lempar jumrah adalah melempari setan, menolak pilihan nalar, menolak pilihan nurani, saat perintah agama turun.
Peristiwa keteguhan Ibrahim mengorbankan Ismail ini merupakan peristiwa penting yang dirayakan tiap tahun oleh umat Islam dalam salah satu hari raya besar, yaitu Idul Adha.
Nabi Ibrahim adalah tipe ideal orang beriman. Ia adalah panutan ideal agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Qur’an menyebutnya sebagai seorang Hanif – seorang yang lurus.
Hanya dia yang namanya disebut dan di-do’akan bersama nama Nabi Muhammad di dalam duduk tahiyat akhir setiap sholat. Hanya dia yang fragmen kehidupannya dilestarikan dalam ritual ibadah haji dan diperingati tiap tahun dalam perayaan Idul Adha. Hanya Ibrahim.
Pesan kisah Ibrahim sangat jelas:
Kalau ada perintah Allah, abaikan nalar! abaikan nurani!
Nalar dan nurani adalah muslihat setan untuk mengabaikan perintah Allah.
Penekanan ini membuat umat Islam membuang semua pikiran kritis mereka tentang segala sesuatu, bila itu menyangkut Islam atau yang dilabeli Islam.
Reaksi khas muslim (terutama di kelompok literalis) bila anda kritis terhadap masalah itu adalah bertanya: “Anda muslim? sebaiknya anda lebih mendalami Islam!”
Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.
Bila anda tetap ngotot mengajak debat, ingat anda sudah menjelma menjadi setan. Dan bagi mereka, saat melempar jumrah akan dimulai.
Apakah ada pandangan alternatif? Ada, saya akan sampaikan dalam tulisan selanjutnya. Cekidot…, sering mampir kesini gan!
masya Allah…
ini adalah pelajaran bagi orang2 yang berfikir…
artikel yang keren.. Lanjutkan karyanya bung…
Zalfa’ Aqilah
Terima kasih atas komentar dan sukanya.
Maka Nabi Ibrahim termasuk satu dari 5 Nabi yang dijuluki ‘Ulul Azhmi’ (punya tekad yang tinggi/besar) dan beliau juga dijuluki sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah)
suatu pemikiran yang cukup baik…
dan Al-Qur’an di peruntukan hanya orang-orang yang berfikir…
Tapi satu hal…
jika anda menyampaikan sesuatu yang diluar kemampuan manusia lainnya mohon di kutip sumber-sumbernya yang dapat dipercaya…
Saya mau bertanya.
Apakah anda pernah berfikir bahwa sebenarnya kehidupan di Dunia ini sebenarnya tidak ada?
cermati arti dari kata “Adam” siapa kah dia? Manusia pertama / nabi yang pertama ?
sedangkan dalam sifat Allah itu “Adam artinya Tidak Ada”.
Manto Edan:
Terima kasih untuk berkomentar.
Saya menganggap tiap orang berhak punya pikiran sendiri, dan berhak berbeda. Mengutip pikiran orang lain itu pilihan kita untuk mendukung pikiran kita. Saya tidak akan menggunakan pikiran saya untuk mendukung pikiran orang lain. Jadi saya tidak menganggap suatu hal yang penting jika kita sibuk mengutip kesana-kemari.
Untuk pertanyaan anda, saya tidak tertarik untuk bersilat lidah membahas kosakata. Bagi saya yang penting adalah substansi, berdebat mengenai kosakata, akar kata, itu tidak penting.
Bagi saya anda adalah anggota JIL dengan warna yang lain, anda barhak melakukan apa saja, tapi kalau anda tampil diforum, didunia maya ini, anda juga berhak menerima kecaman, makian bahkan laknat dari Yang Maha Benar. Karena subtansi kebenaran itu anda ukur dengan kantong anda, yang bagi orang lain mungkin tidak terlalu besar dan berisi. Camkan itu.
Tuah Rengat: Terima kasih atas tulisannya.
Kalau anda tidak setuju dengan argumen saya, silahkan memberikan arguman alternatif. Bukan menyerang pribadi saya.
Dari tulisan anda:
Karena subtansi kebenaran itu anda ukur dengan kantong anda,
–> Saya tidak tahu kalau ukuran kebenaran itu ada di kantong, apakah itu prinsip anda?
Saya berterima kasih sekali lagi, karena komentar anda sesuai sekali dengan statemen di tulisan saya berikut:
Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.
Islam anti nalar? tidak, sama sekali tidak, ada 4 x lipat ayat yang menyuruh umat berpikir ketimbang ayat-ayat tentang ritual ibadah. Tetapi saya katakan, jika yang dimaksud islam–sebagai sebuah intitusi Agama–maka Islam, ada yang harus di-imani, ada yang yang boleh dinalar, dan saya kira. Semua agama yang mapan, mengandung dua unsur ini, Misteri dan Nalar. jadi Islam tidak menolak nalar,-pun tidak juga mendewakan nalar, jadi islam tak melulu pakai iman, tapi tidak juga melulu pakai nalar.
lagi pula, fragmen yang anda tuliskan belum cukup untuk menggiring opini pembaca untuk setuju–paling tidak ragu-ragu–bahwa memang benar islam anti nalar. fragmen Ibrahim adalah pelajaran Tuhan bahwa memang ada perintahNYa yang harus ditaati tanpa reserve. apalagi berkaitan dengan ritual, syariat ibadah yang bersifat pasti. dan terbukti fragmen itu adalah “cikal bakal” syariatNya yang bersifat pasti dalam ibadah Haji, suka atau tidak suka!.
tapi bagaimana saya sebutkan kisah tentang Malaikat yang interupsi, ketika Tuhan hendak menciptakan mahkluk yang bernama Manusia. Apakah Tuhan Marah ?
Tapi bagaimana dengan Musa yang terus menerus kritis dengan perbuatan Nabi Khidir yang membunuh anak kecil, merobohkan rumah dan melubangi perahu? apakah Tuhan “menjewer’ Musa, karena tidak nunut saja melihat tindak-tanduk Musa, yang juga berarti pula “menggugat’ perintahNya dalam prilaku Khidir.
Apakah Ulah malaikat dan Musa kritis terhadap perintah Tuhan sebagai hasil intervensi setan?. dan jebakan setan bukan hanya pada nalar manusia tetapi bisa jadi pada iman mereka sendiri. terutama pada nalar atau iman yang mengklaim paling benar sendiri…
makanya jika saya berdebat dengan anda tentang islam dalam konteks islam sebagai sebuah studi (Islamic Studies), silahkan saja ajukan nalar anda, ajukan referensi scientific anda. tapi jangan sembarangan diskusi di warung-warung kopi, kaki lima, pasar , masjid, mushola, surau lantas mengajukan hipotesa “islam anti nalar”, bisa berabe…
ryono: Ada beda antara yang tersurat dan tersirat. Anda benar bila mengatakan lebih banyak ayat yang mengajak kita berpikir daripada ayat tentang ritual.
Tetapi kalau anda bertanya tentang hirarki kebenaran dalam Islam, para ulama merumuskan urutannya sebagai berikut:
1. Qur'an (wahyu allah)
2. Sunnah Rasul (hadits nabi)
3. Selain kedua hal tersebut.
Hirarki yang rendah tidak bisa membatalkan hirarki yang lebih tinggi. Sebagai contoh: jika ada hadits yang berlawanan dengan Qur'an, maka kita harus memilih Qur'an dan mengabaikan Hadits.
Di hirarki ketiga terdapat pendapat ulama maupun hasil pemikiran kita. Bagaimana dengan realitas, fakta ilmiah dan perasaan kita?
Karena dua teratas sudah tidak bisa digugat, mau tidak mau mereka masuk dalam hirarki tiga.
Konsekwensinya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut:
** Perbudakan sangat menghina kemanusiaan karena memperlakukan manusia budak setara dengan benda atau ternak yang bisa diperlakukan seenaknya. Tetapi kemanusiaan adalah hasil pikiran manusia di hirarki 3, selama Qur'an & Hadits menyatakan boleh, para ulama tidak pernah secara eksplisit mengatakan perbudakan bertentangan dengan Islam, sehingga ayat dan hadis pendukungnya adalah batal.
** Poligami secara umum tidak adil bila dilihat dari kacamata wanita. Tetapi apa artinya perasaan wanita bila dihadapkan kepada hirarki 1 & 2 yang menyatakan itu adil?
** Fakta ilmiah menyatakan hanya organisme setingkat mamalia yang mempunyai otak neokorteks maju, yang mampu mengembangkan ketrampilan berbahasa dan kesadaran diri. Tetapi apa artinya fakta ilmiah, bila Qur'an menceritakan Sulaiman yang berdialog dengan semut dan burung bulbul?. Kalau Qur'an menyatakan semut dan burung bul-bul mampu berbicara, ya berarti semut dan burung bul-bul mampu bicara, abaikan saja fakta ilmiah itu.
** Qur'an menyatakan Sholat mencegah perbuatan keji dan munkar, tetapi fakta mengatakan banyak para koruptor yang muslim adalah pelaku sholat yang rajin, bajak laut Somalia yang membajak kapal kita juga sholat berjamaah. Muslim harus menganggap Qur'an yang benar, bila sholat tidak mencegah perbuatan keji dan munkar, itu adalah oknum Islam yg salah.
Terima kasih rajin berkomentar, saya senang anda bisa membantu memperluas wawasan saya.
dalam metode penarikan hukum islam (ushul fiqh) memang demikian, ada beberapa ‘saringan’ sebelum hukum itu dijadikan kata putus. 1 qur’an, hadist, 3 ijma 4 qiyas. tapi rumus itu-pun saya kira tak seideal prakteknya. kadangkala, ada beberapa hal yang tidak termaktub dalam alqur’an tapi oleh beberapa Ulama dijadikan Syariat, misalnya Hukum Rajam tidak ada dalam qur’an tapi ada dalam hadist dijadikan bagian dari hukum pidana (hudud) islam pada beberapa ulama, dan pada beberapa negara islam…jadi saya kira metode tersebut bisa saja baku, tetapi auktor intelektualis dari semua itu adalah Manusianya. Jadi disini, tetap saja, interpretasi, penafsiran,pemahaman sang “manusia” berperan dan itu artinya bersifat relatif, debatable. Dan terbukti ada beberapa “ulama” yang melarang poligami, ada yang pro, ada yang kontra perbudakan, ada yang pro, ada yang melarang hukum rajam, potong tangan, cambuk ada yang getol..ada yang pro Jilbab sebagi wajib, ulama lain bilang tak wajib, dalam hal ini misalnya Dr. Quraish Shihab…
jadi saya katakan, Hukum yang berasal dari metode tersebut bisa saja bersifat pasti dan mengikat, jika “jumhur Ulama” bersepakat bahwa apa-apa yang dikaji tersebut menyangkut wilayah Qoth’i, ushul atau pokok dalam agama misalnya Ritual ibadah. apa anda mau protes mengapa sholat maghrib “cuma” 3 rakat…? sementara isya 4 rakaat..
(bersambung…)
ryono: Anda berpendapat bahwa secara ideal metode penarikan hukum mempunyai saringan 1 qur'an, hadist, 3 ijma 4 qiyas, tetapi pendapat anda prakteknya tidak seideal itu. Ini suatu hal yang menarik. Secara tak langsung anda berpendapat pengabaian terhadap metode saringan tersebut bukan penyimpangan.
Kalau saya sih lebih tertarik pada pendapat to-the-point Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa akal bisa ditempatkan sejajar dengan wahyu dalam menemukan kebenaran, pendapat yang mengundang pengkafiran oleh Al-Ghazali. Pendapat Ibnu Rusyd ini menemukan relevansinya pada contoh-2 yg saya ungkap di komentar saya sebelumnya dan juga contoh-2 dari anda.
Sebenarnya nafas dari tulisan saya adalah: semakin banyak konsep-konsep keagamaan yang perlu kita pertanyakan ulang. Bukan berarti kita harus menolak agama, akan tetapi sudah saatnya kita membentuk ulang agama kita.
Allah sendiri dari waktu-ke-waktu membentuk ulang agama melalui para nabinya, karena tanpa dibentuk ulang, niscaya tiap agama akan mengalami periode expired berhadapan dengan perubahan jaman.
Kalau Qur'an menyatakan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir, bukan berarti agama Allah tidak perlu dibentuk ulang menghadapi perubahan jaman. Bisa jadi dengan tidak menurunkan lagi Nabi, Allah sudah menyapih umat manusia dan mengijinkan kita membentuk ulang agama dengan ikhtiar kita sendiri, tiap orang berhak melakukan kustomisasi personal atas agamanya.
Islam sebagai agama generik tetap ada, akan tetapi kustomisasi Islam versi saya, versi anda, versi GusDur, versi MUI, versi JIL adalah sah-sah saja. Anda boleh pilih versi yang sudah mapan, atau kalau pede, versi anda sendiri. Kelak anda mempertanggung-jawabkan pilihan ini kepada Allah.
kalimat terakhir yang paling mengena. “Kelak anda mempertanggung-jawabkan pilihan ini kepada Allah.”
okey saya lanjutkan, pengabaian terhadap metode yang saya sebutkan tentu saja bukan penyimpangan, toh saya kira metode tersebut juga bukan sesuatu yang baku, hanya metode standar yang sering digunakan oleh mayoritas juris islam klasik. Masih banyak metode penarikan hukum islam lainnya, misalnya Imam syatibi, yang lebih menelisik hukum islam dari sudut pandang Maqashid syariat, nilai-nilai, tujuan-tujuan, spirit, ruh dari syariat bukan dari sekedar bentuk atau kulitnya.
Makanya islam itu luas, berbagaialiran, mahdzab, firqah pernah ada dalam sejarah islam. bahkan jika anda getol dengan rasio, anda harus tahu Mu’tazilah, yang celakanya justru disaat itu bisa disebut “the golden age of islam”…
Okey..anda sebut Ibn Rusyd sebagai ilmuwan islam yang mengatakan akal bisa sejajar dengan wahyu dalam menemukan kebenaran. Ibn Rusyd mengatakan demikian tentu setelah beliau khatam dulu mengkaji wahyu. Sama persis dengan Alghazali, beliau menulis buku “kesalahan-kesalahan Filsafat” sebagai counter atas pemikiran Ibn Rusyd setelah dia khatam mengkaji Filsafat. bagaimana dengan anda?
Bisa saja anda “meng-akal-akal-kan agama” karena namanya akal pasti akan merambah apapun yang bisa dirambah termasuk hal-hal yang bersifat Misteri, dogma dalam Agama. Misalnya anda bisa mengatakan bahwa pasukan Abrahah itu sebetulnya dilumpuhkan Allah bukan karena serangan burung Ababil melainkan karena wabah kolera. atau Musa membelah lautan itu bukan karena tongkatnya tetapi karena gempa dahsyat gunung vesuvius saat itu . Semua saya kira sah-sah saja meskipun konyol. Ini persis dengan Dr Maurice Bucaile yang justru “meng-agama”kan sains, sains yang rasional itu dipaksa-paksa dicari presedennya dalam kitab suci agama. setiap inovasi sains dicari referensinya dari ayat-ayat qur’an, tentu ini lagi konyol juga.
Makanya Ulil sendiri-pun mengatakan bahwa ada hal-hal dalam agama yang bisa berubah ada yang tidak, ada yang memang perlu diimani dengan wahyu, ada yang perlu instrumen akal…makanya anda bisa saja bersemangat kritis tentang islam, tetapi jangan lupa penguasaan kitab-kitab islam klasik perlu juga. seperti Moqshid ghazali misalnya…
dan argumen anda bahwa agama ini akan terus evolusi seperti filsafatnya Alfred Whitehead tentu saja bisa untuk sebagian saja dalam agama, tapi tidak untuk sebagian yang lain…
Dan customisasi personal atas islam tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Pembaruan dalam agama ini harus dilakukan oleh sang pembaharu dan sang pembaharu ini bukan berasal dari kebanyakan orang awam. Mereka harus kaum elit-cendikia. ali syariati pemikir syiah mengatakan bahwa jika agama ini akan terus mengalami kemajuan maka kaum elit cendikia, yang berada diatas puncak piramida sosial, dengan sedikit orang yang ada di zona itu, harus memainkan perannya. Suka atau tidak,pembaruan islam bersifat Elitis, sama seperti Allah menurunkan agama ini melalui manusia-manusia pilihan.
jadi saya tidak membayangkan jika semua orang berhak melakukan customisasi personal atas islamnya….saya tak bisa membayangkan jika Mas karyo si Tukang bakso dengan bekal islamnya yang cupet bisa melakukan ini, atau Mas Mun penjual sate bisa membuat islam versinya sendiri..yang lebih sejati..lebih modern…atau anda, yang berbekal satu-dua tulisan di blog lantas berkoar sudah menemukan islam versi sendiri…yang mungkin menurut anda benarr…tetapi setelah diuji, ibarat katak dalam tempurung…..
ryono: Saya senang melihat komentar anda masuk lagi.
Saya tidak melihat kontras yang tajam antara pendapat anda dengan pendapat saya. Saya hanya melihat pesan seorang sahabat agar berhati-hati dalam menyalurkan semangat kritis.
Saya tertarik untuk mengomentari ungkapan anda berikut:
Ibn Rusyd: akal bisa sejajar wahyu setelah khatam belajar wahyu.
Al Ghazali: menulis kesalahan-kesalahan filsafat setelah khatam filsafat.
Ungkapan di atas senada dengan:
Anda boleh memberi nasihat bisnis setelah anda khatam teori bisnis.
Anda boleh menjadi politikus setelah anda khatam teori politik.
Seringkali bekal yang lengkap membatasi langkah anda. Banyak terobosan besar, pemikiran out-of-the-box lahir justru karena sang pencetus tidak punya referensi lengkap tentang medan yang ia hadapi.
Tentang kustomisasi agama, itu adalah realitas keseharian kita.
Kita hidup di hiruk-pikuk beragamnya tafsiran agama yang dijajakan pada pendakwah. Ada Yusuf Mansyur, ada Jefri Bukhori, ada Mamah Dedeh, ada Ulil, ada Qurais Syihab, ada Habib Rizieq dan banyak lagi penjaja tafsir Islam.
Ini pasar bebas. Ada orang yang beli satu dan abaikan yg lain, akan tetapi lebih banyak yg kulakan kepada semua penjaja itu dan kemudian dipilih-pilih mana yg dirasa cocok. Misalnya bersedekah ala Yusuf Mansyur, mencari ketenangan dengan nasihat Qurays Shihab, mencoba menghargai perbedaan ala Ulil dan sebagainya. Bukankah itu merupakan kustomisasi personal agama?
Dengan sumber informasi yang terbuka dan banyaknya pilihan yg ditawarkan, hanya orang yg takut berpikir yg hanya memilih sumber tunggal, misalnya hanya turut pada Mamah Dedeh dan menutup telinga dari sumber-sumber yg lain.
Tentang saya yang menuliskan versi Islam saya sendiri di blog, anda benar kalau saya sama dengan tukang bakso yang menemukan Islam versinya sendiri.
Seperti yang saya ungkap di about blog ini, saya bukan ahli agama atau ilmuwan, saya penikmat yang ingin berbagi.
Tidak ada larangan untuk berbagi, tukang copetpun boleh berbagi tentang agama. Anda setuju atau tidak itu sepenuhnya pilihan anda sendiri.
Jadi: saya menikmati setiap diskusi yang ada dari komentar di blog ini. Paling tidak, saya tahu pikiran saya tidak diabaikan, baik setuju atau tidak setuju.
Terima kasih.
Taqwa itu dihati, kritis itu di nalar, keduanya tidak kontradiktif.
Dwi: Ungkapan yg menarik..
Di hati berarti arahnya ke dalam pribadi. Selama tidak melibatkan orang lain, ketundukan mutlak bisa mengantarkan kedekatan kita pada Allah.
Tetapi begitu menyangkut aksi di dunia nyata, yang mungkin melibatkan orang lain, kita harus menggunakan kaidah rasional umum dan hukum yg bisa diterima semua orang, karena tidak semua orang mempunyai kacamata yg sama dgn kita..
Dengan pengertian ini memang tidak kontradiktif.
Terima kasih komentarnya…
Tentu tidak benar. Islam tidak anti nalar. Kalau Islam anti nalar, Islam tak akan menarik untuk diikuti. 🙂
Salam.
@Nirwan: Menarik diikuti bukan pertanda sesuai dengan nalar…
Terima kasih komentarnya..
😀
Amat menarik, menyimak diskusi anda dg sdr Ryono, sy bagai katak dalam tempurung yg menguping kegaduhan diluar, sehingga memacu gairah untuk keluar dari ketertempurungan. salam
@Dizal: Terima kasih, bila diskusi kami bisa menambah wawasan anda.
Apakah Islam anti nalar atau tidak sebenarnya relatif, dilihat dari mana dulu? Yang jelas kalau kita lihat dalam sejarah Islam pernah ada kelompok rasionalis yaitu kaum Mu'tazilah dan para filosof. Hanya saja karena ada ekses negatif dari pemikiran mereka akhirnya rasionalisme seolah ditabukan dalam tradisi pemikiran Islam. Akibatnya dalam pemikiran rasional akhirnya umat Islam tertinggal dari Barat. Adalah hal yang penting dewasa ini untuk menghidupkan kembali pemikiran rasional dalam Islam.
@Adif Sahab: Saya setuju. Rasionalisme Islam harus disuburkan untuk membentuk generasi muda yang menatap masa depan, bukan sekedar bernostalgia dengan kejayaan masa lalu.
kalau menurut saya, islam merupakan agama yang tidak anti nalar, karena, banyak sumber ilmu pengetahuan yang telah dibuktikan, dan sesuai dengan isi alqur’an, itulah kesemurnaan islam, yang mengajarkan kita untuk menuntut ilmu, dan di kisah nabi khidir dan musa a.s, juga, khidir a.s mengatakan, ilmu allah itu sangat luas. dan rasul pun menghimbau agar kita terus menuntut ilmu.
sedangkan hal nabi ibrahim, yang menyembelih dan meninggalkan istrinya di gurun, itu karena allah memerintah demikian, dan nabi ibrahim percaya bahwa allah akan melindungi iistrinya
terima kasih
@AAAD: kalimat anda yg terakhir cukup menguatkan tulisan saya: dan nabi ibrahim percaya bahwa allah akan melindungi iistrinya
Apakah Ibrahim tahu pasti bahwa anak/istrinya bisa selamat? Tidak
Apakah Allah sebelumnya memberi jaminan keselamatan anak/istrinya? Tidak
Secara nalar/logika Ibrahim tidak punya landasan untuk tindakannya.
Ibrahim melakukannya karena percaya Allah pasti memberi yg terbaik, seaneh apapun perintah itu.
Jadi bagi Ibrahim: percaya letaknya diatas nalar, seabsurd apapun yg dikatakan kepercayaan itu.
Dan kita diperintahkan mencontohnya.
Benarkah Allah serius dg perintah-Nya dg menyuruh Ibrahim membunuh anaknya sendiri?? Tidak ada ceritanya Ibrahim membunuh anaknya, krn Allah hanya mencobainya. Jdi substansinya satu saja, PEMBUNUHAN ITU TIDAK PERNAH ADA TERJADI, KRN SMUA SUDAH ADA DLM RENCANA ALLAH.. 😉
@Chillin: Ibrahim percaya Allah, karena yakin tidak akan ada maksud buruk dari Allah. Dengan kepercayaan itu Ibrahim melaksanakan apapun perintah Allah, seaneh apapun.
Kita diperintahkan meniru Ibrahim.
Problemnya: Ibrahim menerima perintah langsung dari Allah, sedangkan kita tidak. Tidak ada yg berhak berkata atas nama Allah selain Nabi, sealim apapun dia.
Sealim apapun dia?? Setuju, karena kita bukan nabi, hanya manusia biasa dan tidak ada satu manusiapun di dunia ini yg tak berdosa sealim apapun dia. Manusia hanya mampu menafsirkan, hidup itu bagaimana kita menafsirkannya, entah itu benar atau tidak kita semua tidak ada yang benar2 mengetahuinya. Hanya satu kebenaran yg saya tahu dan pasti itu benar adalah bahwa kebenaran hanya milik Allah, dan Allah Maha Mengetahui Segalanya 😉
Assalamualaikum.
Menariksekali, luarbiasa pemikirannya, kita bisa berdialog dengan nyaman.
Ijinkanlah kami bergabung, karena apa yang ada dibenaku sudah tercurah dengan baik dan disajikan dengan luarbiasa oleh mas judhiarto.
Saat ini aku masih muslim dengan Allah yang ada dinuraniku, seperti kata Aisyah aku akan mengikuti Allahnya Ibrahim kalau lagi sebel ama nabi, dan berAllahnya Muhammad kalau lagi sayang ama Muhammad.
Jadi kalau aku lagi bergaul ama masyarakat yaaa ikutlah, tapi kalau lagi sendirian, merenung maka aku berAllah seperti nalarku memberikan penjelasannya di sanubariku.
Bravo, teruskan massss
Terimakasih wassalam
H. Bebey
@H. Bebey: bagi saya keajaiban hukum2 semesta ini memperkuat keyakinan saya pada adanya Allah.
Akan tetapi saya telah kehilangan sakralitas pada agama-2 yang ada.
Bagi saya agama adalah hasil proses budaya manusia, unsur2nya yg membantu kemajuan kemanusiaan harus kita pertahankan, sedangkan unsur-2 yg tidak sesuai lagi dgn kemanusiaan harus kita ubah atau tinggalkan.
Beriman kepada Tuhan tidak sama dengan beragama, Beriman dengan tuhan adalah Tabur Tuai
Assalamualaikum
Aku hampir tiap malam suka tahajud, merenung dan bersilogisme mengutakngutik premis minor. premis mayor, dan mencari kesimpulan, diantaranya apakah kemelut dalam beragama itu adalah merupakan pikiran manusia yang membesarbesarkan/mengagungagungkan tanpa dapat menempatkan nalar secara baik dan benar, wkwkwkwk
Seperti contoh, premis mayor nya adalah Allah SWT itu pencipta semesta alam, itu sesuatu wujud yang belum bisa dipikirkan, padahal yang digembargemborkan adalah yang menyangkut “bilangan i ” itu, yang bertugas membantu mengeluarkan nuraninya beliau, sehingga ujungujungnya menjadi kitab suci yang diagungagungkan. Padahal ada lagi istilah al Qur’an basah yaitu hukum alam yang ada di bumi dan langit.
Apa premis minornya, yaa itu tadi konsep yang dikemukakan dalam diskusi kita kali ini, misalnya nabi Ibrahim seorang brahmana yang bernalar bahwa sebenarnya agama itu bentuknya tauhid, dengan demikian ilmu agama beliau sangat luarbiasa, dimana beliau bisa berdialog langsung dengan Allah walaupun dalam mimpi, yang diyakini betul adanya oleh penganutnya dijaman sekarang ini. Jadi kesimpulan dari silogisme ini adalah kalau kita hidup dijaman sekarang ini, dimana untuk tempat bertanya tidak ada lagi (nabi baru), maka kita bertanya pada siapa, yaa ke nurani kitalah, cuma memang susah sekali mendapatkan jawaban demikian tepat, karena itu bukan jawaban dari Allah SWT sebenarnya, walaupun katanya itu berdasarkan kitab suci. Cerita itu hanya sekadar percaya, bolehhlah, tapi kalau kita menghadapi dunia, yaa kita harus memakai akal agar mempunyai kedudukan yang terbaik sesuai dengan kondisi dirinya, dan ujungujungnya bersukur…. hehhhheeeee
awssalam
Singkat saja, Islam lebih mendahulukan akal kemudian diikuti dengan iman.
@YaniLeviathan Ahmad: terima kasih atas keyakinannya.
Singkat, padat dan tanpa argumen nalar. Sangat sesuai dengan gambaran artikel ini.
hukum itu memang ada yang bisa dinalarkan dan ada yang tidak, misalnya, ketika kita buang angin, maka wudhu kita rusak, klo wudhu maka yg kita basuh adalah anggota wudhu, dan (maaf) pantat bukan termasuk anggota wudhu,, kenapa pantat yang melakukan “kesalahan” tidak dibasuh? jadinya klo mau dinalarkan dak bakalan ketemu,, kenapa gerakan sholat kita harus “begini?” itu semua karena allah yg memerintahkan, dan Rasulullah yang mengajarkan, kita menjalankan suatu hukum karena itu adalah perintah allah, dan kalau allah sudah memerintahkan maka itu pasti baik, karena baik menurut ukuran kita belum tentu baik dalam kacamata allah, karena kita masih terhijab dengan masa depan..
@Muslimah: kalau urusannya dengan diri sendiri atau hanya dengan Allah, gak masalah ada aturan yang gak masuk akal, toh yg jalankan diri kita sendiri, terserah kita.
Tapi kalau menyangkut kepentingan orang lain, nalar harus lebih utama. Mau contoh? lihat saja di Arab Saudi atau Afgan era Taliban:
Apakah mereka tanpa dalil? tidak justru mereka terobsesi dengan dalil agama. Segala sesuatu bagi mereka harus berdasar Qur’an dan Hadits. Tapi lihat masyarakat aneh yg dihasilkannya…
bagaimna anda begitu dangkal memandang syariat islam?
dalil mana yang mengatakan wanita tidak boleh protes ketika suami nikah lagi?(wanita boleh protes bahkan minta cerai, tergantung bagaimana kaum pria meyakinkan istri)
kenapa kesaksian wanita setengah (karena secara psikologis wanita lebih labi), anda pernah liat orang kesurupan? kenapa kebanyakan patra wanita.
begitu jg dengan masalah waris, kenapa wanita dapat jatah 1/2, kerana jatah waris wanita hanya untuk dirinya sendiri, kalo pria untuk istri dan anak2x jg( 1 bagian untuk anak jg istri). kl anda faham gono gini, jatah waris wanita mutlak milik si wanita.
dalam rumah tangga, kl istri merasa g da kecocokan jg bisa mengadukan cerai. pendapat suami jg tidak mutlak, MUTLAK kalo sesuai syariat(tidak durhaka kepada Allah dan rosulx).
Dalil mana yang menyebutkan suami boleh memukul istrinya? Suami memang imam bagi istri dan anak2x. kl bodoh, mana bisa mendidik. Apa yang jadi patokan seseorang itu bodoh menurut anda?
@Cak Pin: terima kasih untuk ikut berkomentar, untuk pendapat anda:
* dalil mana yang mengatakan wanita tidak boleh protes ketika suami nikah lagi?
Dalam syariat, suami boleh kawin lagi tanpa perlu ijin istri sebelumnya. Dalam UU perkawinan Indonesia, proses tersebut dipersulit.
* kenapa kesaksian wanita setengah (karena secara psikologis wanita lebih labi)
Ini bias budaya, yang menempatkan wanita secara umum tidak terdidik (bodoh) dibanding pria (ingat Taliban yang melarang wanita sekolah). Anggapan ini secara perlahan menjadi tidak valid dinegara modern.
* dalam rumah tangga, kl istri merasa g da kecocokan jg bisa mengadukan cerai
Dalam syariat, istri boleh meminta cerai, akan tetapi perceraian baru terjadi jika suami menyetujui permintaan itu. Sedangkan talak dari suami bisa terjadi tanpa butuh persetujuan istri. Dalam UU perkawinan Indonesia, proses tersebut dimodifikasi sehingga hakim yg menentukan apakah perceraian bisa terjadi atas permintaan istri tanpa ijin suami.
* Dalil mana yang menyebutkan suami boleh memukul istrinya?
Di Qur’an:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An-Nisaa’: 34)
Menurut Qur’an, hanya dengan dasar khawatir (curiga) tanpa perlu pembuktian, seorang suami boleh pukul istrinya.
artikel mas judhianto, semakin menguatkan keimanan saya terhadap allah,..selama ini sy sllu hidup dalam ketakutan karena dosa2..hidup tanpa harapan krn perbuatan2…saya jadi bersemangat lagi dan mempunyai harapan lg menuju allah,.artikel ini telah membuka dan menyingkap rahasia2 yg selama ini ada dalam pikiranku dan itu sungguh sangat menganggu..trims atas artikel2nya..semoga allah melimpahkan rahmat dan hidayah bagi kita semua.dan kita termasuk dalam orang2 yg dirahmatinya..amiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnn.
@Jhonny III: alhamdulillah..
selama yang bicara panca indra dan referensi nya memori otak ya akan ramai,coba selami ke dalam diri sendiri,kenali dirimu sendiri baru kamu akan kenal akan yang maha besar.maka akan damai dunia ini .
@Nor: anda rupanya sepakat dengan judul tulisan saya.
Jika iman itu berarti damai, maka cara anda mungkin bisa berhasil, yaitu tinggalkan panca indra, memory otak dan bahkan nalar anda. Cukup anda menyelami diri untuk menguatkan tekad untuk taat dan patuh tanpa bertanya.
Tanpa menggunakan nalar, perintah paling absurd dan konyol akan bisa anda jalankan dengan tenang dan penuh kedamaian, karena anda tidak akan pernah menanyakannya.
Saya tidak setuju dengan pendapat anda, tapi bukankah tiap orang boleh berpendapat?
Terima kasih.
tidak begitu maksud sy gan.sy salah satu pecinta discoveri chanel & national geografi ,sy juga sangat apresiasi dgn artikel anda.maksud sy ramai,ketika scient yg pakai nalar di komentari oleh orang 2 yang berbasis dogma 2.yg sebahagian sudah perlu reorientasi .para pencari kebenaran menempuh 2 jalan. jln pertama memakai scient(nalar) jalan ke dua mistik.para scientifik dan para mistikus,menggali sumur di tanah yang berbeda,asal menggalinya tidak tanggung ,keduanya akan ketemu air kebenaran yg sama,karena kebenaran satu adanya.kalau pembenaran banyak…..thank gan.sy tunggu artikel 2 update.
@Noer: masalahnya, secara tradisional kita diajarkan klaim bahwa agama meliputi segala aspek kehidupan.
Ketika segala sesuatu di luar agama sudah berkembang pesat, klaim tersebut menjadi gugur.
Agama terlihat sebagai sistem sok tahu dan tak kompeten, manakala dipakai sebagai rujukan sains, sosial, ekonomi atau lainnya.