Tanyakan pertanyaan ini kepada pemeluk Islam, random aja, maksudnya kepada siapa saja yang kebetulan didekat anda. Apa jawabannya?
Islam anti nalar? apa gila anda!… tentu enggak!…
Bila yang anda tanya mempunyai pengetahuan yang lumayan, anda akan segera disodori berbagai macam fakta dan argumen yang menyanggah pertanyaan pertama anda.
Bagaimana anti nalar, kalau justru peradaban Islamlah yang menyumbangkan berbagai rintisan di bidang pengetahuan, disaat peradaban barat terpuruk dalam kegelapan.
Bagaimana anti nalar, kalau peradaban barat justru bangkit menuju pencerahan, karena sumbangan besar umat Islam dalam berbagai literatur yang memicu renaissance?
Oke, fakta tersebut valid. Tapi coba renungkan apa yang saat ini membentuk pola pikir umat Islam di masa modern ini.
Taqwa, Patuh Sebagai Tuntutan
Cermati khotbah Jum’at (sekali-kali berusahalah jangan tertidur saat khutbah), ada pesan wajib yang selalu disampaikan khotib. Bertaqwalah!.
Taqwa. Apa artinya?
Banyak versi untuk maknanya, Tapi saya kutip yang paling populer dikutip yaitu: “Melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya”
Dalam Qur’an ditegaskan:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)
Tunduk dan patuh. Itulah intinya.
Laksanakan perintah dan tinggalkan larangan dari Allah, paham atau tidak alasannya, bukanlah hal penting. Tak ada pilihan lain, bahkan bila pilihan lain itu datang dari rasio atau nurani anda.
Jelas sekali. Patuh saja titik…., don’t ask, don’t argue.
Nabi Ibrahim, Teladan Kepatuhan Tanpa Reserve
Untuk kepatuhan, tak ada tokoh yang lebih utama dari Nabi Ibrahim. Ia satu-satunya Nabi yang namanya wajib disebut bersama Nabi Muhammad dalam setiap shalat kita.
Ada dua peristiwa berikut yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan kepatuhan luar biasa Nabi Ibrahim:
Meninggalkan Hajar dan Ismail di tengah gurun.
Ia sudah tua, dan sangat menginginkan memiliki putra. Pernikahannya sekian lama dengan Sarah tidak membuahkan keturunan.
Ketika ia menikahi Hajar sebagai istri muda, Ibrahim mengharapkan mendapat keturunan darinya. Dan harapannya terkabul.
Ketika Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim sangat bergembira, Ismail adalah hadiah terindah setelah sekian lama mengharap.
Allah mengabulkan do’anya, dan Allah mengujinya.
“Tinggalkan Hajar dan Ismail ditengah gurun! “
Suatu perintah yang luar biasa. Meninggalkan seorang ibu dan bayinya di tengah gurun tanpa tempat berlindung, tanpa bekal banyak adalah sama dengan membunuhnya.
Perintah itu sama dengan: ”Bunuh Hajar dan bayinya!”
Ibrahim patuh. Ia meninggalkan keduanya di tengah terik gurun, tanpa naungan.
Segera setelah Ibrahim pergi, Hajar menghadang maut sendirian. Ditengah terik gurun, menghadapi kehausan dan bayi yang menangis.
Fatamorgana menipunya. Ia melihat air fatamorgana dan memburu untuk mendapatkannya. Ia berlari tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa untuk ilusi air dan kecemasan akan nasib anaknya.
Luar biasa! Umat Islam mengabadikannya dalam ritual wajib ibadah haji. Haji tidak akan sah, bila tidak disertai lari-lari kecil bolak-balik tujuh kali antara Safa dan Marwa.
Allah akhirnya menyelamatkan keduanya dengan suatu mukzijat.
Menyembelih Ismail.
Ibrahim sudah berkumpul lagi dengan Hajar dan Ismail. Ismail sudah jadi remaja. Ia jadi kebanggaan dan kesayangan Ibrahim.
Allah mengujinya lagi. Dalam Qur’an dikisahkan:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffat: 102)
Sekali lagi, perintah yang sama dengan: “Bunuh Ismail!”
Ibrahim patuh. Ia tak ragu. Ia tak bertanya. Ia melaksanakannya.
Ia akan menyembelih anaknya di atas bukit. Dalam perjalanan menuju penyembelihan, setan menggodanya.
Setan membangunkan nalarnya.
Atas dasar apa seorang boleh membunuh orang lain? yang tak melakukan kejahatan? apakah berhak seseorang membunuh orang lain yang tak mengancam keselamatan siapapun?
Setan membangunkan nuraninya.
Ayah macam apa yang tega membunuh anaknya sendiri? ayah macam apa yang tak berusaha membela anaknya dengan mempertanyakan perintah pembunuhan anaknya?
Setan saat itu tidak mengajak Ibrahim melakukan kejahatan. Setan sebenarnya mengingatkan Ibrahim tentang esensi manusia yang membedakannya dari mahluk lain, yaitu bernalar dan bernurani.
Apa yang dilakukan Ibrahim? Ia melempari setan itu dengan batu, dan itu yang harus ditirukan umat Islam dalam bagian ibadah wajib mereka: Haji. Lempar jumrah adalah melempari setan, menolak pilihan nalar, menolak pilihan nurani, saat perintah agama turun.
Peristiwa keteguhan Ibrahim mengorbankan Ismail ini merupakan peristiwa penting yang dirayakan tiap tahun oleh umat Islam dalam salah satu hari raya besar, yaitu Idul Adha.
Nabi Ibrahim adalah tipe ideal orang beriman. Ia adalah panutan ideal agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Qur’an menyebutnya sebagai seorang Hanif – seorang yang lurus.
Hanya dia yang namanya disebut dan di-do’akan bersama nama Nabi Muhammad di dalam duduk tahiyat akhir setiap sholat. Hanya dia yang fragmen kehidupannya dilestarikan dalam ritual ibadah haji dan diperingati tiap tahun dalam perayaan Idul Adha. Hanya Ibrahim.
Pesan kisah Ibrahim sangat jelas:
Kalau ada perintah Allah, abaikan nalar! abaikan nurani!
Nalar dan nurani adalah muslihat setan untuk mengabaikan perintah Allah.
Penekanan ini membuat umat Islam membuang semua pikiran kritis mereka tentang segala sesuatu, bila itu menyangkut Islam atau yang dilabeli Islam.
Reaksi khas muslim (terutama di kelompok literalis) bila anda kritis terhadap masalah itu adalah bertanya: “Anda muslim? sebaiknya anda lebih mendalami Islam!”
Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.
Bila anda tetap ngotot mengajak debat, ingat anda sudah menjelma menjadi setan. Dan bagi mereka, saat melempar jumrah akan dimulai.
Apakah ada pandangan alternatif? Ada, saya akan sampaikan dalam tulisan selanjutnya. Cekidot…, sering mampir kesini gan!
masya Allah…
ini adalah pelajaran bagi orang2 yang berfikir…
artikel yang keren.. Lanjutkan karyanya bung…
Zalfa’ Aqilah
Terima kasih atas komentar dan sukanya.
Maka Nabi Ibrahim termasuk satu dari 5 Nabi yang dijuluki ‘Ulul Azhmi’ (punya tekad yang tinggi/besar) dan beliau juga dijuluki sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah)
suatu pemikiran yang cukup baik…
dan Al-Qur’an di peruntukan hanya orang-orang yang berfikir…
Tapi satu hal…
jika anda menyampaikan sesuatu yang diluar kemampuan manusia lainnya mohon di kutip sumber-sumbernya yang dapat dipercaya…
Saya mau bertanya.
Apakah anda pernah berfikir bahwa sebenarnya kehidupan di Dunia ini sebenarnya tidak ada?
cermati arti dari kata “Adam” siapa kah dia? Manusia pertama / nabi yang pertama ?
sedangkan dalam sifat Allah itu “Adam artinya Tidak Ada”.
Manto Edan:
Terima kasih untuk berkomentar.
Saya menganggap tiap orang berhak punya pikiran sendiri, dan berhak berbeda. Mengutip pikiran orang lain itu pilihan kita untuk mendukung pikiran kita. Saya tidak akan menggunakan pikiran saya untuk mendukung pikiran orang lain. Jadi saya tidak menganggap suatu hal yang penting jika kita sibuk mengutip kesana-kemari.
Untuk pertanyaan anda, saya tidak tertarik untuk bersilat lidah membahas kosakata. Bagi saya yang penting adalah substansi, berdebat mengenai kosakata, akar kata, itu tidak penting.
Bagi saya anda adalah anggota JIL dengan warna yang lain, anda barhak melakukan apa saja, tapi kalau anda tampil diforum, didunia maya ini, anda juga berhak menerima kecaman, makian bahkan laknat dari Yang Maha Benar. Karena subtansi kebenaran itu anda ukur dengan kantong anda, yang bagi orang lain mungkin tidak terlalu besar dan berisi. Camkan itu.
Tuah Rengat: Terima kasih atas tulisannya.
Kalau anda tidak setuju dengan argumen saya, silahkan memberikan arguman alternatif. Bukan menyerang pribadi saya.
Dari tulisan anda:
Karena subtansi kebenaran itu anda ukur dengan kantong anda,
–> Saya tidak tahu kalau ukuran kebenaran itu ada di kantong, apakah itu prinsip anda?
Saya berterima kasih sekali lagi, karena komentar anda sesuai sekali dengan statemen di tulisan saya berikut:
Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.
Islam anti nalar? tidak, sama sekali tidak, ada 4 x lipat ayat yang menyuruh umat berpikir ketimbang ayat-ayat tentang ritual ibadah. Tetapi saya katakan, jika yang dimaksud islam–sebagai sebuah intitusi Agama–maka Islam, ada yang harus di-imani, ada yang yang boleh dinalar, dan saya kira. Semua agama yang mapan, mengandung dua unsur ini, Misteri dan Nalar. jadi Islam tidak menolak nalar,-pun tidak juga mendewakan nalar, jadi islam tak melulu pakai iman, tapi tidak juga melulu pakai nalar.
lagi pula, fragmen yang anda tuliskan belum cukup untuk menggiring opini pembaca untuk setuju–paling tidak ragu-ragu–bahwa memang benar islam anti nalar. fragmen Ibrahim adalah pelajaran Tuhan bahwa memang ada perintahNYa yang harus ditaati tanpa reserve. apalagi berkaitan dengan ritual, syariat ibadah yang bersifat pasti. dan terbukti fragmen itu adalah “cikal bakal” syariatNya yang bersifat pasti dalam ibadah Haji, suka atau tidak suka!.
tapi bagaimana saya sebutkan kisah tentang Malaikat yang interupsi, ketika Tuhan hendak menciptakan mahkluk yang bernama Manusia. Apakah Tuhan Marah ?
Tapi bagaimana dengan Musa yang terus menerus kritis dengan perbuatan Nabi Khidir yang membunuh anak kecil, merobohkan rumah dan melubangi perahu? apakah Tuhan “menjewer’ Musa, karena tidak nunut saja melihat tindak-tanduk Musa, yang juga berarti pula “menggugat’ perintahNya dalam prilaku Khidir.
Apakah Ulah malaikat dan Musa kritis terhadap perintah Tuhan sebagai hasil intervensi setan?. dan jebakan setan bukan hanya pada nalar manusia tetapi bisa jadi pada iman mereka sendiri. terutama pada nalar atau iman yang mengklaim paling benar sendiri…
makanya jika saya berdebat dengan anda tentang islam dalam konteks islam sebagai sebuah studi (Islamic Studies), silahkan saja ajukan nalar anda, ajukan referensi scientific anda. tapi jangan sembarangan diskusi di warung-warung kopi, kaki lima, pasar , masjid, mushola, surau lantas mengajukan hipotesa “islam anti nalar”, bisa berabe…
ryono: Ada beda antara yang tersurat dan tersirat. Anda benar bila mengatakan lebih banyak ayat yang mengajak kita berpikir daripada ayat tentang ritual.
Tetapi kalau anda bertanya tentang hirarki kebenaran dalam Islam, para ulama merumuskan urutannya sebagai berikut:
1. Qur'an (wahyu allah)
2. Sunnah Rasul (hadits nabi)
3. Selain kedua hal tersebut.
Hirarki yang rendah tidak bisa membatalkan hirarki yang lebih tinggi. Sebagai contoh: jika ada hadits yang berlawanan dengan Qur'an, maka kita harus memilih Qur'an dan mengabaikan Hadits.
Di hirarki ketiga terdapat pendapat ulama maupun hasil pemikiran kita. Bagaimana dengan realitas, fakta ilmiah dan perasaan kita?
Karena dua teratas sudah tidak bisa digugat, mau tidak mau mereka masuk dalam hirarki tiga.
Konsekwensinya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut:
** Perbudakan sangat menghina kemanusiaan karena memperlakukan manusia budak setara dengan benda atau ternak yang bisa diperlakukan seenaknya. Tetapi kemanusiaan adalah hasil pikiran manusia di hirarki 3, selama Qur'an & Hadits menyatakan boleh, para ulama tidak pernah secara eksplisit mengatakan perbudakan bertentangan dengan Islam, sehingga ayat dan hadis pendukungnya adalah batal.
** Poligami secara umum tidak adil bila dilihat dari kacamata wanita. Tetapi apa artinya perasaan wanita bila dihadapkan kepada hirarki 1 & 2 yang menyatakan itu adil?
** Fakta ilmiah menyatakan hanya organisme setingkat mamalia yang mempunyai otak neokorteks maju, yang mampu mengembangkan ketrampilan berbahasa dan kesadaran diri. Tetapi apa artinya fakta ilmiah, bila Qur'an menceritakan Sulaiman yang berdialog dengan semut dan burung bulbul?. Kalau Qur'an menyatakan semut dan burung bul-bul mampu berbicara, ya berarti semut dan burung bul-bul mampu bicara, abaikan saja fakta ilmiah itu.
** Qur'an menyatakan Sholat mencegah perbuatan keji dan munkar, tetapi fakta mengatakan banyak para koruptor yang muslim adalah pelaku sholat yang rajin, bajak laut Somalia yang membajak kapal kita juga sholat berjamaah. Muslim harus menganggap Qur'an yang benar, bila sholat tidak mencegah perbuatan keji dan munkar, itu adalah oknum Islam yg salah.
Terima kasih rajin berkomentar, saya senang anda bisa membantu memperluas wawasan saya.
dalam metode penarikan hukum islam (ushul fiqh) memang demikian, ada beberapa ‘saringan’ sebelum hukum itu dijadikan kata putus. 1 qur’an, hadist, 3 ijma 4 qiyas. tapi rumus itu-pun saya kira tak seideal prakteknya. kadangkala, ada beberapa hal yang tidak termaktub dalam alqur’an tapi oleh beberapa Ulama dijadikan Syariat, misalnya Hukum Rajam tidak ada dalam qur’an tapi ada dalam hadist dijadikan bagian dari hukum pidana (hudud) islam pada beberapa ulama, dan pada beberapa negara islam…jadi saya kira metode tersebut bisa saja baku, tetapi auktor intelektualis dari semua itu adalah Manusianya. Jadi disini, tetap saja, interpretasi, penafsiran,pemahaman sang “manusia” berperan dan itu artinya bersifat relatif, debatable. Dan terbukti ada beberapa “ulama” yang melarang poligami, ada yang pro, ada yang kontra perbudakan, ada yang pro, ada yang melarang hukum rajam, potong tangan, cambuk ada yang getol..ada yang pro Jilbab sebagi wajib, ulama lain bilang tak wajib, dalam hal ini misalnya Dr. Quraish Shihab…
jadi saya katakan, Hukum yang berasal dari metode tersebut bisa saja bersifat pasti dan mengikat, jika “jumhur Ulama” bersepakat bahwa apa-apa yang dikaji tersebut menyangkut wilayah Qoth’i, ushul atau pokok dalam agama misalnya Ritual ibadah. apa anda mau protes mengapa sholat maghrib “cuma” 3 rakat…? sementara isya 4 rakaat..
(bersambung…)
ryono: Anda berpendapat bahwa secara ideal metode penarikan hukum mempunyai saringan 1 qur'an, hadist, 3 ijma 4 qiyas, tetapi pendapat anda prakteknya tidak seideal itu. Ini suatu hal yang menarik. Secara tak langsung anda berpendapat pengabaian terhadap metode saringan tersebut bukan penyimpangan.
Kalau saya sih lebih tertarik pada pendapat to-the-point Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa akal bisa ditempatkan sejajar dengan wahyu dalam menemukan kebenaran, pendapat yang mengundang pengkafiran oleh Al-Ghazali. Pendapat Ibnu Rusyd ini menemukan relevansinya pada contoh-2 yg saya ungkap di komentar saya sebelumnya dan juga contoh-2 dari anda.
Sebenarnya nafas dari tulisan saya adalah: semakin banyak konsep-konsep keagamaan yang perlu kita pertanyakan ulang. Bukan berarti kita harus menolak agama, akan tetapi sudah saatnya kita membentuk ulang agama kita.
Allah sendiri dari waktu-ke-waktu membentuk ulang agama melalui para nabinya, karena tanpa dibentuk ulang, niscaya tiap agama akan mengalami periode expired berhadapan dengan perubahan jaman.
Kalau Qur'an menyatakan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir, bukan berarti agama Allah tidak perlu dibentuk ulang menghadapi perubahan jaman. Bisa jadi dengan tidak menurunkan lagi Nabi, Allah sudah menyapih umat manusia dan mengijinkan kita membentuk ulang agama dengan ikhtiar kita sendiri, tiap orang berhak melakukan kustomisasi personal atas agamanya.
Islam sebagai agama generik tetap ada, akan tetapi kustomisasi Islam versi saya, versi anda, versi GusDur, versi MUI, versi JIL adalah sah-sah saja. Anda boleh pilih versi yang sudah mapan, atau kalau pede, versi anda sendiri. Kelak anda mempertanggung-jawabkan pilihan ini kepada Allah.
kalimat terakhir yang paling mengena. “Kelak anda mempertanggung-jawabkan pilihan ini kepada Allah.”
okey saya lanjutkan, pengabaian terhadap metode yang saya sebutkan tentu saja bukan penyimpangan, toh saya kira metode tersebut juga bukan sesuatu yang baku, hanya metode standar yang sering digunakan oleh mayoritas juris islam klasik. Masih banyak metode penarikan hukum islam lainnya, misalnya Imam syatibi, yang lebih menelisik hukum islam dari sudut pandang Maqashid syariat, nilai-nilai, tujuan-tujuan, spirit, ruh dari syariat bukan dari sekedar bentuk atau kulitnya.
Makanya islam itu luas, berbagaialiran, mahdzab, firqah pernah ada dalam sejarah islam. bahkan jika anda getol dengan rasio, anda harus tahu Mu’tazilah, yang celakanya justru disaat itu bisa disebut “the golden age of islam”…
Okey..anda sebut Ibn Rusyd sebagai ilmuwan islam yang mengatakan akal bisa sejajar dengan wahyu dalam menemukan kebenaran. Ibn Rusyd mengatakan demikian tentu setelah beliau khatam dulu mengkaji wahyu. Sama persis dengan Alghazali, beliau menulis buku “kesalahan-kesalahan Filsafat” sebagai counter atas pemikiran Ibn Rusyd setelah dia khatam mengkaji Filsafat. bagaimana dengan anda?
Bisa saja anda “meng-akal-akal-kan agama” karena namanya akal pasti akan merambah apapun yang bisa dirambah termasuk hal-hal yang bersifat Misteri, dogma dalam Agama. Misalnya anda bisa mengatakan bahwa pasukan Abrahah itu sebetulnya dilumpuhkan Allah bukan karena serangan burung Ababil melainkan karena wabah kolera. atau Musa membelah lautan itu bukan karena tongkatnya tetapi karena gempa dahsyat gunung vesuvius saat itu . Semua saya kira sah-sah saja meskipun konyol. Ini persis dengan Dr Maurice Bucaile yang justru “meng-agama”kan sains, sains yang rasional itu dipaksa-paksa dicari presedennya dalam kitab suci agama. setiap inovasi sains dicari referensinya dari ayat-ayat qur’an, tentu ini lagi konyol juga.
Makanya Ulil sendiri-pun mengatakan bahwa ada hal-hal dalam agama yang bisa berubah ada yang tidak, ada yang memang perlu diimani dengan wahyu, ada yang perlu instrumen akal…makanya anda bisa saja bersemangat kritis tentang islam, tetapi jangan lupa penguasaan kitab-kitab islam klasik perlu juga. seperti Moqshid ghazali misalnya…
dan argumen anda bahwa agama ini akan terus evolusi seperti filsafatnya Alfred Whitehead tentu saja bisa untuk sebagian saja dalam agama, tapi tidak untuk sebagian yang lain…
Dan customisasi personal atas islam tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Pembaruan dalam agama ini harus dilakukan oleh sang pembaharu dan sang pembaharu ini bukan berasal dari kebanyakan orang awam. Mereka harus kaum elit-cendikia. ali syariati pemikir syiah mengatakan bahwa jika agama ini akan terus mengalami kemajuan maka kaum elit cendikia, yang berada diatas puncak piramida sosial, dengan sedikit orang yang ada di zona itu, harus memainkan perannya. Suka atau tidak,pembaruan islam bersifat Elitis, sama seperti Allah menurunkan agama ini melalui manusia-manusia pilihan.
jadi saya tidak membayangkan jika semua orang berhak melakukan customisasi personal atas islamnya….saya tak bisa membayangkan jika Mas karyo si Tukang bakso dengan bekal islamnya yang cupet bisa melakukan ini, atau Mas Mun penjual sate bisa membuat islam versinya sendiri..yang lebih sejati..lebih modern…atau anda, yang berbekal satu-dua tulisan di blog lantas berkoar sudah menemukan islam versi sendiri…yang mungkin menurut anda benarr…tetapi setelah diuji, ibarat katak dalam tempurung…..
ryono: Saya senang melihat komentar anda masuk lagi.
Saya tidak melihat kontras yang tajam antara pendapat anda dengan pendapat saya. Saya hanya melihat pesan seorang sahabat agar berhati-hati dalam menyalurkan semangat kritis.
Saya tertarik untuk mengomentari ungkapan anda berikut:
Ibn Rusyd: akal bisa sejajar wahyu setelah khatam belajar wahyu.
Al Ghazali: menulis kesalahan-kesalahan filsafat setelah khatam filsafat.
Ungkapan di atas senada dengan:
Anda boleh memberi nasihat bisnis setelah anda khatam teori bisnis.
Anda boleh menjadi politikus setelah anda khatam teori politik.
Seringkali bekal yang lengkap membatasi langkah anda. Banyak terobosan besar, pemikiran out-of-the-box lahir justru karena sang pencetus tidak punya referensi lengkap tentang medan yang ia hadapi.
Tentang kustomisasi agama, itu adalah realitas keseharian kita.
Kita hidup di hiruk-pikuk beragamnya tafsiran agama yang dijajakan pada pendakwah. Ada Yusuf Mansyur, ada Jefri Bukhori, ada Mamah Dedeh, ada Ulil, ada Qurais Syihab, ada Habib Rizieq dan banyak lagi penjaja tafsir Islam.
Ini pasar bebas. Ada orang yang beli satu dan abaikan yg lain, akan tetapi lebih banyak yg kulakan kepada semua penjaja itu dan kemudian dipilih-pilih mana yg dirasa cocok. Misalnya bersedekah ala Yusuf Mansyur, mencari ketenangan dengan nasihat Qurays Shihab, mencoba menghargai perbedaan ala Ulil dan sebagainya. Bukankah itu merupakan kustomisasi personal agama?
Dengan sumber informasi yang terbuka dan banyaknya pilihan yg ditawarkan, hanya orang yg takut berpikir yg hanya memilih sumber tunggal, misalnya hanya turut pada Mamah Dedeh dan menutup telinga dari sumber-sumber yg lain.
Tentang saya yang menuliskan versi Islam saya sendiri di blog, anda benar kalau saya sama dengan tukang bakso yang menemukan Islam versinya sendiri.
Seperti yang saya ungkap di about blog ini, saya bukan ahli agama atau ilmuwan, saya penikmat yang ingin berbagi.
Tidak ada larangan untuk berbagi, tukang copetpun boleh berbagi tentang agama. Anda setuju atau tidak itu sepenuhnya pilihan anda sendiri.
Jadi: saya menikmati setiap diskusi yang ada dari komentar di blog ini. Paling tidak, saya tahu pikiran saya tidak diabaikan, baik setuju atau tidak setuju.
Terima kasih.
Taqwa itu dihati, kritis itu di nalar, keduanya tidak kontradiktif.
Dwi: Ungkapan yg menarik..
Di hati berarti arahnya ke dalam pribadi. Selama tidak melibatkan orang lain, ketundukan mutlak bisa mengantarkan kedekatan kita pada Allah.
Tetapi begitu menyangkut aksi di dunia nyata, yang mungkin melibatkan orang lain, kita harus menggunakan kaidah rasional umum dan hukum yg bisa diterima semua orang, karena tidak semua orang mempunyai kacamata yg sama dgn kita..
Dengan pengertian ini memang tidak kontradiktif.
Terima kasih komentarnya…
Tentu tidak benar. Islam tidak anti nalar. Kalau Islam anti nalar, Islam tak akan menarik untuk diikuti. 🙂
Salam.
@Nirwan: Menarik diikuti bukan pertanda sesuai dengan nalar…
Terima kasih komentarnya..
😀
Amat menarik, menyimak diskusi anda dg sdr Ryono, sy bagai katak dalam tempurung yg menguping kegaduhan diluar, sehingga memacu gairah untuk keluar dari ketertempurungan. salam
@Dizal: Terima kasih, bila diskusi kami bisa menambah wawasan anda.
Apakah Islam anti nalar atau tidak sebenarnya relatif, dilihat dari mana dulu? Yang jelas kalau kita lihat dalam sejarah Islam pernah ada kelompok rasionalis yaitu kaum Mu'tazilah dan para filosof. Hanya saja karena ada ekses negatif dari pemikiran mereka akhirnya rasionalisme seolah ditabukan dalam tradisi pemikiran Islam. Akibatnya dalam pemikiran rasional akhirnya umat Islam tertinggal dari Barat. Adalah hal yang penting dewasa ini untuk menghidupkan kembali pemikiran rasional dalam Islam.
@Adif Sahab: Saya setuju. Rasionalisme Islam harus disuburkan untuk membentuk generasi muda yang menatap masa depan, bukan sekedar bernostalgia dengan kejayaan masa lalu.
kalau menurut saya, islam merupakan agama yang tidak anti nalar, karena, banyak sumber ilmu pengetahuan yang telah dibuktikan, dan sesuai dengan isi alqur’an, itulah kesemurnaan islam, yang mengajarkan kita untuk menuntut ilmu, dan di kisah nabi khidir dan musa a.s, juga, khidir a.s mengatakan, ilmu allah itu sangat luas. dan rasul pun menghimbau agar kita terus menuntut ilmu.
sedangkan hal nabi ibrahim, yang menyembelih dan meninggalkan istrinya di gurun, itu karena allah memerintah demikian, dan nabi ibrahim percaya bahwa allah akan melindungi iistrinya
terima kasih
@AAAD: kalimat anda yg terakhir cukup menguatkan tulisan saya: dan nabi ibrahim percaya bahwa allah akan melindungi iistrinya
Apakah Ibrahim tahu pasti bahwa anak/istrinya bisa selamat? Tidak
Apakah Allah sebelumnya memberi jaminan keselamatan anak/istrinya? Tidak
Secara nalar/logika Ibrahim tidak punya landasan untuk tindakannya.
Ibrahim melakukannya karena percaya Allah pasti memberi yg terbaik, seaneh apapun perintah itu.
Jadi bagi Ibrahim: percaya letaknya diatas nalar, seabsurd apapun yg dikatakan kepercayaan itu.
Dan kita diperintahkan mencontohnya.
Benarkah Allah serius dg perintah-Nya dg menyuruh Ibrahim membunuh anaknya sendiri?? Tidak ada ceritanya Ibrahim membunuh anaknya, krn Allah hanya mencobainya. Jdi substansinya satu saja, PEMBUNUHAN ITU TIDAK PERNAH ADA TERJADI, KRN SMUA SUDAH ADA DLM RENCANA ALLAH.. 😉
@Chillin: Ibrahim percaya Allah, karena yakin tidak akan ada maksud buruk dari Allah. Dengan kepercayaan itu Ibrahim melaksanakan apapun perintah Allah, seaneh apapun.
Kita diperintahkan meniru Ibrahim.
Problemnya: Ibrahim menerima perintah langsung dari Allah, sedangkan kita tidak. Tidak ada yg berhak berkata atas nama Allah selain Nabi, sealim apapun dia.
Sealim apapun dia?? Setuju, karena kita bukan nabi, hanya manusia biasa dan tidak ada satu manusiapun di dunia ini yg tak berdosa sealim apapun dia. Manusia hanya mampu menafsirkan, hidup itu bagaimana kita menafsirkannya, entah itu benar atau tidak kita semua tidak ada yang benar2 mengetahuinya. Hanya satu kebenaran yg saya tahu dan pasti itu benar adalah bahwa kebenaran hanya milik Allah, dan Allah Maha Mengetahui Segalanya 😉
Assalamualaikum.
Menariksekali, luarbiasa pemikirannya, kita bisa berdialog dengan nyaman.
Ijinkanlah kami bergabung, karena apa yang ada dibenaku sudah tercurah dengan baik dan disajikan dengan luarbiasa oleh mas judhiarto.
Saat ini aku masih muslim dengan Allah yang ada dinuraniku, seperti kata Aisyah aku akan mengikuti Allahnya Ibrahim kalau lagi sebel ama nabi, dan berAllahnya Muhammad kalau lagi sayang ama Muhammad.
Jadi kalau aku lagi bergaul ama masyarakat yaaa ikutlah, tapi kalau lagi sendirian, merenung maka aku berAllah seperti nalarku memberikan penjelasannya di sanubariku.
Bravo, teruskan massss
Terimakasih wassalam
H. Bebey
@H. Bebey: bagi saya keajaiban hukum2 semesta ini memperkuat keyakinan saya pada adanya Allah.
Akan tetapi saya telah kehilangan sakralitas pada agama-2 yang ada.
Bagi saya agama adalah hasil proses budaya manusia, unsur2nya yg membantu kemajuan kemanusiaan harus kita pertahankan, sedangkan unsur-2 yg tidak sesuai lagi dgn kemanusiaan harus kita ubah atau tinggalkan.
Beriman kepada Tuhan tidak sama dengan beragama, Beriman dengan tuhan adalah Tabur Tuai
Assalamualaikum
Aku hampir tiap malam suka tahajud, merenung dan bersilogisme mengutakngutik premis minor. premis mayor, dan mencari kesimpulan, diantaranya apakah kemelut dalam beragama itu adalah merupakan pikiran manusia yang membesarbesarkan/mengagungagungkan tanpa dapat menempatkan nalar secara baik dan benar, wkwkwkwk
Seperti contoh, premis mayor nya adalah Allah SWT itu pencipta semesta alam, itu sesuatu wujud yang belum bisa dipikirkan, padahal yang digembargemborkan adalah yang menyangkut “bilangan i ” itu, yang bertugas membantu mengeluarkan nuraninya beliau, sehingga ujungujungnya menjadi kitab suci yang diagungagungkan. Padahal ada lagi istilah al Qur’an basah yaitu hukum alam yang ada di bumi dan langit.
Apa premis minornya, yaa itu tadi konsep yang dikemukakan dalam diskusi kita kali ini, misalnya nabi Ibrahim seorang brahmana yang bernalar bahwa sebenarnya agama itu bentuknya tauhid, dengan demikian ilmu agama beliau sangat luarbiasa, dimana beliau bisa berdialog langsung dengan Allah walaupun dalam mimpi, yang diyakini betul adanya oleh penganutnya dijaman sekarang ini. Jadi kesimpulan dari silogisme ini adalah kalau kita hidup dijaman sekarang ini, dimana untuk tempat bertanya tidak ada lagi (nabi baru), maka kita bertanya pada siapa, yaa ke nurani kitalah, cuma memang susah sekali mendapatkan jawaban demikian tepat, karena itu bukan jawaban dari Allah SWT sebenarnya, walaupun katanya itu berdasarkan kitab suci. Cerita itu hanya sekadar percaya, bolehhlah, tapi kalau kita menghadapi dunia, yaa kita harus memakai akal agar mempunyai kedudukan yang terbaik sesuai dengan kondisi dirinya, dan ujungujungnya bersukur…. hehhhheeeee
awssalam
Singkat saja, Islam lebih mendahulukan akal kemudian diikuti dengan iman.
@YaniLeviathan Ahmad: terima kasih atas keyakinannya.
Singkat, padat dan tanpa argumen nalar. Sangat sesuai dengan gambaran artikel ini.
hukum itu memang ada yang bisa dinalarkan dan ada yang tidak, misalnya, ketika kita buang angin, maka wudhu kita rusak, klo wudhu maka yg kita basuh adalah anggota wudhu, dan (maaf) pantat bukan termasuk anggota wudhu,, kenapa pantat yang melakukan “kesalahan” tidak dibasuh? jadinya klo mau dinalarkan dak bakalan ketemu,, kenapa gerakan sholat kita harus “begini?” itu semua karena allah yg memerintahkan, dan Rasulullah yang mengajarkan, kita menjalankan suatu hukum karena itu adalah perintah allah, dan kalau allah sudah memerintahkan maka itu pasti baik, karena baik menurut ukuran kita belum tentu baik dalam kacamata allah, karena kita masih terhijab dengan masa depan..
@Muslimah: kalau urusannya dengan diri sendiri atau hanya dengan Allah, gak masalah ada aturan yang gak masuk akal, toh yg jalankan diri kita sendiri, terserah kita.
Tapi kalau menyangkut kepentingan orang lain, nalar harus lebih utama. Mau contoh? lihat saja di Arab Saudi atau Afgan era Taliban:
Apakah mereka tanpa dalil? tidak justru mereka terobsesi dengan dalil agama. Segala sesuatu bagi mereka harus berdasar Qur’an dan Hadits. Tapi lihat masyarakat aneh yg dihasilkannya…
bagaimna anda begitu dangkal memandang syariat islam?
dalil mana yang mengatakan wanita tidak boleh protes ketika suami nikah lagi?(wanita boleh protes bahkan minta cerai, tergantung bagaimana kaum pria meyakinkan istri)
kenapa kesaksian wanita setengah (karena secara psikologis wanita lebih labi), anda pernah liat orang kesurupan? kenapa kebanyakan patra wanita.
begitu jg dengan masalah waris, kenapa wanita dapat jatah 1/2, kerana jatah waris wanita hanya untuk dirinya sendiri, kalo pria untuk istri dan anak2x jg( 1 bagian untuk anak jg istri). kl anda faham gono gini, jatah waris wanita mutlak milik si wanita.
dalam rumah tangga, kl istri merasa g da kecocokan jg bisa mengadukan cerai. pendapat suami jg tidak mutlak, MUTLAK kalo sesuai syariat(tidak durhaka kepada Allah dan rosulx).
Dalil mana yang menyebutkan suami boleh memukul istrinya? Suami memang imam bagi istri dan anak2x. kl bodoh, mana bisa mendidik. Apa yang jadi patokan seseorang itu bodoh menurut anda?
@Cak Pin: terima kasih untuk ikut berkomentar, untuk pendapat anda:
* dalil mana yang mengatakan wanita tidak boleh protes ketika suami nikah lagi?
Dalam syariat, suami boleh kawin lagi tanpa perlu ijin istri sebelumnya. Dalam UU perkawinan Indonesia, proses tersebut dipersulit.
* kenapa kesaksian wanita setengah (karena secara psikologis wanita lebih labi)
Ini bias budaya, yang menempatkan wanita secara umum tidak terdidik (bodoh) dibanding pria (ingat Taliban yang melarang wanita sekolah). Anggapan ini secara perlahan menjadi tidak valid dinegara modern.
* dalam rumah tangga, kl istri merasa g da kecocokan jg bisa mengadukan cerai
Dalam syariat, istri boleh meminta cerai, akan tetapi perceraian baru terjadi jika suami menyetujui permintaan itu. Sedangkan talak dari suami bisa terjadi tanpa butuh persetujuan istri. Dalam UU perkawinan Indonesia, proses tersebut dimodifikasi sehingga hakim yg menentukan apakah perceraian bisa terjadi atas permintaan istri tanpa ijin suami.
* Dalil mana yang menyebutkan suami boleh memukul istrinya?
Di Qur’an:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An-Nisaa’: 34)
Menurut Qur’an, hanya dengan dasar khawatir (curiga) tanpa perlu pembuktian, seorang suami boleh pukul istrinya.
artikel mas judhianto, semakin menguatkan keimanan saya terhadap allah,..selama ini sy sllu hidup dalam ketakutan karena dosa2..hidup tanpa harapan krn perbuatan2…saya jadi bersemangat lagi dan mempunyai harapan lg menuju allah,.artikel ini telah membuka dan menyingkap rahasia2 yg selama ini ada dalam pikiranku dan itu sungguh sangat menganggu..trims atas artikel2nya..semoga allah melimpahkan rahmat dan hidayah bagi kita semua.dan kita termasuk dalam orang2 yg dirahmatinya..amiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnn.
@Jhonny III: alhamdulillah..
selama yang bicara panca indra dan referensi nya memori otak ya akan ramai,coba selami ke dalam diri sendiri,kenali dirimu sendiri baru kamu akan kenal akan yang maha besar.maka akan damai dunia ini .
@Nor: anda rupanya sepakat dengan judul tulisan saya.
Jika iman itu berarti damai, maka cara anda mungkin bisa berhasil, yaitu tinggalkan panca indra, memory otak dan bahkan nalar anda. Cukup anda menyelami diri untuk menguatkan tekad untuk taat dan patuh tanpa bertanya.
Tanpa menggunakan nalar, perintah paling absurd dan konyol akan bisa anda jalankan dengan tenang dan penuh kedamaian, karena anda tidak akan pernah menanyakannya.
Saya tidak setuju dengan pendapat anda, tapi bukankah tiap orang boleh berpendapat?
Terima kasih.
tidak begitu maksud sy gan.sy salah satu pecinta discoveri chanel & national geografi ,sy juga sangat apresiasi dgn artikel anda.maksud sy ramai,ketika scient yg pakai nalar di komentari oleh orang 2 yang berbasis dogma 2.yg sebahagian sudah perlu reorientasi .para pencari kebenaran menempuh 2 jalan. jln pertama memakai scient(nalar) jalan ke dua mistik.para scientifik dan para mistikus,menggali sumur di tanah yang berbeda,asal menggalinya tidak tanggung ,keduanya akan ketemu air kebenaran yg sama,karena kebenaran satu adanya.kalau pembenaran banyak…..thank gan.sy tunggu artikel 2 update.
@Noer: masalahnya, secara tradisional kita diajarkan klaim bahwa agama meliputi segala aspek kehidupan.
Ketika segala sesuatu di luar agama sudah berkembang pesat, klaim tersebut menjadi gugur.
Agama terlihat sebagai sistem sok tahu dan tak kompeten, manakala dipakai sebagai rujukan sains, sosial, ekonomi atau lainnya.
Salam, Mas Judhianto.
Terima kasih atas artikel yang menegaskan garis pemisah antara subyektivitas manusia (akal, nurani, dsb.) dan subyektivitas Tuhan (wahyu) serta sikap terhadap keduanya. Saya pikir Mas Judhianto benar, bahwa inti dari taqwa adalah ketundukan. Hanya saja, Anda nampak tidak terlalu menyukainya, dan lebih suka menggunakan pertimbangan sendiri dalam memutuskan suatu perkara.
Pertentangan antara agama vs nalar, atau wahyu vs akal, menurut saya adalah niscaya. Saya percaya agama memang tidak rasional dan tidak perlu dirasionalisasi. Justru rasionalisasi akan membuat agama menjadi berada di bawah nalar. Yang dimenangkan adalah subyektivitas manusia. Humanisme. Anthroposentrisme. Manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Dengan kata lain, Manusia adalah tuhan (dan karenanya ditulis dengan “M” besar dan “t” kecil).
Saya sendiri juga percaya bahwa inti dari beragama adalah percaya. Percaya pada yang tak masuk akal itu. Percaya pada yang belum kita lihat, tidak bisa kita nalar dengan apapun. Hal lain yang saya percaya adalah bahwa sesuatu tak perlu jadi rasional untuk jadi benar. Akal adalah alat untuk menjelaskan realitas ke dalam kata-kata(atau rumus matematika), karena itu pasti sifatnya reduktif. Selalu ada yang tak terjelaskan dalam setiap penjelasan.
Akal bersifat subyektif dan berubah bersama zaman. Hal-hal yang dulu dianggap tak masuk akal kemudian menjadi masuk akal. Bayangkan saja kita kembali ke abad pertengahan dan ceritakan pada mereka tentang internet.
Begitu pula dengan ‘nurani’. Ini malah lebih sulit lagi, karena, bagaimana kita bisa memastikan yang bicara adalah ‘nurani’ kita yang murni/fitrah? Apa buktinya itu bukan hawa nafsu? Bagaimana membedakan suara hati dan dorongan hawa nafsu? Apa kriterianya? Dan bagaimana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bukan hasil konstruksi sosial?
Bagaimana pula kita membebaskan diri dari bahasa sebagai alat menjelaskan realitas? Saya rasa Anda akan sepakat dengan saya bahwa bahasa membentuk cara kita melihat realitas. Realitas direpresentasikan melalui bahasa. Dan siapa yang menguasai bahasa akan menguasai pula cara merepresentasikan sesuatu. Representasi tersebut pada gilirannya akan memengaruhi sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Tidak ada bahasa yang netral, karena setiap kata selalu berhubungan (diasosiasikan) dengan kata yang lain, dan jaringan itulah yang membentuk makna.
Izinkan saya untuk membongkar konstruksi yang Anda bangun melalui beberapa kalimat di atas, tepatnya kalimat ini:
“setan membangunkan nalarnya… dan nurainya”
Ini bukanlah kalimat yang netral. Dalam kalimat itu (dan beberapa paragraf selanjutnya), Anda sebenarnya sedang menguatkan presuposisi bahwa yang dibisikkan setan adalah hal yang bersifat fitrah, adalah nurani, adalah hal yang suci, manusiawi. Itu artinya, di saat yang sama, Anda juga sedang membangun argumen bahwa tindakan Ibrahim adalah nir-nalar, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan fitrah manusia. Jadi, disadari atau tidak, Anda sedang menghubungkan hal-hal untuk menjadi satu kesatuan makna. Anda sedang membangun wacana, sekali lagi, di atas presuposisi: yang dibisikkan setan adalah nalar dan nurani.
Yang tidak hadir di sini adalah pembelaan atas sikap yang Anda kritik tersebut. Maka izinkan saya melakukannya.
Menurut saya, perbedaan antara pandangan Anda dan saya(dan umat beragama pada umumnya) berasal dari cara memandang hakikat manusia. Umat Islam memandang manusia sebagai hamba Allah. Hamba. Pelayan. Budak. Inilah hakikat manusia. Kata ‘budak’ mungkin tidak terlalu enak didengar, tapi ini adalah realitas yang diamini oleh kaum Muslimin. Dari mana kami tahu ini? Tuhan kami yang memberitahukannya. Kami bisa saja berusaha membuktikannya dengan berbagai macam cara, tapi itu tidak penting, karena toh inti agama bukanlah pembuktian, melainkan kepercayaan. Kalaupun pembuktian itu berhasil juga orang bebas untuk tidak percaya. Seorang Muslim, yang secara harfiah berarti ‘yang berserah diri’, dengan senang hati menjadi budak Allah, terikat dengan segala aturan-Nya. Apakah ini membingungkan Anda?
Kebebasan, menurut saya, terlalu dipandang tinggi (overrated). Kebebasan, bagi saya, hanyalah kata lain untuk “tidak tahu tujuan hidup” dan “tidak tau mau melakukan apa”. Dalam perasaan bebas itu, yang muncul adalah pikiran “aku bisa melakukan apa saja” dengan tambahan “asal tidak mengganggu orang lain”. Tapi mereka yang telah menyadari tujuan hidupnya, tidak bebas. Ia terikat dengan tujuannya sendiri, dengan aturan-aturan yang memang harus ia penuhi agar ia dapat mencapai tujuannya. Seorang Muslim sejati adalah yang seperti ini. Tidak bebas, tapi bahagia. Kebebasan, pada akhirnya, hanyalah state of mind. Ia tidak ada dimanapun, sekadar perasaan bebas, perasaan lengkap. Ia tidak esensial dan bukan prasyarat untuk kebahagiaan.
Anda bilang, model beriman seperti Nabi Ibrahim a.s. menumpulkan segala nalar kritis. Pertanyaan saya, mana bisa Tuhan dikritisi? Tuhan itu… Tuhan. Dia adalah Yang Mutlak. Dialah ukuran dari segala kebenaran. Ketika subyektivitas manusia yang dijadikan ukuran kebenaran, pada titik itulah Manusia berusaha menjadi tuhan. Ia telah sombong, sebagaimana sombongnya iblis hingga ia dikeluarkan dari surga.
Katakanlah, kita sebagai manusia, ‘bisa’ mengkritisi Tuhan ‘dari bawah sini’. Mungkin saja kita tak suka dengan aturan-aturan-Nya, kemudian protes, dan memutuskan untuk menggunakan nalar dan nurani kita untuk membuat aturan sendiri. Bisakah itu dilakukan? Bisa. Bisa banget. Tapi, setelah itu apa? Oke, manusia jadi berkuasa di dunia. Kemanusiaan menjadi norma tertinggi. Tapi, setelah itu apa? Setelah mati kita kemana? Apakah tubuh kembali ke tanah, dan kesadaran kita ‘bersatu dengan kosmos’? Sungguh indah dan majinatif sekali. Apakah kita tak akan hidup lagi? Memang, kita tak pernah melihat orang kembali dari kematian, tapi bagaimana jika ada informasi yang menyatakan demikian? Sangat tidak logis, memang, tapi ternyata informasi ini disampaikan dengan bahasa yang menunjukkan keyakinan. Dia bukan metafora, bukan simbolisme, dia informasi yang lugas. Terlebih lagi, penyampainya ternyata adalah orang yang seumur hidupnya jujur dan dikenal sebagai orang kepercayaan. Apakah Anda akan mengabaikannya? Yah, itu pilihan Anda sih.
Saya percaya, sikap ‘kritis’ dan menjadikan manusia sebagai ‘pusat alam semesta’ dapat memberikan perasaan bebas. Tapi sikap seperti itu, disadari atau tidak, dibangun di atas pemikiran dunia sebagai tujuan akhir, dan tidak ada kehidupan lain setelah itu. Adapun iman Islam, adalah percaya pada kiamat yang akan datang dengan tiba-tiba (bukan perlahan-lahan), pada hari manusia dibangkitkan kembali (sekali lagi, ini bukan metafora), serta pada surga dan neraka (ini juga bukan perlambang dari kebahagiaan dan kesengsaraan).
Mengambil iman tertentu pada hari ini membutuhkan keberanian. Keberanian yang sama dengan keberanian-Nya Ibrahim. Keberanian untuk percaya pada yang tak bisa dinalar, pada yang ghaib. Menjadi orang beragama yang lurus menjadi semakin sulit karena ‘konstruksi kebenaran’ semakin bergeser, dari iman menuju nalar (modernisme), dan kemudian menuju hawa nafsu serta kesenangan untuk bermain (postmodernisme).
Jadi, kalau anda bilang orang Islam tidak kritis pada agamanya sendiri, saya bilang, memangnya kenapa? Menurut saya, sikap ‘kritis’ seperti yang Anda maksudkan sebenarnya hanyalah kata lain untuk ‘mengunggulkan subyektivitas manusia’. Apa buktinya subyektivitas itu tidak independen dari konstruksi sosial? Dia tidak lain hanyalah penuhanan atas manusia, tujuannya adalah dunia, mengabaikan akhirat yang dianggap hanya angan-angan, mengabaikan Allah sebagai Tuhan. Tidakkah demikian?
p.s: Islam sebenarnya punya cara sendiri untuk menyeleksi sumber hukum, misalnya kritik sanad dan matan hadits. Hanya saja, seperti kata Ust. Felix Siauw, akal tidak digunakan untuk membuat hukum, melainkan untuk memahami hukum.
p.s2: Maaf kalau kepanjangan. Hehe…
@Harun_Bey: maaf sebelumnya, karena baru sempat membalas sekarang.
Ada konsep dasar yang mungkin berbeda antara kita. Agama bagi saya bagian dari subyektivitas manusia, bukan berasal dari sesuatu yang eksternal (Tuhan misalnya).
Tiap manusia terlahir dengan kompleks bawah sadar yang memiliki idealisasi tentang manusia, dan ini tertempa secara evolusi jutaan tahun. Representasi kompleks bawah sadar pada tiap orang adalah nurani yang berinteraksi melalui simbol-simbol dengan kesadaran kita, tanpa kata-kata, tanpa logika. Tidak semua orang mampu mendengarkan dan menerjemahkan nurani, dan untuk itulah peradaban manusia menciptakan agama.
Agama adalah hasil budaya manusia untuk mengangkat kompleks bawah sadar manusia yang tanpa kata dan mengawinkan dengan konteks yang ada, sehingga bisa disampaikan dan di reproduksi kepada orang lain. Tuhan, wahyu, alam ghaib dan logika agama hanyalah sarana untuk menyampaikan ayat-ayat nurani.
Nurani adalah relatif dan tentu begitu pula turunannya yaitu agama. Tentang bagaimana menentukan kebenaran bila nurani dan agama relatif? ini seperti kebebasan kita yang dibatasi hanya oleh kebebasan orang lain. Nurani kita benar, namun bila ternyata berbenturan dengan kebenaran orang lain, kita harus menegosiasikan batasnya, dan salah satu perangkat untuk menilainya adalah nalar.
Terima kasih sudah membaca dan membalas komentar superpanjang dari saya. Dan terima kasih yang lebih lagi karena telah menarik batas yang jelas tentang perbedaan pandangan saya dan Anda 🙂
Saya seringkali merasa evolusi nampak seperti penjelasan hand waving alias argumentasi ‘pamungkas’ yang seolah-olah cukup menjelaskan segalanya. Ini membuat teori evolusi jadi tidak jauh beda dengan argumentasi God of the gap’.
Dalam banyak kasus, memang agama adalah produk budaya (dan karenanya sejajar dengan seni). Tapi saya pikir penjelasan bahwa entitas gaib hanyalah sarana untuk menyampaikan ‘ayat-ayat nurani’ bukanlah satu-satunya penjelasan yang mungkin. Penjelasan tersebut hanya (nampak)benar ketika kita memilih untuk melihat dunia dalam kacamata naturalisme/materialisme. Setiap orang beragama (kecuali, mungkin, seorang Buddhis), saya pikir, adalah seorang supernaturalis, yang percaya pada hal-hal gaib, pada yang adikodrati, sebagai cara menjelaskan/menalar dunia. Ini tidak berarti ia menganggap sains salah, hanya saja sains bukanlah penjelasan yang paling benar.
Pada akhirnya, memang saya tidak bisa membuktikan secara empiris maupun rasional tentang kebenaran agama saya, bahwa Tuhan adalah entitas di luar alam semesta ini, bahwa kita diciptakan oleh entitas yang hidup dan berkehendak (Saya tidak menerima konsep yang menyatakan bahwa Tuhan sejatinya impersonal. Tuhan saya menyatakan bahwa Dia personal, dan percaya yang sebaliknya berarti saya mendahulukan akal saya ketimbang firman-Nya, atau meletakkan firman-Nya di bawah nalar saya). Tapi saya pikir poin dari beragama bukanlah membuktikan agama mana yang benar, melainkan menghidupi agama yang dianut dengan sungguh-sungguh. Artinya, ya seperti Ibrahim itu. Atau seperti Abu Bakar yang percaya kisah Isra’ Mi’raj tanpa menginterpretasikannya ke dalam sesuatu yang lain.
Benturan dengan kebenaran orang lain, menurut saya, merupakan keniscayaan. Karena itu konflik, betapapun kita tidak menginginkannya, juga adalah niscaya, dan bukan sesuatu yang harus dihindari dengan mengorbankan keyakinan. Saya pikir, bagi seseorang yang meyakini akan hal yang lebih besar ketimbang dirinya, berkorban untuk apa yang diyakininya adalah hal yang indah.
@Harun_Bey: kita hidup di era dimana akal sehat tidak lagi memadai untuk menjelaskan alam ini. Banyak hal yang diluar akal sehat tapi terbukti di alam ini yang bisa dijelaskan dengan sains, misalkan waktu yang relatif, materi yang muncul dari ketiadaan akibat quantum fluctuation. Hal yang tidak masuk akal sehat ini nyata (bisa diukur & diuji – bedakan dengan pocong yg tak teruji), dan hanya bisa dipahami lewat sains.
Saya pikir evolusi semakin lama semakin kuat, dan dapat dilihat dari fakta-fakta yang terus mengkonfirmasinya.
Mengenai Tuhan, saya menginderanya sebagai pengalaman pribadi saat dipeluk anak saya, diperhatikan istri saya, menikmati musik, melihat bintang-bintang atau saat merasa menyatu dengan dunia ini.
Saya tak lagi tahu entah dimana letak Tuhan dalam dunia, hidup saya atau definisinya. Agama memang mengenalkan Tuhan pada saya, akan tetapi saat ini tak lagi memadai bagi saya untuk menggambarkan Tuhan.
Tuhan ada bagi saya, dan saya tak perduli apakah Ia personal atau impersonal, apakah Ia ada secara obyektif atau hanya subyektifitas hasil proyeksi nurani saya.
Mengalami Tuhan dalam hidup penting bagi saya, untuk itu ritual ibadah penting. Bagi saya, itu cara yang saya kenal untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dan menghadirkannya dalam hidup saya. Saya tak perduli, apakah perasaan terhubung itu nyata atau hanya prasangka saya. Ini wilayah subyektivitas saya.
Jika memang islam anti nalar, maka tidak mungkin agama itu bertahan hingga 14 abad. Banyak agam yang benar – benar anti nlar hanya bertahan sebentar, cobalihat agama zoroaster
@Althaf: Islam jauh lebih muda dari Kristen, Buddha, Yahudi, Hindu dan bahkan ramalan Zodiak, saya tidak yakin anda konsisten dengan mengatakan semua agama tersebut dan ramalan Zodiak sangat bernalar.
@Bro judhi:ISLAM ANTI NALAR?wah menurut saya sih tidak ya.Tuhan Maha besar itu nalar sekali.Di suruh sholat itu nalar sekali.DISURUH MENSUCIKAN TUHAN DAN MEMBESARKAN TUHAN DIWAKTU PAGI DAN PETANG,lho kok mulai gak nalar ya?bukankah yang perlu disucikan itu pikiran manusia agar bisa berpikir dengan baik.Bukankah Tuhan sudah Maha Besar kok mintak dibesarkan?Bukankah yang ingin punya nama basar itu manusia?Lalu siapa ya yang numpang lewat ingin dapat nama besar.Apa kata TUHAN:AKU INI SUDAH MAHA BESAR DAN MAHA SUCI GAK PERLU KAU BESARKAN DAN GAK PERLU KAU SUCIKAN.Emangnya aku ini pakaian bekas apa?Sucikan saja pikiranmu dan besarkanlah namamu agar engkau jadi orang terkenal seperti…………hahahaha
@Andik: he.. he.. memang kalau dipandang dari rasionalitas, ya memang buat apa Tuhan yang Maha segalanya minta disembah-sembah dan dipuja-puja manusia. Gak bisa nambah hebat, nambah suci, lha wong sudah mentok sempurnanya.
Tapi tentunya kita setuju bahwa manusia adalah mahluk yang butuh tujuan pada hidupnya. Jika alam hanya memberi tujuan hidup sebatas bertahan hidup, berkembang biak lalu mati; maka manusia menciptakan tujuan hidup yang lebih heroik, dalam dan layak untuk diperjuangkan dengan segala ongkos. Maka ada Tuhan, akhirat, jalan lurus, mengabdi Tuhan, memuja Tuhan.
Islam (atau segala agama lainnya) bukanlah untuk Tuhan. Tuhan (bila ada) gak butuh apapun dari alam dan manusia ini.
Itu hanyalah alat manusia memberi makna atau tujuan hidupnya, seabsurd apapun yang dinamakan agama dan ritualnya.
@Judhianto:Agama adalah alat manusia untuk memberi makna atau tujuan hidup.Saya sangat setuju dengan pernyataan anda.Menurut pendapat saya agama haruslah mempunyai alur yang jelas dan pasti dalam dogma dogmanya,agar umatnya punya pedoman yang pasti.Melihat fenomena yang terjadi pada umat islam dengan berbagai aliran dan berbagai paham,apakah islam ini punya alur yang jelas?,menurut saya islam itu membingungkan,Al Quran itu membingungkan, banyak ayat yang kontroversi,banyak EGO yang masuk dalam Quran.Masalah umat ini sebenarnya ada pada kitab sucinya.Kitab suci itu nggak harus berbahasa yang berbelit belit,tapi sederhana dan mudah dimengerti.Bagaimana menurut anda?
@Andik: semua agama lahir pada suatu budaya dan jaman tertentu. Ia sangat logis dan sesuai dengan budaya dan jaman dimana ia dilahirkan. Di jaman berbeda seperti sekarang, tentu ajaran asli semua agama bakal terasa gak klop dengan kehidupan nyata yang dihadapi manusia modern.
Kalau pakai ukuran barang jualan, agama mulai memasuki masa kadaluarsanya. Di masa lalu ini saatnya Tuhan munculkan nabi baru, agama baru. Tapi di masa kini, dimana masyarakat sudah tak se homogen dulu, rasanya hasil produksi masal baru seperti agama baru sudah gak menarik lagi.
Mungkin kita bisa memilih:
@Judhianto:Saya masih berlabel islam,saya yakin anda juga masih berlabel islam.Saya dan anda sama sama menginginkan kemajuan umat islam,karena itu kita menunjukkan ayat ayat Quran yang sudah tidak relevan.Tetapi niat baik kita justru dibalas dengan segala macam umpatan dan hinaan oleh para fundamentalis.Ya sudahlah kita hanya bisa berserah pada waktu,biarlah waktu yang menentukan segalanya,yang penting kita sudah beritikat baik.Semoga mereka diluar sana mendapat hidayah AMIN……
Mas andik saya tak buat gampang aja, siapa yang mau pakai aturan 1500th yang lalu silahkan, ada yang mau pakai aturan abad 20 silahkan. Tapi sayangnya aturan yang 1500 tidak bisa bersaing, setiap kalah saing, selalu dan pasti ada ancaman dan pengkafiran ha..ha…selalu menggunakan pasal karetnya tuk berkelit bahwa aturannya masih relefan dengan abad 20 dengan tafsiran2nya meskipun gak nalar. Karena setiap nalar dipakai ada truf “tidak bisa pakai logika kitab suci itu” kebenaran mutlak bala…bla bala
Pak Harun Judhianto, saya mau tahu pendapat jenengan tentang perkembangan NU dan Muhammadiyah di Indonesia khususnya tentang ke Islaman di Indonesia. Saya melihat setelah era reformasi, banyak bermunculan ormas2 Islam baru yg muncul justru sering menimbulkan gesekan2 antar umat muslim dan non muslim.
Terus terang saya penganggum NU dan Muhammadiyah, dan boleh dikatakan saya setengah mempraktekkan Islam cara NU dan setengah mempraktekkan Islam cara Muhammadiyah, dan hampir kebanyakan muslim di Indonesia seperti saya. contoh ekstrem istri saya seorang NU tulen paling demen ikut shalawatan habib syech, tapi dulu sekolahnya di SMA Muhammadiyah, bahkan sewaktu melahirkan anak kami, dia memilih bersalin di RS PKU Muhammadiyah. Artinya secara tidak sadar muslim di Indonesia hidup dengan cara NU dan Muhammadiyah secara bersamaan. Tapi kebanyakan mereka juga ga mau dianggap orang NU atau Muhammadiyah, mereka mengaku Islam tanpa embel2, tapi mereka lupa sejarah NU dan Muhammadiyah mewarnai kebudayaan keIslaman di Indonesia hingga sekarang
Tapi beberapa dasawarsa terakhir, saya miris dengan seringnya konflik yg menimbulkan gesekan antar umat muslim dan non muslim sebagai akibat dari banyak munculnya ormas2 baru yg merasa suci sendiri, sperti FPI, ISIS dan lain2. Saya berharap organisasi2 tsb bubar aja, bikin citra Islam menjadi buruk
@Satria: secara umum Islam masuk Indonesia (terutama Jawa) melalui jalur budaya. Wali Songo memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Jawa, sehingga bisa diterima bukan sebagai sesuatu yang asing. Islam model ini dengan rileks menerima berbagai pengaruh budaya dari manapun selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Sementara itu dari luar kita mendapati gerakan Wahabi yang didukung dana Arab Saudi mengkampanyekan gerakan Islam yang mereka anggap paling murni. Bagi mereka muslim sejati adalah muslim yang hidup dengan budaya dan pemikiran ala Nabi Muhammad yang notabene adalah manusia dari dengan setting Arab abad ke 7. Karena Islam sudah sempurna, maka tak perlu lagi ada inovasi pemikiran atau ijtihad, pintu ijtihad sudah ditutup.
Dengan ideologi ini, semua yang bukan dari era Nabi adalah bid’ah dan sesat. Jadi yang termasuk sesat adalah kebebasan berpikir, kesetaraan manusia, hak azazi manusia, demokrasi, budaya barat, budaya lokal dan bahkan sumbangan intelektual dan budaya orang Islam sendiri yang terakumulasi sepanjang perjalanan sejarah.
Ideologi ini masuk lewat dana-dana melimpah timur tengah ke berbagai ormas Islam.
Saya berharap ideologi ini akan segera mendapat reaksi balik dari agresivitasnya. Dengan keterbukaan informasi, semua bisa melihat contoh hasil dari gerakan ini di Timur Tengah yang hanya menghasilkan teror dan kerusakan oleh ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram, Taliban. Di Indonesia kita juga melihat betapa fitnah, adu domba, pengkafiran orang lain dan bahkan teror bisa kita lihat dari organisasi macam FUI, FP, HTI, PKS.
Saya yakin nalar dan akal sehat akhirnya bakal memilih ideologi ramah seperti Islam Nusantara yang di kampanyekan NU dibandingkan Islam Pemarah ala wahabi.
Iya saya mengerti sejarah masuknya Islam ke Nusantara, tapi saya ingin menelaah perkembangan Islam di Indonesia dalam dewasa ini, saya melihat praktis semenjak era kolonial belanda, era kemerdekaan, era orde baru dan hingga kini, hanya ada 2 ormas Islam yg sangat dominan di masyarakat kita, yaitu NU dan Muhammadiyah, nah itulah pertanyaan yg ingin saya ketengahkan ke pak Judhianto, saya ingin fokus di spektrum tersebut, karena saya ini muslim awam yg sehari2 mempraktekkan Islam cara NU dan Muhammadiyah
Masalah Wahabi dan ormas Islam puritan lainnya saya juga paham sejarah mereka dan apa maksud mereka. Islam puritan ini di jaman kolonial kurang begitu berkembang, namun ketika era kemerdekaan, Islam puritan sempat muncul menjamur dimana2, seperti Hizbullah dll, bahkan mereka sempat ingin mendirikan negara DI/TII, namun kudeta itu berhasil digagalkan TNI
Masuk di era orde baru, Islam puritan benar2 sulit berkembang, analisa saya kemungkinan rezim pak Harto memasukkan mereka dalam LDII/Lemkari supaya lebih mudah diawasi, itu baru perikiraan saya, bisa saja salah, saya kurang mafhum poltik masa lalu
Di era reformasi, kebebasan berekspresi mulai didengungkan, praktis2 ormas2 Islam puritan tsb masuk kembali ke Indonesia dan sekarang kita rasakan efeknya, dimana terjadi konflik di Ambon, Poso dan tempat2 lain atas nama agama, menangis rasanya….
dari kondisi2 tersebut, saya rasa (mungkin saya salah) bahwa Islam yg cocok bagi masyarakat Indonesia adalah Islam gaya NU dan Muhammadiyah, yg terbukti masih bertahan hingga kini seabad lamanya (itu fakta). Berangkat dari premis tersebut, dua organisasi ini sebenarnya sangat berbeda arah perjuangannya, berbeda perspektifnya, tapi kedua ormas, tetap seiring berjalan, hampir jarang melihat keduanya bertikai, padahal beda banget, tapi koq ya masyarakat awam bisa menyerap Islam dari kedua2nya
Saya bicara fakta apa adanya… saya yakin di lingkungan pak judhianto, masjidnya pasti ada orang NU dan Muhammadiyah, tapi bisa shalat bareng dan kultum bareng di Ramadhan. Intinya saya ingin tahu pendapat pak Judhi dalam melihat kedua organisasi ini dalam kiprahnya menciptakan kedamaian di Indonesia…
@Satria: sejauh in NU & Muhammadiyah memang paling cocok dengan karakter orang Indonesia, terbukti dengan bertahannya organisasi tesebut dalam waktu yang lama.
Gerakan fundamentalis Islam di sisi lain, umumnya berumur pendek, akan tetapi selalu ada. Pandangannya yang hitam-putih dan tanpa kompromi akan selalu menarik orang2 yg dalam proses mendalami agama, akan tetapi cepat ditinggalkan orang setelah wawasan orang tersebut bertambah dan mendapati bahwa realitas tidaklah sesederhana itu.
Apakah NU & Muhammadiyah akan selalu bisa bertahan? Sepertinya tidak. Kedua organisasi tersebut sangat dihidupi oleh pola hidup komunal yang punya interaksi erat di antara anggotanya; seperti pengajian, pesantren dan kegiatan sosial.
Kita akan memasuki era masyarakat perkotaan yang individual karena disibukkan oleh pekerjaan. Mobilitas yang tinggi juga mengurangi tumbuhnya ikatan komunal jangka panjang. Pesantren dan sekolah agama akan semakin tidak menarik karena tidak menjanjikan pencapaian materi. Dengan kondisi seperti itu, saya tidak yakin kedua ormas Islam tersebut tetap akan besar.
Justru itu yg saya takutkan pak… pernyataan pak Judhi : “Pesantren dan sekolah agama akan semakin tidak menarik karena tidak menjanjikan pencapaian materi”. Terus terang pernyataan pak judhi tsb sangat menakutkan bagi saya selaku orangtua bagi anak saya. Apabila semua orangtua berpikir bahwa sekolah favorit atau kuliah di kampus mentereng adalah jalan untuk mencapai “materi” alias tiket untuk dapatkan kerja, mau jadi apa bangsa ini…. apa mau bangsa ini menjadi bangsa hedonis.
Terus terang saya malah tertarik kelak akan memasukkan anak saya (masih balita) ke sekolah agama dan pesantren ketimbang ke sekolah negeri atau sekolah2 bertaraf Internasional. Saya tidak berharap banyak bahwa anak saya harus menjadi kaya raya, tapi saya ingin anak saya bisa menjadi anak yg mandiri,disiplin, menghormati orang tuanya serta paham ilmu agama. Menurut pendapat saya itu banyak ada di sekolah agama dan Pesantren. Saya merasakan sendiri perbedaannya pada kedua adik saya, yg satu sekolah agama dan yg satu sekolah negeri, amat beda sekali kemandiriannya dan juga kenakalan remajanya
Justru Boarding School ala pesantren akan tetap langgeng, jika kita memasuki era masyarakat perkotaan yg super sibuk. Sebagai contoh, kelak jika nanti anak saya memasuki usia SMP, saya sudah memprospek anak saya masuk pesantren. Karena saya yakin di usia 35-40an nanti, karir saya pasti akan menanjak dan sering pindah2 serta tambah sibuk dan sulit membagi waktu untuk perhatian kepada anak saya, maka dari itu ketimbang saya menitipkan anak saya ke mbahnya, mending saya masukin ke Pesantren, biar kelak dia menjadi pribadi yg mandiri dan disiplin. Karena saya sadar sebagai ortu tidak bisa mencurahkan waktu byk untuk anak saya.
Saya rasa faktor pendidikan komunal yg menjadi salah satu variabel bertahannya NU dan Muhammadiyah yg pak Judhi ketengahkan, justru saya rasa ke depan malah akan menambah langgengnya ormas tsb. Orang Indonesia pada umumnya saya rasa tetap menjadikan agama sebagai “jalan pelarian” di tengah kehidupan yg penuh dinamika. Saya melihatnya pada ayah saya. Dulu beliau sama sekali tidak bisa baca Quran, ga pernah shalat, dan suka judi. Tapi sejak kecil, saya diwajibkan ikut TPA, ikut remaja masjid dan kegiatan keagamaan lainnya. Seiring berjalannya waktu beliau malah belajar baca Quran pada saya dan malah sekarang beliau sangat alim sekali, saya sangat senang sekali sekarang beliau jadi pribadi yg lebih baik.
Pola parenting tsb saya rasa jamak terjadi di keluarga2 Indonesia lainnya. Banyak para orangtua2 di Indonesia yg merasa bahwa “anaknya harus lebih baik agamanya ketimbang orangtuanya” kemudian “Dulu saya memang saya rajanya maksiat, tetapi anak saya harus jadi hafiz quran”. Saya rasa pola pikir tersebut masih banyak di benak para ortu2 di Indonesia. Maka dari itu saya menganggap ormas seperti NU dan Muhammadiyah masih kita butuhkan hingga ke depan. Itu baru variabel pendidikan, belum variabel yg lain. Mohon maaf dlm hal ini saya agak berbeda dengan pak Judhi… “Islam masih menjadi nalar bagi pemeluknya”
@Satria: sukurlah kalau masih banyak orang yang ingin menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren atau sekolah agama.
Namun untuk bisa melihat pengaruhnya ke masa depan, kita harus melihatnya melalui kacamata statistik, yaitu
Jika yang ke pesantren dan sekolah agama mewakili jumlah yang cukup serta mencakup anak-anak berprestasi tinggi, maka kita tak perlu khawatir.
Kalo saya pribadi saya memandang boarding scholl ala pesantren atau sekolah agama sperti RA, MTS, MAN dll, itu lebih ke aspek ke pembentukan akhlak yg lebih disiplin, mandiri dan agamis.
kalo kita bicara pengaruh, ya tentunya kalo semakin banyak ortu yg memasukkan anaknya ke skolah agama ato pesantren, maka akan semakin banyak potensi anak cucu kita yg lebih disiplin dan mandiri dalam mengarungi hidup, ketimbang sekolah konvensional yg terlalu fokus ke akademik tapi kurang perhatian terhadap ilmu dlm menghadapi hidup. kebanyakan temen2 saya yg lulusan pesantren walau ortunya kaya raya, dia sanggup cuci/setrika pakaian sendiri, masak sendiri, pinter nukang, disiplin dan tentunya pengetahuan agama yg luas, tentunya saya pasti berharap punya anak yg demikian sehingga mampu mengarungi hidupnya dgn kemandirian tanpa brgantung terus sama ortunya.
Pak Judhi selalu bicara statistik… hehehe… ya saya ga punya, tapi saya tanya temen2 dari kemenag ngasi data ke
http://emispendis.kemenag.go.id/emis2014/emis_dh/dh2014/
ya saya lihat sih ada peningkatan jumlah sekolah agama. Kalo secara fisik lingkungan sekitar, di kabupaten saya, udah banyak berdiri SD-IT dan SMP -IT, dan minatnya cukup tinggi. Kalo dari sisi pesantren, sekarang lagi trend pesantren hafiz quran yg dipelopori Yusuf Mansyur. dan saya lihat sudah banyak berdiri, dan maaf sedikit riya’, beberapa hari yg lalu warga kami malah patungan sumbangan mendirikan pesantren hafizul quran, itu letaknya malah dekat kota besar
Lalu parameter prestasi saya rasa itu terlalu subyektif pak…. ga jamin orang yg berprestasi itu berhasil dalam hidupnya, tapi orang yg berjiwa keras dan mandirilah yg sukses dalam hidupnya. Maaf bagi saya kemajuan generasi suatu bangsa bukanlah terletak dari banyaknya anak2 yg berprestasi tapi justru anak2 yg mandiri, disiplin dan bertanggung jawab.
Sayangnya sekolah konvensional tidak menjawab tantangan tsb, tetapi terlalu berorientasi nilai akademik yg tinggi dan yg penting 100 % lulus, hingga akhirnya mehalalkan gurunya kasih bocoran UAN pada anak muridnya, itu FAKTA, dan mau jadi apa bangsa ini…??? Berprestasi tp jiwanya korup..
Bagi ortu2 yg “sadar”, hati nuraninya pasti akan beralih ke sekolah agama atau pesantren. Kita ga mau diribetkan kurikulum yg ga jelas atau buku paket yg gonta ganti, kita maunya anak kita kelak kalo udah gede udah bisa hidup mandiri dan paham ilmu agama… kalo masalah prestasi atau rejeki… itu urusan lain… yg penting anaknya sholeh, hormat pada orang tua berguna bagi Nusa dan Bangsa…. amin ya robbal alamin….
Tulisannya keren2 gan…aku membaca hampir semua tulisannya…hebat!
@Beni S: terima kasih mau ngubek-ubek di sini 🙂
jadi semakin haus, setelah membaca artiket bang @judianto. keep good work bang! salam.
Saya sangat sependapat dengan pak judhianto,
Tulisan ini belum menjelaskan jawaban bapak atas pertanyaan yang ada di judul
@Purgatory77: tulisan saya mengkonfirmasi bahwa memang bisa dikatakan Islam menuntut kepatuhan dan anti nalar, tapi itu bukan satu-satunya tafsir yang mungkin ada. 🙂
Kalo menurut saya Islam itu mutlak kepatuhan, tapi bukankah menalar juga termasuk dari kepatuhan yang diperintahkan di dalamnya juga. Kalo dari isi tulisan bapak sih saya menyimpulkan kepatuhan nomor satu, nalar baru nomor 2
@Purgatory77:
lah kan benar, kepatuhan itu mutlak, alias tidak bisa diganggu gugat, alias nomor satu — semua alternatif lain (seperti nalar dan nurani) menjadi nomor dua (atau nomor keseratus) jika berbenturan dengan tuntutan kepatuhan.