Manusia itu disebut sebagai Homo Religius, makhluk beragama, begitu yang pernah saya dapatkan dalam mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.

Mata kuliah ini wajib diajarkan dalam semua jurusan di perguruan tinggi di Indonesia. Jadi siapapun yang pernah kuliah pasti pernah mendengar bahwa manusia itu makhluk beragama (tentu kalau masih ingat).

Makhluk Beragama?

Secara sederhana maknanya adalah manusia di manapun berada selalu mempercayai adanya sesuatu yang sakral sebagai pusat yang tak bisa diganggu-gugat dan menjadi sumber segalanya.

Sumber segalanya?

Ya. Dan itu berarti sumber terhadap semua kenyataan di semesta ini, sumber segala makna hidup, dan sumber aturan hakiki yang mengatur hidup mereka.

Piramid di Mesir. Salah satu bukti kepercayaan manusia pada keberadaan kehidupan setelah mati dan kekuasaan para Dewa.

Masihkah relevan?

Tapi bukankah ada ateis yang jumlahnya meningkat? masih relevankah klaim Homo Religius?

Jika pusat yang sakral itu dibatasi pada Tuhan, Dewa-Dewi atau sosok supranatural lainnya, tentu munculnya generasi ateis dan yang tak percaya segala macam makhluk supranatural ini akan membuat klaim Homo Religius menjadi semacam omong kosong.

Akan tetapi, jika kita meninjau ulang definisi pusat yang sakral itu dengan kacamata yang lebih jernih, kita akan terkejut mendapati bahkan pada orang yang paling ateispun, mereka tetap makhluk religius, hanya pusat sakralnya saja yang tidak lagi diisi dengan Tuhan, Dewa atau makhluk supranatural seperti yang pernah kita kenal.

Dengan definisi ulang terhadap pusat sakral itu, kita akan bisa melihat bahwa peradaban manusia sudah meninggalkan satu jenis agama untuk menganut jenis agama yang lain serta menghadapi satu jenis agama baru lagi yang akan mulai muncul.

Jenis agama mana saja?

Saya akan mulai dengan agama yang sudah mulai kita tinggalkan, agama dengan Tuhan di pusat sakralnya, saya sebut Agama Tuhan.

Agama Tuhan, Agama Yang Kita Kenal

Semua jenis agama formal yang kita kenal saat ini masuk dalam kategori ini.

Pusat sakral agama ini adalah sosok supranatural. Bukan manusia, bukan hewan dan bukan apapun yang pernah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Pusat sakral itu bisa bernama Allah, Syiwa, Zeus, Marduk, Odin atau apapun panggilannya. Secara umum mereka disebut Tuhan atau Dewa.

Tuhan, Pusat Sakral

Dalam sejarah ada sekitar 3000 Tuhan atau Dewa yang disembah. Begitu seseorang memilih salah satu Tuhan atau Dewa sebagai sesembahannya, maka Tuhan atau Dewa sesembahannya akan menempati posisi sakral dalam hidupnya.

Sakral artinya dilindungi dari segala pertanyaan tentang eksistensinya.

Kepada Tuhan atau Dewa lain yang tidak disembahnya, mungkin orang itu akan menanyakan pertanyaan semacam ini: “Kok bisa muncul begitu saja, darimana logikanya?”, “Maha Kuasa? apakah juga berkuasa membuat batu yang tak kuasa diangkatnya?”, “Lalu siapa yang menciptakan Tuhan itu?”

Selogis apapun pertanyaan, menjadi tidak patut ditanyakan pada sosok yang sudah dipilih menjadi Tuhan. Tuhan itu sakral, hanya boleh diterima dan tak boleh dipertanyakan.

Tuhan, Pusat Segalanya

Bagaimana mengetahui bahwa dalam Agama Tuhan, pusat segalanya adalah Tuhan?

Kita bisa menengok kembali ke peradaban manusia di abad pertengahan, ketika ada Islam dengan Khilafahnya dan Kerajaan-kerajaann Kristen berjaya di Eropa. Itu adalah periode emas Agama Tuhan.

Apakah yang disebut fakta?

Bila Qur’an atau Alkitab mengatakan sesuatu tentang alam, itulah fakta yang sejati. Manusia diciptakan secara instan dari lempung, itulah fakta. Alam semesta baru bermula sekitar 6000 tahun yang lalu ketika Allah menciptakannya dalam 6 hari/periode, itulah fakta. Bumi adalah pusat semesta dan segala benda langit berputar mengelilinginya, itulah fakta.

Jika ada yang tak bisa dimengerti, bukan karena Qur’an atau Alkitab yang salah mengabarkan, melainkan karena pengetahuan manusia belum bisa memahami kebenaran sejati itu. Pengetahuan Allah tak terbatas dan meliputi segalanya, sedangkan pengetahuan manusia terbatas dan sering salah.

Peta Dunia yang ditafsirkan dari gambaran Alkitab pada lukisan dari tahun 1892

Apa itu nilai moral, baik dan buruk?

Bila Qur’an atau Alkitab mengajarkan nilai moral, itulah yang harus diterima manusia. Manusia itu tempat salah dan lupa, mereka terlalu rapuh menghadapi hawa nafsunya sendiri dan mudah tertipu bujuk rayu setan; maka tak patut menjadikan pertimbangan manusia sebagai rujukan moral.

Ketika Qur’an atau Alkitab mengatakan lelaki adalah pemimpin wanita, dan karenanya hak-hak wanita dibatasi dan diletakkan dibawah hak-hak lelaki, itulah kebenaran. Perbudakan manusia itu konsekwensi wajar dari peperangan, dan karenanya bisa diterima, itulah kebenaran. Bahwa cinta sejati itu hanya kepada Tuhan dan para utusannya, jika harus memilih, orang tua, anak dan keluarga harus ditinggalkan demi Tuhan, itulah kebenaran. Pernikahan itu untuk Tuhan bukan untuk kepentingan rendah manusia, maka pertimbangan agama lebih utama daripada masalah sepele seperti cinta.

Pasar budak di era Kerajaan Romawi. Kitab Suci tidak melarangnya, dan oleh karena itu perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Mengatur dunia, bagaimana caranya?

Tuhan mengatur segalanya, maka melalui Kitab Sucinya dan para wakilnya di dunia inilah, cara mengatur dunia bisa didapatkan.

Ketika Paus menetapkan siapa yang berhak menjadi raja, maka itulah yang harus dilakukan. Dan para Raja Kristen Eropa berburu untuk mendapatkan restu Paus untuk kebijakan yang mereka putuskan.

Khalifah adalah pemimpin tertinggi umat Islam, maka bagi rakyat di Khilafah Ottoman, mematuhinya menjadi kewajiban agama dan menentangnya adalah bukti kemurtadan yang harus diperangi.

Melalui Paus dan Khalifah, Allah memerintah dan memutuskan aturan di bumi ini.

Siapa pusat kekaguman orang kebanyakan?

Tuhan adalah pusat kebenaran, kekuasaan dan kekaguman, maka orang-orang yang dianggap mewakilinya mendapatkan kekaguman dari khalayak ramai. Para Nabi dan tokoh-tokoh suci menjadi sosok ideal kehidupan mereka. Mereka menamakan bayi-bayi yang baru lahir dengan para nama orang-orang suci tersebut, mendongengkan kehidupan orang-orang suci tersebut pada anak mereka, mengubah syair-syair yang bagus untuk para tokoh suci. Karya seni dan budaya adiluhung pada saat itu adalah karya-karya yang diperuntukkan memuja Tuhan dan agamanya.

Senjakala Agama Tuhan

Masihkan Tuhan menjadi pusat segalanya? sepertinya tidak.

Di bidang ilmu alam, masihkan ada perguruan tinggi sains di dunia yang mengajarkan bahwa manusia tercipta instan dari lempung? tak ada lagi. Mereka mengajarkan evolusi.

Giordano Bruno dibakar hidup-hidup atas perintah Gereja, karena berpendapat bahwa Bumi mengitari Matahari serta mengatakan bahwa ada banyak yang semacam matahari lain dengan bumi masing-masing yang mengelilinginya.

Masih adakah hukum negara yang mendiskriminasi wanita? memang masih ada, namun secara pasti mereka mengadopsi hukum-hukum sekuler yang memberi wanita hak dan kedudukan yang sama dengan lelaki.

Masih adakah negara yang membutuhkan restu Paus untuk mengangkat pemimpin negaranya? tidak ada. Masih adakah negara Islam yang menggunakan sistem Khilafah? tidak ada.

Masih adakah karya seni adiluhung diperuntukkan bagi Tuhan dan Agama? masih, namun dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan dan dihasilkan oleh film, perhelatan musik ternama dan pertandingan olah raga, itu sudah tak lagi berarti.

Masih adakah bayi-bayi yang dinamakan dengan nama para tokoh suci? masih ada namun sudah ada pesaingnya dari tokoh dunia hiburan, olahraga dan politikus yang mereka kagumi.

Era ketika Tuhan adalah segalanya sudah berlalu. Tuhan masih ada dan dihormati di seluruh dunia, namun cuma itu, Tuhan tidak lagi memimpin dunia ini.

Agama Baru. Gajah Di Pelupuk Mata?

Apakah peradaban manusia mulai meninggalkan agama? kalau yang dimaksud agama adalah Agama Tuhan, iya, memang itu yang terjadi.

Namun bila kita meneliti lebih jauh dari apa yang dipercaya dalam sains, apa yang dijadikan rujukan moral, apa yang digunakan untuk mengatur hukum dan negara serta isi lagu dan film yang populer saat ini; kita bisa mendapati bahwa ada pusat sakral baru yang menjadi sumber segalanya itu.

Manusia tetaplah Homo Religius, makhluk beragama. Makhluk yang percaya pada suatu pusat sakral, dan menggunakannya untuk mengatur seluruh hidupnya. Tapi pusat sakral itu bukan lagi Tuhan.

Sudah ada agama baru yang lahir dan dipeluk hampir semua manusia di bumi ini. Agama baru ini tak kalah besarnya, tak kalah marak dakwahnya, tak kalah banyak pendukung fanatiknya, bahkan kita telah mengalami perang antar sekte dalam agama baru ini yang jauh lebih dahsyat dari pada Perang Salib di abad pertengahan dulu.

Saya akan menulis tentang Agama Baru ini dalam tulisan selanjutnya.


Bacaan: