Übermensch dan Tuhan Yang Mati adalah konsep yang segera mengingatkan orang pada Friedrich Nietzsche seorang filsuf Jerman atau Nazi yang menggunakan filsafat Nietzsche sebagai pendorong perjuangan Nazi untuk menegakkan dominasi ras Arya sebagai ras penguasa tertinggi di dunia.

Apakah benar?

Ada baiknya kita mempelajari siapa Nietzsche dan apa konsep yang diperkenalkannya. Saya coba rangkumkan dari berbagai sumber yang saya pelajari.

Yang Akrab Dengan Kesakitan Dan Kesendirian

Nietzsche mempunyai latar belakang agama yang kuat. Ia dibesarkan dalam keluarga Protestan yang taat, Ayah dan kakek buyutnya merupakan pendeta Lutheran.

Dalam pendidikan, ia memusatkan perhatian utamanya di dua bidang yaitu Teologi serta Filologi (sastra dan filsafat klasik). Selepas kuliah, ia mengajar Filologi di Universitas Basel.

Saat menjadi pengajar di Basel, Nietzsche mulai mengalami gejala-gejala penyakit serius. Ia sering mengalami serangan sakit kepala yang tak tertahankan dan berulang-ulang. Gejala ini makin lama semakin mengganggu kegiatannya, sehingga ia tidak merasa mampu lagi untuk mengajar di universitasnya. Ia mengajukan pensiun dini pada tahun 1879.

Setelah berhenti mengajar, Nietzsche hidup berpindah-pindah kota untuk mengikuti cuaca yang lebih mengurangi rasa sakitnya. Ia hidup menyendiri dan akrab dengan obat untuk meredakan sakitnya.

Di kesendirian dan kesakitannya ini, Nietzsche produktif menghasilkan berbagai tulisan yang banyak diilhami pada apa dialaminya sendiri.

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900)

Badan Dan Kehendak. Yang Sakit Dan Yang Sehat

Dirundungan tubuh yang sakit dan usahanya meredakan sakitnya ini, Nietzsche dalam perenungannya menduga, jangan-jangan sehat atau sakitnya kehendak manusia dapat dipadankan dengan sehat dan sakitnya badan manusia.

Kesehatan Badan

Badan dalam kondisi terbaiknya adalah manakala ia sehat, terpenuhi segala fungsi tubuhnya, dan tidak menderita sakit. Dengan badan sehat, seseorang bisa menjelajah kemanapun pemilik badan itu menginginkannya. Ia tidak membutuhkan bantuan apapun di luar dirinya untuk memilih arah langkahnya, tubuh yang sehat berarti badan yang bebas merdeka menghadapi dunia apa adanya.

Bagaimana jika badan itu sakit? ia tidak akan lagi memiliki kebebasan sebagaimana saat ia sehat. Jika badan demam, ia akan menghindari hawa yang dingin untuk mencegah semakin parahnya demam yang dideritanya.

Untuk menghilangkan sakitnya itu, ia butuh bantuan dari luar badannya yaitu obat yang akan meredakan atau menyembuhkan sakitnya, serta membatasi sendiri langkahnya untuk tidak menuju tempat yang akan memperparah sakitnya.

Dengan memakan obat dan membatasi langkahnya sendiri, badan yang sakit hakekatnya sudah kehilangan kebebasannya untuk menghadapi dunia dengan apa adanya.

Namun kadang kala pengalaman sakit atau ketakutan akan kesakitan membuat orang melakukan hal yang berlebihan. Setelah sembuh atau bahkan sebelum sakit, orang mengkonsumsi obat dan membatasi sendiri langkahnya untuk ilusi membuang kesakitan yang sebenarnya tidak dideritanya. Untuk ketakutan akan kesakitan, orang dengan rela melepaskan kebebasannya untuk menghadapi dunia apa adanya.

Kesehatan Kehendak

Jika badan yang sehat ditandai dengan kebebasannya untuk menghadapi dunia apa adanya, maka Nietszche menyimpulkan bahwa manusia dengan kehendak yang sehat ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menghadapi realitas sebagaimana adanya.

Jika kebebasan melangkah serta mampu menghadapi dunia apa adanya tanpa bantuan obat merupakan pertanda badan yang sehat,  maka kebebasan untuk memilih pikirannya sendiri dan mampu menghadapi realitas apa adanya tanpa bantuan “obat” merupakan pertanda kehendak yang sehat.

Dan apakah “obat” itu? segala sesuatu yang berasal dari luar diri manusia. Ada cara memberi makna hidup, tujuan hidup, mitos, ideologi, kepercayaan, nasionalisme, agama, moralitas, dan bahkan Tuhan.

Bagi Nietzsche, semua “obat” tersebut hanyalah buatan manusia.

Alam pada asalnya adalah chaos, tanpa makna dan tanpa tujuan. Bumi berbentuk bulat begitu saja, bukan karena ada tuntutan moral untuk itu. Singa membunuh zebra untuk hidup, tak ada urusan dengan rasa welas-asih atau moralitas.

Manusia lahir lalu mati sejak ratusan ribu tahun lalu dan masih akan terus berlangsung. Beberapa orang dikenang hidupnya, tapi milyaran lainnya berlalu dan dilupakan begitu saja. Sedih-gembira datang silih berganti dialami manusia, dan akan hilang begitu saja saat manusianya mati. Sukses-gagal sangat berarti bagi manusia yang mengalaminya, dan akan hilang begitu manusianya mati. Apa yang dianggap sakral atau agung seperti para Dewa suatu saat akan berubah menjadi sekedar dongeng dan bahkan dilupakan.

Di kekacauan alami inilah manusia menghadapi “sakit” terdalamnya, yaitu ketakutannya untuk hilang tak berarti begitu saja, mati sia-sia tanpa tujuan di alam yang memang tanpa tujuan. Maka manusia meracik berbagai macam “obat” untuk mengatasi “sakit” yang dideritanya. “Obat” itu adalah konsep moralitas, mitos, ideologi hingga Tuhan pencipta alam.

”Sakit” itulah yang membuat manusia menjadi tergantung pada “obat” dan bahkan kehilangan kebebasannya untuk memilih sendiri kemana ia boleh berkehendak.

Pilihan Menjalani Hidup

Dengan konsepnya memandang kehendak manusia tersebut, Nietzsche menggolongkan pilihan hidup manusia dalam metafor Onta –> Singa –> Anak Kecil sebagai berikut:

Metafora Onta, Singa dan Anak Kecil

Onta – Buat Aku Berguna Dengan Bebanmu

Jika chaos, tanpa makna dan tanpa tujuan begitu menakutkan, maka sebagian orang begitu terobsesinya dengan “obat” yang mampu menyediakan segala kepastian makna dan tujuan dan bahkan “obat” yang mampu membunuh sama sekali kebutuhannya untuk memilih sendiri jalannya.

Pada kelompok ini detil “obat” itu mengatur hidupnya, semakin berat beban yang diberikan “obat” itu maka akan semakin baik. Mereka akan sedemikian sibuknya untuk diarahkan dan dibebani oleh “obat” itu, hingga tak ada waktu lagi untuk mikir merenungkan sendiri arah hidupnya. Jika ia mulai terbiasa dengan beban itu, maka ia akan menyibukkan diri mencari beban tambahan agar sekali lagi terhindar dari kesempatan untuk mikir.

Kelompok seperti ini bagi Nietzsche adalah seperti onta beban yang bersemangat untuk memikul beban dan diarahkan kemana ia harus membawa bebannya. Ini adalah kelompok dengan mentalitas budak yang benci menjadi merdeka, karena dengan merdeka mereka akan menghadapi ketakutan terdalamnya – yaitu harus memilih sendiri apa yang harus dilakukan.

Contoh nyata kelompok ini adalah para fanatik agama. Pada awalnya mereka berusaha sibuk memenuhi semua kewajiban agama. Setelah memenuhi yang wajib tidak lagi menyibukkan, mereka berusaha melengkapi yang disarankan agama (sunnah). Setelah wajib dan sunnah tak lagi cukup, maka apa saja yang ditempeli agama mereka kejar untuk mereka kerjakan. Hasilnya mungkin orang yang sibuk sekali makan soto ayam menggunakan tiga jari hanya karena dulu Nabi makan menggunakan tiga jari, atau seperti Abu Yazid al-Busthami yang menghindari makan semangka selama 60 tahun hanya karena belum dapat informasi tentang bagaimana cara Nabi membelah semangka.

Contoh lainnya adalah para nasionalis fanatik yang berslogan “right or wrong its my country” yang rela mengorbankan apa saja demi kejayaan negaranya. Bagi mereka mengorbankan diri dan keluarga harus dilakukan bila negara membutuhkannya.

Singa – Apapun Yang Aku Mau

Saat informasi bebas bersliweran, saat orang bisa dengan bebas membandingkan “obat” yang satu dengan “obat” lainnya dan menganalisa “kandungannya”, beberapa orang menyadari bahwa banyak “obat” tersebut tidak sepenting yang dikabarkan para “penjual obat”.

Pada kelompok ini, memakan “obat” hanyalah tindakan bodoh yang tak perlu. Hidup hanya sekali, apa menariknya hidup jika kita terjerat pada ketergantungan “obat” dan ketakutan untuk menentukan langkah sendiri. Bagi mereka “obat” sudah menjadi racun kehidupan itu sendiri, dan kita wajib membuang jauh-jauh pengaruh “obat” tersebut.

Jika kelompok sebelumnya onta yang perlu dituntun dan keranjingan mencari-cari beban yang akan dipikulnya, maka kelompok ini adalah kelompok para singa penguasa padang.

Mereka berkata: Tak ada yang berhak membatasi kami, tak ada yang berhak mendikte kami, kami kuat, mandiri dan tak butuh “obat”, kami memutuskan sendiri, kami melakukan apapun yang kami mau!

Mereka membongkar dan membuang semua mitologi, semua moralitas, nasionalisme, semua isme-isme dan kebenaran obyektif. Di puncaknya mereka membunuh para Tuhan, karena Tuhan hanyalah idealisasi manusia, hanyalah delusi para religius, serta dongeng para manusia budak yang haus diperintah. Tuhan sudah mati!

Contoh nyata kaum singa ini adalah kelompok nihilis atau kelompok punk di barat.

Banyak yang mengira kaum singa adalah kaum tuan, penguasa atas diri mereka sendiri, tapi bagi Nietzsche: bukan.

Singa terjatuh pada ambisinya menjadi raja sehingga justru jatuh diperbudak nafsu dirinya sendiri untuk berkuasa. Dengan kepongahannya untuk menolak segala “obat” atau sesuatu di luar dirinya, maka singa rentan terhadap sakit yang kadang datang menghantam tanpa direncanakan, yang seharusnya bisa diatasi dengan “obat”.

Dengan menghancurkan segala macam “obat”, singa sering berakhir dengan kehancuran dirinya sendiri.

Anak Kecil – Kepolosan Kehendak

Metafora terakhir yang digunakan Nietzsche adalah Anak Kecil.

Kelompok ini memandang “obat” sebagaimana anak kecil menggunakan mainan.

Tidak ada keterikatan sama sekali antara dirinya dengan mainannya. Manakala mainan itu menarik, ia akan memainkannya, manakala ada yang lain menarik perhatiannya, ia akan melempar yang lama untuk digantikan dengan yang baru.

Melempar yang lama bukan berarti ia membenci atau memusuhinya. Jika nanti ia tertarik lagi, maka mainan itu akan ia ambil kembali untuk dimainkan.

Hidup ini perjalanan yang patut dinikmati. Hadapi realitas dengan apa adanya. Bila perlu bantuan “obat”, ya gunakan secukupnya tanpa perlu sampai tergantung dengannya. Jika menolak “obat” bisa berarti mati sia-sia, ya telan saja “obat” itu sampai ancaman mati sia-sia sudah tak ada. Tak perlu mematikan diri untuk memperjuangkan atau menolak “obat’, toh semuanya hanya buatan manusia yang tak lebih penting dari hidup itu sendiri.

Manusia dengan kepolosan anak kecil ini tidak lagi terpasung dalam kerangka nilai yang berasal dari luar dirinya. Ia manusia mandiri yang sudah melampaui standard moralitas, benar-salah, pahala-dosa. Ia manusia yang melampaui, yang dalam istilah Nietzsche adalah Übermensch.

Tragedi Nietzsche

Bagaimana dengan sang pengabar konsep ini?

Jatuh Gila

Nietzsche tak pernah beranjak jauh dari perjuangannya mengatasi sakit badannya. Setelah berhenti mengajar, penyakitnya menjadi semakin parah dan menjadi puncaknya setelah sepuluh tahun kemudian syarafnya rusak total. Pada tahun 1889 Nietzsche dinyatakan gila, dan selama sepuluh tahun berikutnya ia hidup dalam rumah sakit hingga saat meninggalnya.

Karya-karyanya berevolusi dari tulisan terstruktur ala akademisi menjadi potongan ungkapan-ungkapan pendek dengan struktur lepas. Ia sudah tak mampu lagi duduk jenak untuk menulis tulisan yang panjang, sebagai gantinya ia menulis catatan-catatan pendek dengan topik yang berserakan. Di saat kesehatannya membaik, ia mencoba merangkaikan tulisan-tulisan pendeknya ke dalam buku.

Kegilaannya menjadikan obyek bulan-bulanan para penentangnya yang dengan senang menunjukkan bahwa pandangan Nietzsche salah, buktinya ia gila – walau mereka tak mampu mendebat pandangannya secara logis.

Menjadi Panduan Nazi

Saat Nietzsche meninggal, ia meninggalkan beberapa tulisan yang tak sempat diterbitkan. Sayangnya tulisan-tulisan tersebut jatuh ke tangan adiknya, Elizabeth yang merupakan pendukung Hitler dengan ideologi Nazi-nya.

Elizabeth merapikan, mengedit dan bahkan menambahkan banyak idenya sendiri untuk diterbitkan atas nama Nietzsche. Terbitlah buku der Wille zur Macht (The Will Of Power) yang mengajarkan pencapaian kekuasaan sebagai tujuan tertinggi manusia, untuk tujuan tersebut perlu menyingkirkan manusia-manusia lemah atau ras-ras lemah yang hanya menghambat pencapaian ambisi tersebut.

Hitler menggunakan buku tersebut sebagai inspirasi filosofisnya untuk mengukuhkan ras Arya sebagai ras unggul yang akan menguasai atau menyingkirkan ras-ras lainnya. Übermensch bagi Hitler diartikan sebagai manusia unggul yang berdiri di atas semua hukum dan moralitas.

1942: Hitler memberi penghargaan kepada Hünenkreuz yang digunakannya sebagai ikon Übermensch

Dengan berbekal karya Nietzsche, Hitler mengejar obsesinya tentang Übermensch dan ras Arya sebagai ras tertinggi. Ia menggempur seluruh Eropa dan membantai jutaan warga Yahudi.

Apakah benar obsesi Übermensch Hitler sejalan dengan Übermensch yang dimaksudkan Nietzsche? sepertinya tidak.

Dalam konsep Nietzsche, Hitler merupakan contoh metafora kehendak Singa yang hanya perduli apa yang ia mau dan hendak menghancurkan segala apa yang diluar maunya; yang pada akhirnya berakhir dengan kehancuran dirinya sendiri.

Namun apa dikata, kaitan buku Nietzsche dan kegilaan Nazi ini begitu populer, sehingga banyak yang berpendapat filsafat Nietzsche adalah induk kegilaan semacam Nazi.


Bacaan: