Sudah masuk Ramadhan.
Bila anda muslim, ini adalah bulan dimana anda akan mendengar banyak sekali ceramah agama. Banyak informasi yang bisa anda dapatkan terutama tentang apa yang bisa kita dapatkan dari Ramadhan ini.
Saya juga mencoba menyampaikan hal sama, tetapi tentunya dari versi saya.
Manusia Versus Robot
Ada satu momen menarik yang saya ingat dari film tahun 2004: I, Robot.
Ketika sebuah robot menyelamatkan detektif Spooner (diperankan Will Smith) dalam sebuah kecelakaan mobil, Spooner justru sangat berang. Pasalnya saat kejadian itu terjadi ada seorang gadis kecil yang juga korban diabaikan begitu saja oleh sang robot. Gadis itu tewas
Robot tersebut memang telah menghitung bahwa peluang Spooner untuk selamat lebih besar dari sang gadis, dan robot itu bergerak dengan perhitungannya yang rasional.
Kematian gadis itu sangat memukulnya, baginya sekecil apapun peluangnya, gadis itu harus diselamatkan. Baginya keputusan rasional sang robot tak bisa dimengertinya sebagai manusia.
Kejadian itu membuatnya tak bisa percaya bahwa robot boleh diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan penting mengenai manusia.
Manusia: Kemewahan Irasionalitas
Penggalan cerita di atas tentu menggaris bawahi sebuah kenyataan: manusia dan robot berpikir dengan cara yang berbeda.
Bagaimana robot berpikir?
Sebuah robot dilengkapi dengan sirkuit rasional yang diperlukan dalam mengambil keputusan. Sebuah keputusan muncul setelah sirkuit itu mengolah semua informasi yang ada melalui algoritma pengambilan keputusan yang jelas.
Hasilnya pasti. Beri satu situasi pada robot dan lihat keputusannya. Ulangi situasi ini berkali-kali, maka kita akan melihat keputusannya akan sama. Robot itu sama dengan kalkulator, ulangi input yang sama, maka anda bisa harapkan output yang sama.
Bagaimana manusia berpikir?
Manusia juga mempunyai kemampuan mengolah semua informasi itu secara rasional. Pada proses ini pendidikan, pengalaman dan pengetahuan diolah secara rasional untuk menghasilkan sebuah keputusan. Kita biasa menyebutnya sebagai perhitungan nalar atau dikaitkan dengan otak kita.
Jika pada robot, perhitungan rasional menghasilkan keputusan, maka pada manusia, perhitungan rasional hanyalah satu dari dua sumber yang akan diolah menjadi keputusan.
Sumber yang kedua adalah proses di otak kita yang tidak kita pahami sepenuhnya. Jika pada proses nalar kita kita mendapat hasil yang jelas misalkan: melakukan A atau memilih B; maka dari sumber kedua ini kita hanya mendapatkan sinyal senang, jijik, marah, bahagia, takut serta berbagai simbol yang biasanya bisa dihubungkan dengan perasaan. Kita biasa menyebut sumber ini dengan emosi, kata hati, nurani atau diasosiasikan dengan hati (walau tentunya proses ini juga berlangsung di otak juga).
Secara ideal, biasanya kita menggunakan dua sumber ini.
Saat melihat uang yang jatuh di tengah jalan, otak menyarankan “ambil saja”, tapi hati bisa jadi mengirimkan sinyal tidak suka.
Bila kita abaikan hati, kita ambil saja uang tersebut – toh tak ada ruginya?
Bila kita turuti hati, kita minta otak sediakan alternatif tindakan lain yang bisa diterima hati, misalnya titipkan saja ke pos polisi terdekat, mungkin yang empunya nanti menanyakan ke polisi di situ.
Sumber kedua memang tidak memberikan pilihan yang jelas sehingga bisa diolah secara nalar. Sumber kedua ini irasional, tapi inilah kemewahan berpikir kita dibandingkan dengan robot atau sekedar kalkulator.
Manusia Modern dan Dominasi Otak
Manusia modern hidup dalam laju kehidupan dan kelengkapan hidup yang tak dapat dibayangkan oleh masyarakat kuno.
Saat ini hampir setiap orang mendapatkan pendidikan sekolah, mereka memperolah update informasi dari TV, Koran, Radio, Internet, Buku dan sebagainya. Mereka mempunyai cukup masukan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mengambil keputusan secara rasional.
Tingginya kepadatan penduduk, persaingan usaha, serta dunia yang semakin tanpa batas; membuat interaksi yang meningkat dan membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat.
Hasilnya adalah semakin sedikit waktu yang bisa kita luangkan untuk mendengarkan hati kita, menggunakan keunggulan kita sebagai manusia. Toh dengan rasionalitas semata kita bisa sukses menjalani hidup.
Apa akibatnya?
Manusia dirancang untuk menggunakan otak dan hati secara bersamaan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan masalah pada kejiwaan manusia.
Ketika hati semakin sering diabaikan ada hal lain yang semakin meningkat di kehidupan manusia modern, yaitu keresahan hidup yang meningkat menggantikan ketenangan dan ketentraman jiwa.
Dengan otak saja, kita bisa menguasai dunia dan sukses didalamnya; akan tetapi tanpa hati, sukses itu tidak mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Manusia modern terkutuk menjadi robot.
Ramadhan, Tolak Dominasi Otak
Ramadhan.
Mungkin para da’i lebih sering mengaitkan manfaatnya bagi meningkatkan solidaritas kita dengan warga miskin, ampunan dosa serta pahala berlimpah. Baiklah, mungkin ada benarnya, akan tetapi ada manfaat lain yang bisa kita ambil
Melawan Kebutuhan Rasional
Ini adalah penekanan utama ibadah Ramadhan. Kita secara sadar mengurangi pasokan energi tubuh kita selama satu bulan tanpa mengurangi kegiatan fisik kita.
Apa yang terjadi? sistem rasional kita tentu meminta tambahan pasokan energi atau pengurangan kegiatan untuk kompensasinya.
Kita abaikan kebutuhan rasional itu, dan bahkan kita tambah dengan ibadah tarawih dan berbagai ibadah tambahan yang dianjurkan.
Kita paksa otak kita mengalah, kita paksa otak kita tidak mendominasi kita. Kita letakkan tekad dan semangat di atas rasionalitas dan keterbatasan fisik.
Apa yang menggagalkan proses ini? jika kita mengubah puasa sebagai cara sadar melemahkan tubuh menjadi acara mengatur ulang jadwal makan dan bahkan menjadi pesta kuliner setiap waktu buka puasa.
Menyeleksi Dorongan Irasional
Apakah dengan menghilangkan dominasi otak kita berniat menggantinya dengan dominasi hati? tidak.
Ada dorongan irasional yang berasal dari sistem biologis kita yaitu syahwat dan kemarahan.
Saat seorang gadis cantik dengan pakaian seksi melintas, tak ada lelaki yang tidak terbangkitkan ketertarikannya. Itu normal. Akan tetapi saat puasa kita diharuskan mengabaikan dorongan itu.
Kita juga diharuskan tidak menuruti kemarahan kita saat menghadapi konflik. Marah itu normal, akan tetapi saat puasa kita abaikan dorongan itu.
Dorongan irasional penting, akan tetapi saat Ramadhan kita dilatih menyeleksinya.
Memprogram Ulang Hati
Para ahli kejiwaan menemukan bahwa dorongan hati atau nurani berasal dari proses di alam bawah sadar yang dimiliki setiap orang.
Alam bawah sadar ini berisi kebijakan yang tertanam dalam gen kita, ingatan-ingatan kita yang kita pendam, peristiwa-peristiwa traumatis, sugesti yang kita terima dan berbagai hal lain.
Pada Ramadhan, kita mengulang-ulang menyebut sifat Allah yang baik dalam shalat atau zikir yang kita tingkatkan jumlahnya. Secara tak sadar pengulangan ini berperan seperti sugesti yang kita masukkan secara sadar ke alam bawah sadar kita.
Dengan memasukkan sifat-sifat baik ke dalam alam bawah sadar kita, kita berharap kendali dari hati kita bisa diwarnai sifat-sifat ideal tersebut.
Melakukan Aktivitas Irasional
Tahukah anda alasan rasional di gerakan sholat yang anda lakukan? mengapa harus berdiri, nungging, atau duduk? mengapa ada yang 2 rakaat, ada yang 3 atau 4? mengapa harus 5 kali dengan waktu tertentu?
Kita melakukan gerakan aneh itu bukan karena di gerakan itu kita tahu manfaatnya, kita melakukannya karena begitulah cara yang diperintahkan. Tidak perlu ada alasan rasional untuk itu.
Kita juga tak perlu alasan rasional mengapa jumlah rakaatnya harus tertentu atau mengapa harus 5 kali di waktu tertentu.
Shalat memaksa kita paham bahwa rasionalitas bukanlah satu-satunya penentu keputusan kita.
Pada Ramadhan aktivitas ini ditingkatkan berlipat-lipat melalui tarawih. Pada Ramadhan, secara sadar melatih kita untuk mengikuti yang tidak rasional dan menyadari bahwa otak bukanlah segalanya.
Harapan Akhir Ramadhan
Kembali ke fitrah merupakan target Ramadhan kita.
Dan apakah fitrah itu? Menjadikan Otak dan Hati kembali menjadi sumber pengambilan keputusan kita. Dengan ibadah Ramadhan kita menolak jadi robot.
Versi aneh manfaat Ramadhan? he he he… bisa jadi.
Assalamualaikum
Berbicara robot, marilah kita analog kan seperti pada pengusaha agama dinegara entah berantah yang berkeinginan semua pengikutnya harus bertindak seperti robot, kalau tidak bertindak seperti itu maka kita akan didakwa kafir, halal darahnya untuk dibunuh, banyak lagi tindakan yang mengerikan, apalagi pada female.
Akupun demikian, sejak kanak aku mengikuti seperti robot menyelesaikan segala program yang dibuat sang empunya, mengamalkan ajaran, menjadi orang yang berguna, dan banyak lagi laahh, makin dewasa makin ada keberanian menggunakan rasio, yang memang diajarkan sejak kita bersekolah, walaupun takut untuk bertanya, karena aturannya tidak boleh bertanya (one way traffic), itupun kalau dijawab maka jawabannya akal-akalan tergantung dari level kepinteran sang guru ngaji/ustad. Intinya kita selalu mengiakan karena takut dihakimi oknum itu dari pada takut dihukum Tuhan YME.
Daripada mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari yang berwenang ataupun yang merasa punya wewenang menggunakan kewenangan Tuhan YME karena dia banyak membaca kitab suci maupun segala macam buku penjelasannya, ditambah dengan level hatinuraninya, lebih baik aku cari di kepustakaan maya.
Ternyata hasilnya luar biasa, apakah itu para robotik yang berjihad membela pemimpinnya, maupun bagaimana pemimpinnya selalu membuat program agar tetap eksis sepanjang jaman dengan mengataskan Tuhan YME. Itulah kehidupan yang beraneka-ragam, yaitu bagaimana kita mampu berbohong dalam skala besar, sehingga semua secara tidak sadar mengamini secara lantang dimana-mana.
Pelajaran pembohongan ini terus akan berlangsung di segala bidang, dimodifikasi sesuai dengan perkembangan jaman, untuk mendapatkan keuntungan pribadi sehingga dapat menikmati surga di dunia.
Wassalam
H. Bebey
@H. Bebey: agama bisa juga mengubah manusia menjadi robot, manakala agama yang seharusnya memperkuat dorongan spontan dari nurani untuk berbuat atau tidak berbuat malah mematikannya.
Baik dan buruk yang kita rasakan digantikan dosa atau pahala plus kalkulasinya. Agama menjadi pedoman untung rugi dengan daftar jenis-jenis perbuatan baik dan perbuatan dosa. Berbuat ini dapat 10 pahala, yang itu 70 pahala, yang itu malah jadi minus 30 dosa.
Agama tidak berbicara kebaikan yang spontan dari hati, ia hanya panduan untung-rugi, surga-neraka.
Banyak umat Islam melupakan hadis nabi:
Manfaat Ramadhan versi aneh yg mengasyikkan. agama adalah wilayah paling rentan untuk merobotkan manusia.
@Dizal: terima kasih.. semoga kita tak terjebak jadi robot…
lebih baik saya berkunjung k orang2 yg parnah aku sakiti, saya ambil haknya seraya minta maaf tanpa berlapar2 dan dahaga, daripada puasa klakuannya ngobrak abrik warung makan, gebukin pebawa tuak. mereka ini betul2 sdh jadi robot.
@Geloaku: bagus.. Allah adil pada setiap orang, jika kita masih membawa ketidak adilan kita pada sesama, bagaimana mungkin Allah mau bersama kita?
Pada akhirnya agama untuk manusia, Allah yang Maha Kaya tak butuh apapun dari manusia.
Saya akan komentar tentang shalat. Shalat adalah rukun islam yg kedua setelah syahadat (iman). Artinya orang bisa menikmati dan menganggap shalat adalah hal yg rasional ketika telah iman.
Setelah berpuluh-puluh tahun saya beragama, baru kemarin-kemarin saya bisa agak menikmati shalat, yaitu saya merasa sangat bersyukur sekali ketika masih diberi waktu dan kemauan untuk “sujud” padaNya.
Tuhan tidak butuh shalat kita, melainkan kita yg butuh. Saya sering berpikir adakah ritual penyembahan suatu agama yg lebih rasional daripada shalat?
Di dalam shalat, berisi bacaan doa-doa serta mengagungkan namaNya. Di dalam shalat berisi gerakan sujud, merendahkan diri, menghilangkan kesombongan, rela mencium lantai apapun status dan jabatan kita, demi mengagungkanNya. Dan tentunya banyak gerakan lain yg punya makna-makna tersendiri, misal rukuk.
Sebelum shalatkpun badan kita diwajibkan bersih (mandi besar dan wudlu), dan tempatnyapun diwajibkan suci. Kalau cermati, semua ritual shalat memang sebenarnya untuk kita, kita memperoleh manfaatnya kalau menghayati (tahu arti bacaan dan gerakan) serta khusuk menjalankannya.
Saya sering melihat, banyak ritual-ritual penyembahan agama tertentu, dengan sesaji, bakar dupa, dan persembahan-persembahan yg kurang masuk akal. Apa karena saya kurang mengerti ajaran mereka, atau memang kalah rasional dibanding shalat?
Adakah ritual penyembahan yg lebih rasional dari shalat?
Kalau ada, saya siap pindah agama, hehe..
serius !!
@Bram: paham alasan rasional sholat? bagus.
Dari paparan anda saya menangkap ada 2 macam alasan rasional untuk sholat menurut anda:
1 – Alasan kontekstual Karena saya Islam maka saya syahadat dan sholat. Alasannya bukan karena sholat itu sendiri, akan tetapi dalam konteks berIslam, maka sholat adalah kelanjutan rasional memilih Islam.
2 – Alasan fungsional ada manfaat dari do’a-2 di dalam sholat dan gerakan-gerakan khusus seperti sujud dan lain-lain.
Saya juga menangkap betapa tidak pentingnya alasan fungsional dalam mendorong anda bersholat, karena anda menyadarinya setelah melakukan sekian lama. Saya tidak yakin anda sudah menyadarinya sejak awal melakukan sholat. Artinya tanpa tahu alasan fungsionalnya, anda atau seorang muslim yang taat pasti sholat.
Kalau alasannya kontekstual, kita juga akan melihat betapa rasionalnya orang Sikh memakai surban karena itu kelanjutan rasional dia memeluk agama Sikh; kita juga melihat betapa rasionalnya orang Hindu melakukan Yoga karena itu kelanjutan rasional dia berHindu.
Kalau melihat dalam alasan fungsional, banyak yang bisa menunjukkan alasan-2 psikologis seperti yang anda tulis atau alasan-2 kesehatan. Akan tetapi jika sholat itu untuk alasan fungsional, maka perlunya sholat dipertanyakan bila ternyata tujuan-2 tersebut tidak tercapai oleh sholat atau ternyata ada cara lain yang bisa memberi hasil lebih dari tujuan-tujuan tersebut.
Misalkan jika sholat untuk mencegah perbuatan mungkar, menjadikan orang tidak sombong; maka perlunya sholat dipertanyakan bila para koruptor itu ternyata juga ahli sholat, banyak juga orang yang sombong dan semena-mena ternyata tidak bolong sholatnya?
Misalkan jika sholat meningkatkan kesehatan; maka perlunya sholat bisa dipertanyakan bila jika suatu saat ada percobaan yang menguji kesehatan 100 orang yang rutin sholat dibandingkan 100 orang yang rutin senam dan ternyata yang senam terbukti lebih bugar? kenapa tidak diganti senam saja sholatnya?
Persis seperti kenapa umat Islam dan Yahudi tidak makan babi. Dulu banyak yang bilang babi mengandung cacing pita atau penyakit ini-itu, pendapat ini gugur dengan sendirinya ketika kita melihat dari 5,3 milyar pemakan babi dunia (Islam + Yahudi cuma 1,3 milyar) ternyata efek kesehatan tersebut omong kosong yang dibesar-besarkan, karena efek-efek buruk itu lebih disebabkan oleh masalah higienis saja, dan bila dapat diatasi, maka ketakutan tersebut tidak beralasan.
Bila tidak ada efek buruknya kenapa kita masih patuh tidak makan babi? toh kelihatannya babi panggang benar-benar asyik?
Menurut saya: Muslim sholat karena alasan kontekstual – karena kita Islam, alasan fungsional mungkin ada, tapi sama sekali tidak penting.
Jika alasan fungsional gugur atau bahkan dari penyelidikan ternyata sholat itu tidak baik bagi kita, saya yakin umat Islam akan tetap sholat.
Maksud saya bukan demikian, di sini saya tidak membahas gerakan shalat dari manfaat kesehatan fisik. Dari awal saya sudah batasi, ini rasional dalam lingkup iman. Adakah ritual penyembahan yg lebih rasional dibanding shalat untuk orang yg percaya adanya Tuhan, demikian jelasnya.
Untuk melengkapi: berapa persen muslim yg tahu arti bacaan shalat, berapa yg tahu arti gerakan shalat, berapa
muslim yg khusuk shalatnya, berapa persen yg meresapi shalatnya. Atau jangan-jangan bagi rata2 muslim shalat hanya sebagai kebiasaan dan budaya saja. Tanpa meresapi atau jarang meresapinya. Demikian yg saya rasakan dan yg sering saya tanyakan ke beberapa muslim memang demikian adanya.
Kalau saya hitung rata-rata dari orang yg saya kenal, secara komulatif, temen saya yg rajin shalat perilakunya lebih bermoral dari yg tidak, segali lagi itu kalau dihitung secara rata-rata, dan hal itu tidak tampak fulgar kecuali diamati dengan seksama. Dan sebagai catatan, sahabat Nabi saja ketika di tes shalatnya, tidak ada yg benar-benar benar/khusuk.
Di atas sebagai bahan kajian saja jika mau mengaitkan orang yg shalat dengan perilakunya sehari-hari.
@Bram: terima kasih penjelasan lanjutannya.
1. Dari 5 poin rukun islam, hanya zakat yg ada manfaatnya. Sedangkan 4 lainnya hanyalah pekerjaan sia-sia. Menurut Anda? 2. Betulkah tuhan minta disembah?
@Galecok: agama bertahan bukan karena ia bisa dipahami, akan tetapi karena ia memberikan pengalaman emosional pada pemeluknya. Diantaranya adalah perasaan bahwa hidup ini berharga, bertujuan dan ada sesuatu di atas yang akan membantu kesulitan kita.
Ini seperti perasaan berbangsa yang dipupuk oleh ritual yang sepertinya tak berarti, seperti hormat bendera, menyanyikan Indonesia Raya, menggunakan bahasa Indonesia. Kegiatan itu tidak bermanfaat langsung saat kita sekolah, akan tetapi pada momen yang tepat akan menggelorakan pengalaman emosional yang membuat kita sadar dengan ikatan imajiner kita dengan wilayah yang disebut Indonesia. Momen itu misalnya saat kita larut secara emosional ketika menyaksikan tim sepakbola kita berjuang merebut posisi puncak melawan tim negara lain dalam suatu event. Atau saat melihat bendera kita naik diiringi Indonesia Raya saat olimpiade. Atau saat sendiri di negara asing dalam waktu lama, bertemu dengan orang Indonesia menjadi sesuatu yang menggembirakan.
Memang ada ritual yang tak berarti secara fungsional, tetapi dengan melakukannya kita membangun suatu bangunan emosional yang memperkokoh identitas diri, membentuk makna hidup serta memberi arah menjalani hidup.
Agama itu lebih ke pengalaman daripada ke pengetahuan.
Pengetahuan mendalam tentang agama tidak otomatis menjadikan anda paham agama. Persis seperti kita hapal berjilid-jilid teori berenang – tanpa mencoba di kolam renang, anda tidak bisa mengklaim paham berenang.
Agama berarti bila kita merelakan diri untuk menjalani,
jika anda paham – itu bonus,
jika ritual itu mempunyai manfaat langsung seperti zakat – itu bonus.
Aku milih jadi robot yang sudah diprogram dng hati nurani aja ah… 😀
Kayak Spooner (Will Smith) dalam film “I Robot” itu juga robot, kan om?
Dulu juga ada film “AI: Artificial Intelegence” karya Stepen Spieberg juga….
Enak loh… jadi robot canggih yang udah dilengkapi software original, hati nurani 😉
@Samaranji: setuju. Otak harus sepandai mungkin, tapi hati nurani harus tetap menjadi pengarah.
Tentang Spooner, karena kecelakaan tersebut, sebagian badannya diganti dengan komponen bionik, tapi ia tetap manusia.
Terima kasih.
RAMADHAN ADALAH RITUAL IBADAH YANG GAGAL PRODUK:Habis isya tarawih,tadarus sampai jam 10 malam,tidur sebentar,jam 03.00 bangun makan sahur sampai subuh terus ke masjid,pulang dari masjid mau tidur tanggung,nonton tv atau beres beres rumah,jam 07.00 anak anak pergi kesekolah,ayah pergi kekantor jam 10.00 pada ngantuk semua,produktifitas kerja menurun,proses belajar mengajarpun turun,otak malas berpikir karena ngantuk dan kurang energi,jam 16.00 mikirin berbuka nyiapin makanan,es,kolak dll,sebentar sebentar lihat jam,pingin segera adzan magrib.ADAKAH BANYAK MANFAAT DARI PADA SEKEDAR PENYIKSAAN FISIK?.Jika saum berarti menahan hawa nafsu atau gejolak pikiran bukankah setiap hari kita harus bisa menahan gejolak pikiran kita sedapat mungkin.Bukankah itu lebih bermanfaat MANA BUKTINYA MANFAAT RAMADHON WONG TUKANG KORUPTOR ITU GAK PERNAH BOLONG PUASANYA HEHEHE.
@Andik: gagal? nggak lah…
Keberhasilan suatu ritual dalam masyarakat tentunya tidak hanya ditentukan oleh efek buruk yang mungkin dirasakan sebagian masyarakat. Ada bagian masyarakat lain yang memang merasakan benar-benar manfaat Ramadhan.
@Bro judhi:Sesuatu cara dikatakan sukses bila bisa menghasilkan nilai minimal 60-70persen dari target sasaran,jika dia hanya menghasilkan nilai kurang dari 50persen maka bisa dikatakan gagal,RAMADHON hanya mempunyai efek sesaat ya dalam bulan itu saja,diluar RAMADHON suasana kembali seperti semula,tidak ada peningkatan dalam moral maupun pengendalian diri RAMADHON memang bermanfaat bagi rakyat kecil terutama para penjual makanan musiman.Tapi bagi yang melakukan puasa sangat kecil pengaruhnya baik moral maupun spiritual.Bukankah itu bisa dikatakan gagal? Justru IDUL FITRI yang mempunyai nilai,hal ini yang sulit saya lupakan,dimana ada acara sungkeman untuk orang jawa,yang tidak pernah dijumpai dinegara manapun.
@@Andik: benar sekali. Nilai efektivitas Ramadhan akan bisa kita ketahui bila kita sudah mengukurnya.
Sementara ini belum ada yang mengukur, jadi bila ada yang anggap gagal – ya oke.
Tapi saya sendiri masih menganggap belum gagal. Bila kita pakai ukuran Indonesia, banyak ritual ramadhan baik yang bersifat ibadah maupun sosial yang berhasil membuat kita merenungi kembali hidup yang kita jalani. Jangan lupa, pesantren dadakan, haru-biru perjuangan mudik, berziarah ke makam sesepuh, berkumpulnya keluarga besar, mengunjungi sanak famili, merupakan jangkar pengikat yang membuat kita tak terlalu jauh dari akar kehidupan religius keluarga – apapun maknanya kini.
Secara alami, manusia akan selalu menyeleksi apa yang berguna dan tidak. Bila kelak Ramadhan tidak lagi bisa bawa manfaat, secara alami akan ditinggalkan kok. Saat ini masih.
Ya di indonesia mungkin terlalu bnyak yg Islam KTP tp peracayalah sesesatnya manusia pada akhirnya akan kembali ke jalan yg benar, dan Allah swt selalu memberi hidayah bagi kaum yg berfikir dan manusia diberikan kebebasan befikir tinggal mau atau tidaknya saja.
@Difa Kresnawan: kok membingungkan?
pada akhirnya itu kapan? sebelum orang itu mati atau 5 tahun lagi?
Jalan yang benar itu apa? Tidak lagi Islam KTP lalu jadi NU, Muhammadiyah, PKS, wahabi atau teroris?
Lah kalau dalam definisi saja tak jelas, bagaimana bisa percaya?