Tanyakan pertanyaan ini kepada pemeluk Islam, random aja, maksudnya kepada siapa saja yang kebetulan didekat anda. Apa jawabannya?

Islam anti nalar? apa gila anda!… tentu enggak!…

Bila yang anda tanya mempunyai pengetahuan yang lumayan, anda akan segera disodori berbagai macam fakta dan argumen yang menyanggah pertanyaan pertama anda.

Bagaimana anti nalar, kalau justru peradaban Islamlah yang menyumbangkan berbagai rintisan di bidang pengetahuan, disaat peradaban barat terpuruk dalam kegelapan.

Bagaimana anti nalar, kalau peradaban barat justru bangkit menuju pencerahan, karena sumbangan besar umat Islam dalam berbagai literatur yang memicu renaissance?

Oke, fakta tersebut valid. Tapi coba renungkan apa yang saat ini membentuk pola pikir umat Islam di masa modern ini.

Taqwa, Patuh Sebagai Tuntutan

Cermati khotbah Jum’at (sekali-kali berusahalah jangan tertidur saat khutbah), ada pesan wajib yang selalu disampaikan khotib. Bertaqwalah!.

Taqwa. Apa artinya?

Tawaf: mengelilingi Ka'bah. Larut dalam ketundukan dan kepasrahan.
Tawaf: mengelilingi Ka’bah. Larut dalam ketundukan dan kepasrahan.

Banyak versi untuk maknanya, Tapi saya kutip yang paling populer dikutip yaitu: “Melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya”

Dalam Qur’an ditegaskan:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab: 36)

Tunduk dan patuh. Itulah intinya.

Laksanakan perintah dan tinggalkan larangan dari Allah, paham atau tidak alasannya, bukanlah hal penting. Tak ada pilihan lain, bahkan bila pilihan lain itu datang dari rasio atau nurani anda.

Jelas sekali. Patuh saja titik…., don’t ask, don’t argue.

Nabi Ibrahim, Teladan Kepatuhan Tanpa Reserve

Untuk kepatuhan, tak ada tokoh yang lebih utama dari Nabi Ibrahim. Ia satu-satunya Nabi yang namanya wajib disebut bersama Nabi Muhammad dalam setiap shalat kita.

Ada dua peristiwa berikut yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan kepatuhan luar biasa Nabi Ibrahim:

Meninggalkan Hajar dan Ismail di tengah gurun.

Ia sudah tua, dan sangat menginginkan memiliki putra. Pernikahannya sekian lama dengan Sarah tidak membuahkan keturunan.

Ketika ia menikahi Hajar sebagai istri muda, Ibrahim mengharapkan mendapat keturunan darinya. Dan harapannya terkabul.

Ketika Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim sangat bergembira, Ismail adalah hadiah terindah setelah sekian lama mengharap.

Allah mengabulkan do’anya, dan Allah mengujinya.

“Tinggalkan Hajar dan Ismail ditengah gurun! “

Suatu perintah yang luar biasa. Meninggalkan seorang ibu dan bayinya di tengah gurun tanpa tempat berlindung, tanpa bekal banyak adalah sama dengan membunuhnya.

Perintah itu sama dengan: ”Bunuh Hajar dan bayinya!”

Ibrahim patuh. Ia meninggalkan keduanya di tengah terik gurun, tanpa naungan.

Segera setelah Ibrahim pergi, Hajar menghadang maut sendirian. Ditengah terik gurun, menghadapi kehausan dan bayi yang menangis.

Fatamorgana menipunya. Ia melihat air fatamorgana dan memburu untuk mendapatkannya. Ia berlari tujuh kali antara bukit Safa dan Marwa untuk ilusi air dan kecemasan akan nasib anaknya.

Luar biasa! Umat Islam mengabadikannya dalam ritual wajib ibadah haji. Haji tidak akan sah, bila tidak disertai lari-lari kecil bolak-balik tujuh kali antara Safa dan Marwa.

Allah akhirnya menyelamatkan keduanya dengan suatu mukzijat.

Sai: lari antara bukit Safa dan bukit Marwa, rekonstruksi Sarah yang cemas
Sai: lari antara bukit Safa dan bukit Marwa, rekonstruksi Hajar yang cemas

Menyembelih Ismail.

Ibrahim sudah berkumpul lagi dengan Hajar dan Ismail. Ismail sudah jadi remaja. Ia jadi kebanggaan dan kesayangan Ibrahim.

Allah mengujinya lagi. Dalam Qur’an dikisahkan:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffat: 102)

Sekali lagi, perintah yang sama dengan: “Bunuh Ismail!”

Ibrahim akan menyembelih anaknya berdasarkan petunjuk dalam mimpinya
Ibrahim akan menyembelih anaknya berdasarkan petunjuk dalam mimpinya

Ibrahim patuh. Ia tak ragu. Ia tak bertanya. Ia melaksanakannya.

Ia akan menyembelih anaknya di atas bukit. Dalam perjalanan menuju penyembelihan, setan menggodanya.

Setan membangunkan nalarnya.

Atas dasar apa seorang boleh membunuh orang lain? yang tak melakukan kejahatan? apakah berhak seseorang membunuh orang lain yang tak mengancam keselamatan siapapun?

Setan membangunkan nuraninya.

Ayah macam apa yang tega membunuh anaknya sendiri? ayah macam apa yang tak berusaha membela anaknya dengan mempertanyakan perintah pembunuhan anaknya?

Setan saat itu tidak mengajak Ibrahim melakukan kejahatan. Setan sebenarnya mengingatkan Ibrahim tentang esensi manusia yang membedakannya dari mahluk lain, yaitu bernalar dan bernurani.

Apa yang dilakukan Ibrahim? Ia melempari setan itu dengan batu, dan itu yang harus ditirukan umat Islam dalam bagian ibadah wajib mereka: Haji. Lempar jumrah adalah melempari setan, menolak pilihan nalar, menolak pilihan nurani, saat perintah agama turun.

Lempar jumrah: rekonstruksi Ibrahim melempari setan yang mencegahnya menyembelih anaknya
Lempar jumrah: rekonstruksi Ibrahim melempari setan yang mencegahnya menyembelih anaknya

Peristiwa keteguhan Ibrahim mengorbankan Ismail ini merupakan peristiwa penting yang dirayakan tiap tahun oleh umat Islam dalam salah satu hari raya besar, yaitu Idul Adha.

Nabi Ibrahim adalah tipe ideal orang beriman. Ia adalah panutan ideal agama Yahudi, Kristen dan Islam.

Qur’an menyebutnya sebagai seorang Hanif – seorang yang lurus.

Hanya dia yang namanya disebut dan di-do’akan bersama nama Nabi Muhammad di dalam duduk tahiyat akhir setiap sholat. Hanya dia yang fragmen kehidupannya dilestarikan dalam ritual ibadah haji dan diperingati tiap tahun dalam perayaan Idul Adha. Hanya Ibrahim.

Pesan kisah Ibrahim sangat jelas:
Kalau ada perintah Allah, abaikan nalar! abaikan nurani!
Nalar dan nurani adalah muslihat setan untuk mengabaikan perintah Allah.

Penekanan ini membuat umat Islam membuang semua pikiran kritis mereka tentang segala sesuatu, bila itu menyangkut Islam atau yang dilabeli Islam.

Reaksi khas muslim (terutama di kelompok literalis) bila anda kritis terhadap masalah itu adalah bertanya: “Anda muslim? sebaiknya anda lebih mendalami Islam!”

Mereka akan meragukan ke-Islaman anda, bukan mengajukan argumen terhadap pikiran kritis anda. Mereka menolak berargumen, itu tidak perlu.

Bila anda tetap ngotot mengajak debat, ingat anda sudah menjelma menjadi setan. Dan bagi mereka, saat melempar jumrah akan dimulai.

Apakah ada pandangan alternatif? Ada, saya akan sampaikan dalam tulisan selanjutnya. Cekidot…, sering mampir kesini gan!