Dalam sejarah peradaban manusia, anjing adalah binatang yang dekat dengan manusia. Dengan kecerdasannya anjing dapat mudah dilatih untuk mengerjakan beberapa tugas membantu manusia, seperti melacak jejak, mendampingi berburu, menggembala ternak dan sebagai penjaga rumah. Dengan kecerdasannya pula anjing dapat diperintahkan untuk mematuhi perintah sederhana sehingga hubungannya lebih interaktif dengan tuannya, lain dengan kucing yang lebih susah untuk dilatih.

Binatang ini dihindari di peradaban Islam
Binatang ini dihindari di peradaban Islam

Tetapi dalam peradaban Islam, anjing mendapatkan tempat yang tidak begitu bagus. Betapa tidak, jilatan anjing digolongkan sebagai najis berat (Mughallazhah), untuk menyucikannya anda harus membasuh bagian yang terkena najis itu sebanyak 7 kali dan salah satu basuhannya harus disertai dengan menggosok dengan tanah atau pasir. Luar biasa.

Karena resiko najis ini, secara tradisional kaum muslim tabu memelihara anjing dan anak-anak muslim cenderung dibekali rasa takut bila bertemu dengan anjing. Sungguh mahluk yang malang, ketika diperadaban lain dia disayangi atas kesetiaannya dan kedekatannya dengan manusia, di peradaban Islam dia adalah mahluk yang harus dihindari.

Ketika anak saya atas tugas guru agamanya di sekolah harus membuat tulisan tentang macam-macam najis, saya membantunya untuk mencari bahan-bahan di lokasi yang paling mudah, dimana? di Internet tentunya! …

Sumber Yang Mengejutkan

Sumber utama hukum Islam adalah Qur’an dan Hadits, tentunya rujukan utama untuk mencari rincian tentang najis ada disana. Tetapi sayangnya dari kedua sumber tersebut tak satupun menyebutkan tentang jenis-jenis najis.

Oh ternyata, klasifikasi tentang najis dan segala tetek bengeknya berdasarkan sumber Islam lapis ketiga yaitu perumusan ulama-ulama Fiqh.

Apa yang saya dapatkan tentang anjing dan najis? saya akan sampaikan dua buah catatan sejarah:

  1. Ibnu Umar berkata : “Anjing-anjing sering kencing didalam masjid, dan biasa keluar masuk (masjid) pada era Rasulullah dan para Sahabat tidak pernah menyiramnya sedikitpun.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani didalam Shahih Sunnan Abu Dawud no 368]
  2. Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”

Apa yang dapat kita simpulkan dari dua catatan sejarah diatas?

Pada masa Rasulullah, anjing dibiarkan berada di lingkungan kehidupan kaum muslim, bahkan bisa masuk dan kencing dalam masjid.

Kencing anjing tidak dianggap sebagai suatu najis yang serius, terbukti tidak ada tindakan yang dilakukan untuk membersihkannya di tempat ibadah yang seharusnya suci(masjid). Hal ini tentu tidak bisa diterima pada masa sekarang dimana bekas kencing anjing (walau sudah kering) adalah kotor secara higienis dan bau.

Hadis kedua menjelaskan bahwa jika anjing menjilat bejana (yang penggunaannya secara umum pada masa itu adalah untuk menyimpan air bersih atau masakan) maka, kita harus membersihkannya dengan dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.

Pada masa sekarang, bila wadah makan kita terkena kotoran (bisa dari jilatan anjing, jilatan kucing atau kejatuhan barang yang kotor), maka kita akan segera mencucinya dengan sabun, sebelum menggunakannya kembali. Suatu tindakan higienis yang wajar.

Pada masa Rasulullah, belum ada sabun dan dengan keterbatasan air (ingat Arab adalah wilayah yang didominasi gurun), maka cara menghilangkan kotoran palling baik adalah menggosoknya dengan tanah kemudian mencuci berulang-ulang (7 kali).

Saya tidak yakin hadis diatas mengajarkan bahwa ada kotoran yang bernilai religius dan membutuhkan pembersihan yang religius pula. Yang saya tangkap adalah tindakan higienis yang perlu untuk membersihkan kotoran yang kebetulan adalah jilatan anjing.

Jika Rasulullah masih hidup, tentu saya akan menanyakan bagaimana jika yang menjilat itu kucing, kuda, unta atau binatang lain? bukankah itu juga kotor – tidak higienis. Jika Rasulullah masih hidup, tentu saya akan menganjurkan membersikannya dengan sabun antiseptic yang manjur membunuh semua kuman.

Nalar Yang Berbeda, Sikap Wara’

Apakah logika higienis saya wajar? wajar, ya. Akan tetapi ada logika lain yang dikembangkan mayoritas ulama Fiqh dalam sejarah Islam yaitu sikap Wara’ atau hati-hati.

Dalam pandangan mayoritas ulama fiqh, ada hal yang jelas hitam (haram), ada hal yang jelas putih (halal) sedangkan sisanya adalah wilayah abu-abu. Hal yang abu-abu tidak pernah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits dan akan selalu bertambah banyak seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Hal yang abu-abu bisa jadi adalah putih bisa jadi hitam karena keterbatasan pemahaman kita. Hal yang hitam akan bisa mendatangkan dosa kepada kita. Repotnya bagi kebanyakan ulama fiqh, Allah adalah semacam birokrat yang saklek, anda berbuat salah, anda akan dihukum – apapun alasannya, termasuk ketidak-tahuan kita.

Awas Anjing, awas najis!
Awas Anjing, awas najis!

Para ulama mengembangkan sikap wara’ (berhati-hati), untuk menghindari yang hitam: Jalankan hanya yang putih, jauhi semua yang abu-abu. Suatu sikap yang tragis. Tragis karena dunia selalu berkembang, hitam dan putih yang telah ditentukan cuma itu-itu saja, sisanya adalah wilayah abu-abu yang berkembang terus.

Bagi kelompok wara’ ini yang mereka ambil hanyalah yang putih, sedangkan yang lain (termasuk abu-abu) adalah hitam. Akibatnya mereka hidup dalam ketakutan yang tidak wajar bagi pandangan yang lain. Sedikit-sedikit haram, sedikit-sedikit terlarang. Bisa kita lihat dari sikap ulama yang mengharamkan radio, telpon pada awal tahun 20-an di Saudi, atau larangan nonton film, facebook, bahkan demokrasi di Indonesia.

Kalau dalam bahasa gaul sekarang, wara’ lebih cocok dengan kata parno (paranoid)

Kok melantur?…

Kembali ke najis anjing. Sikap parno ini yang membuat ulama memandang hadis kedua dengan cara yang berbeda.

Jangan-jangan ludah anjing juga haram untuk hal lain.  Jadi harus dicuci 7 kali (plus tanah).

Ludah anjing pasti ada disekujur tubuh anjing karena dia membersihkan badan dengan jilatan lidahnya, jadi tersentuh anjing pasti najis juga. Jadi bila tersentuh anjing, atau diendus anjing, maka kita wajib mensucikannya dengan cara di atas.

Berbagai jangan-jangan inilah yang menyebabkan umat Islam menjadi jauh dari anjing, dan anak-anak Islam cenderung takut pada anjing.

Padahal jika dilihat di riwayat pertama, bahkan kencing anjing yang lebih kotor tidak dianggap sebagai najis yang serius.

Dan bila anjing dibiarkan di lingkungan umat Islam pada masa Rasul, tentunya kemungkinan  anjing itu mengendus manusia sangat banyak, tetapi kita tidak pernah mengetahui instruksi nabi untuk mencuci tangan kita atau baju kita tujuh kali dengan air disertai tanah disalah satu basuhannya.

Semua instruksi itu ada di level ulama fiqh.

Trus bagaimana?

Saya akan mencuci wadah makan saya dengan sabun bila dijilat anjing. Tetapi tidak terbatas dengan anjing. Kucing juga, bahkan bila yang menjilat orang lain, siapa tahu dia lagi pilek….

Untuk anjing, saya tidak memeliharanya. Tetapi saya dan anak saya suka membelai anjing bila kebetulan menemukan anjing yang jinak dan lucu. Saya akan cuci tangan dengan sabun setelahnya bila mau makan, tapi hal yang sama saya lakukan juga setelah membelai kucing kami.

Saya ingin beragama dengan wajar, tidak ketularan sikap parno yang tidak perlu.

Sekian