Ada yang menarik ketika sebuah bencana alam terjadi, dari beragam tanggapan yang muncul disekitar kita atau di media, ada dua macam tanggapan yang sangat khas, tanggapan ilmuwan dan tanggapan agamawan.

Tanggapan ilmuwan umumnya berkisar pada bagaimana peristiwa bencana tersebut bisa terjadi. Mereka akan membahas mekanisme yang memicu bencana tersebut, bisa dari sebab alami maupun akumulasi perubahan pada alam yang dilakukan oleh manusia.

Tanggapan agamawan umumnya berkisar pada tindakan Tuhan. Jika bencana itu menimpa kelompok yang sama dengan agamawan tersebut, maka mereka akan bicara tentang Tuhan yang memberi peringatan atau ujian pada kaum beriman. Jika bencana itu menimpa kelompok yang berbeda dengan agamawan tersebut, maka mereka akan bicara tentang Tuhan yang menghukum para kafir. Tidak lupa mereka akan menunjukkan berbagai tindakan manusia yang dianggap tidak disukai Tuhan, hingga menyebabkan Tuhan memberikan bencana tersebut.

Saat terjadi tsunami Aceh, ilmuwan menunjukkan rekaman pergerakan lempeng bumi penyebab gempa dasar laut pemicu tsunami, agamawan berbicara tentang maksiat di bumi Aceh dan penerapan syariat yang separuh hati.

Tsunami Aceh. Siapa dibaliknya?

Saat gunung Kelud meletus, ilmuwan mengingatkan tentang siklus letusan Kelud, agamawan bicara tentang maraknya pesta hari Valentine yang membuat Allah murka.

Saat banjir melanda Jakarta di awal 2014, ilmuwan kembali menyinggung rusaknya wilayah tangkapan hujan di Bogor dan drainase buruk Jakarta, agamawan tunjuk salahnya Pemda DKI yang selenggarakan pesta besar rakyat untuk sambut tahun baru yang tak direstui Allah.

Secara sederhana, perbedaan tanggapan tersebut berakar dari dua macam pertanyaan awal yang mendasarinya, yaitu ‘Bagaimana?’ itu terjadi dan ‘Siapa?’ yang melakukannya.

Mengapa tanggapan khas tersebut bisa muncul?

‘Siapa’ manakala tak tahu ‘Bagaimana’

Pertanyaan ‘siapa’ bisa jadi menjadi satu-satunya pertanyaan yang masuk akal bagi manusia kuno. Pertanyaan ‘bagaimana’ membutuhkan kemampuan untuk memahami proses yang mengantarkan sesuatu bisa terjadi, misalnya hukum alam – sesuatu yang asing bagi masyarakat kuno.

Ketika mereka melihat matahari melintasi langit membawa cahaya dan kehangatan,  mereka tak mampu memahami apa dan mengapa matahari bisa begitu. Lebih mudah untuk menduga bahwa matahari adalah Dewa, cahaya dan panas hanyalah sifat dari sang Dewa itu, tak perlu ditanya mengapa. Lebih mudah bertanya: siapa dia? dan orang Mesir kuno menamainya Ra, orang Jepang kuno menamainya Amaterasu.

Matahari dalam kepercayaan Mesir kuno adalah Dewa Ra yang melintasi langit tiap hari dengan perahunya

Ketika petir keras menggelegar dilangit, mereka tak mampu memahami bagaimana alam bisa berlaku seperti itu. Mereka belum punya kapasitas untuk memahami segala macam teori tentang listrik statis di awan. Pasti itu hasil ulah suatu pribadi. Lebih mudah bertanya: ulah siapa? Oh itu Thor yang menghantamkan palunya, atau itu tanda kemarahan Indra.

‘Bagaimana’ yang menggantikan ‘Siapa’

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia semakin berkembang.

Dengan teropongnya matahari ternyata adalah bola api yang menyala di langit. Dengan pengetahuan tentang listrik, ternyata petir adalah lompatan listrik dari akumulasi listrik statis di awan.

Manusia sudah mulai tahu ‘mengapa’ matahari itu begitu atau petir itu begitu.

Ternyata bukan dewa, melainkan hanya bola api raksasa di langit

Jawaban-jawaban yang dulu dipakai untuk pertanyaan tentang ‘siapa’ matahari atau ‘siapa’ yang melontarkan petir; menjadi tidak lagi relevan. Dengan mengetahui ‘bagaimana’, maka Dewa Ra atau Dewa Amaterasu yang pernah menjadi tujuan sembah dan tujuan pengabdian bergeser menjadi hanyalah dongeng dan mitos yang berasal dari masa kuno. Dewa Thor atau Dewa Indra yang melontarkan petir menggelegar membelah langit, ternyata hanya karangan orang-orang dahulu.

Para Dewa itu ternyata hanyalah jawaban dari pertanyaan yang salah, yaitu pertanyaan ‘Siapa’?, karena memang tidak ada siapa-siapa dibalik fenomena tersebut. Itu hanya mekanisme alam, yang lebih tepat ditanya dengan pertanyaan ‘bagaimana?’.

Mengapa menanyakan ‘Siapa’?

Manusia adalah mahluk yang selalu tertarik untuk menjelajah dan memahami apapun yang ada dalam lingkungan hidupnya.

Dengan mengetahui dan memahami apa yang ada disekelilingnya, manusia bisa menentukan sikapnya untuk menghadapi setiap yang ada di lingkungan hidupnya. Bila berbahaya, ia bisa segera menghindar; bila bermanfaat, ia bisa manfaatkan atau kumpulkan untuk digunakan kelak.

Bagaimana jika ia sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang dihadapinya? Mudah, proyeksikan saja bahwa ada suatu pribadi dibalik apa yang tidak ia ketahui tersebut, menebak apa maunya sehingga ia bisa mengantisipasi apa yang kira-kira akan ia hadapi.

Bisa jadi ‘pribadi’ itu gendruwo di pohon besar, pocong dari kuburan sebelah, arwah anak yang durhaka, jin kafir, setan penghuni neraka, malaikat atau bahkan dewa.

Dengan mengetahui ‘siapa’, ia bisa menentukan sikapnya agar tak celaka atau bahkan bisa menarik keuntungan dari ‘siapa’ tersebut. Dengan  mengetahui ‘siapa’, ia bisa menentukan persembahan yang cocok, misalkan hasil panen, binatang kurban, atau sekedar ritual ibadah yang cocok untuk sang dewa agar tak marah.

Masih pentingkah pertanyaan ‘Siapa’?

Masyarakat modern, sudah memiliki berbagai macam perangkat ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme alam yang jauh lebih maju dari masyarakat kuno, masih pentingkah pertanyaan ‘siapa’?

Jika semesta bisa tercipta spontan dari ketiadaan akibat fluktuasi kuantum, Tuhan sebagai jawaban pertanyaan ‘Siapa pencipta semesta?’, menjadi tidak relevan lagi. Akan tetapi ‘siapa’ bisa dipakai untuk pertanyaan: ‘Siapa yang menciptakan hukum kuantum?’ atau ‘Siapa yang membuat segala sesuatu bisa diterangkan dengan hukum alam?’.

Jadi selama ‘siapa’ adalah pengganti sementara untuk apa yang tidak kita ketahui, maka ia akan selamanya penting. Akan ada selalu yang tidak kita ketahui dalam semesta ini.

Akan tetapi, jika kita mempelajari perjalanan sejarah, kita sudah banyak melihat bahwa pertanyaan ‘Siapa’ selalu terbukti menghadirkan jawaban yang salah. Tidak ada Dewa Ra atau Amaterasu – hanya bola api matahari yang mengapung di angkasa. Tidak ada Thor atau Indra – hanya lompatan muatan listrik yang melecutkan petir dahsyat membelah langit.

Jika selama ini pertanyaan ‘Siapa’ terbukti hanya menghasilkan sosok imajiner, bukankah sudah saatnya untuk dengan sederhana mengatakan yang ‘tidak tahu’ sebagai ‘tidak tahu’ saja. Kita tidak perlu lagi menebak dengan bertanya ‘Siapa?’.

Kita hanya cukup mengatakan ‘tidak tahu’ kenapa ada hukum kuantum atau mengatakan ‘tidak tahu’ kenapa segala sesuatu bisa diterangkan dengan hukum alam.

Bisa jadi kelak kita bisa mengungkap rahasianya, atau akan selamanya menjadi sesuatu yang kita tidak tahu.

Lebih baik kita bertanya dengan pertanyaan ‘Bagaimana?’, yang terbukti sudah membuka banyak rahasia semesta dan bermanfaat untuk kehidupan kita.