Pernah dengar Agama Kapitayan?

Kalau anda tahu agama cuma dari sekolah dan ceramah agama, dijamin nama Kapitayan tak pernah terdengar bagi anda.

Kapitayan adalah agama regional Nusantara yang bekasnya bisa ditemukan mulai dari wilayah Indocina, Semenanjung Malaka hingga kepulauan Nusantara. Di Jawa lamat-lamat kehadirannya bisa kita rasakan pada filosofi perwayangan.

Agama ini nyaris terlupakan, namun filosofi dasarnya, lamat-lamat bisa kita tangkap pada religiusitas manusia modern. Apa itu? baiknya kita tinjau sejenak Kapitayan.

Saya tidak akan menuliskan Kapitayan sebagaimana adanya, karena anda bisa mendapatkannya dari berbagai sumber lain yang lebih akurat.

Sebagai gantinya, saya sampaikan semangat Kapitayan yang saya leburkan dalam kerangka kehidupan manusia modern. Ini Kapitayan versi 2.0.

Puncak Eksistensi Yang Tak Tergambarkan

Apa yang dipuncak eksistensi segala sesuatu, yang menjadi sumber segala sesuatu?
Agama samawi akan menjawabnya dengan Allah, yang menciptakan segalanya, yang Maha Sempurna, yang Maha Kuasa, pokoknya yang Maha Segalanya.

Apa kata Kapitayan?
Sumber segala sesuatu dan puncak eksistensi adalah ketiadaan, kekosongan, kehampaan yang mutlak. Kekosongan ini berbeda dengan ruang kosong yang bisa kita lihat dilangit, yang menjadi wadah dari semua bintang dan galaksi. Kekosongan mutlak berarti tak ada satupun disana, termasuk ruang, termasuk waktu.

Jika harus diberi nama itulah Sang Hyang Taya (dimana nama Kapi-Taya-n berasal). Taya sendiri bermakna suwung, hampa atau kosong.

Karena kita selalu hidup dalam alam yang memiliki dimensi materi, ruang dan waktu; maka kekosongan mutlak dimana tidak ada ruang, waktu, materi benar-benar diluar jangkauan imajinasi kita. Sang Hyang Taya berbeda dengan apapun yang bisa dibayangkan manusia. Dia tidak seperti apa-apa, yang dalam bahasa Arab disebut “mukhalafatu lil hawaditsi”.

Karena tak seperti apapun, Sang Hyang Taya tak bisa diapa-apakan, tak bisa dilihat, tak bisa dimintai, tak bisa dimanfaatkan. Orang Jawa Kuno menyebutkan Sang Hyang Taya sebagai “tan keno kinoyo ngopo” – tak bisa diapa-apakan.

Hantu dan Tuhan

Sang Hyang Taya tak ikut campur dalam semesta ini, akan tetapi ada bayang kehadirannya yang bisa ditangkap manusia di dunia ini.

Bayang kehadiran Sang Hyang Taya adalah kekuatan ghaib yang disebut “Tu”. Tu hadir dalam pasangan sifat yang saling meniadakan. Tu yang bersifat negatif disebut Han-Tu, sedangkan Tu yang bersifat positif disebut Tu-han.

Pada Hantu, manusia membujuknya melalui sesaji agar kejahatan atau keburukan Hantu tidak mengganggu hidup mereka.

Pada Tuhan, manusia menyembahnya dan berusaha agar sifat-sifat kebaikan Tuhan tercermin dalam kehidupan mereka.

Memilih untuk membujuk Hantu atau menyembah Tuhan bagi penganut Kapitayan hanyalah pilihan jalan. Tidak menjadi masalah pilih yang mana, asal semuanya bisa menghasilkan kebaikan bagi yang menjalankannya. Dengan pandangan tersebut penganut Kapitayan tidak mempermasalahkan tentang berbagai agama yang ada dengan ritualnya masing-masing.

Ujung Membujuk Hantu

Pada masyarakat dengan pendidikan rendah, alam penuh dengan kekuatan yang tak bisa mereka pahami. Penyakit, bencana, kegagalan, selalu dikaitkan dengan campur tangan kekuatan Hantu-Hantu. Bagi mereka para Hantu bersemayam di pohon yang besar, batu besar, gunung, sungai atau simpang jalan yang mereka lalui. Jika tak dibujuk para Hantu bisa sangat mengganggu kehidupan mereka, untuk itu mereka akan secara rutin memberikan sesaji untuk membujuk para Hantu agar tidak mengganggu.

Untuk sesaji ini, tiap Hantu memiliki selera masing-masing tergantung dimana Hantu tersebut bersemayam.

Ada berapa macam Hantu? banyak sekali. Semakin penakut, sepertinya semakin banyak Hantu yang harus dibujuk.

Apakah para Hantu berjalan sendiri-sendiri dan mempunyai kedudukan yang sama? Tidak..

Semua Hantu tunduk pada penguasa Kahyangan yang disebut Sang Hyang Manikmaya. Manikmaya berarti permata khayalan.

Apa artinya? artinya semua Hantu pada hakikatnya hanyalah buah dari khayalan manusia yang takut pada hal yang tak diketahuinya.

Para Hantu itu hanyalah khayalan.

Ujung Menyembah Tuhan

Pada masyarakat yang lebih terdidik, mereka tidak terlalu risau pada cerita Hantu penghuni batu besar atau pohon angker.

Mereka lebih memusatkan diri pada pencapaian status ekonomi dan sosial yang tinggi dalam masyarakatnya. Untuk itu mereka lebih memilih untuk mendapatkan limpahan kebijaksanaan, kebajikan, kemurah hatian dan segala macam kebaikan dari sumber kebaikan, yaitu Tuhan.

Berbeda dengan membujuk Hantu yang harus dilakukan dengan banyak jalan sesuai dengan macam Hantu, menyembah Tuhan hanya ditujukan pada personifikasi Tuhan yang disebut Sang Hyang Tunggal (Yang Esa).

Menyembah Sang Hyang Tunggal dilakukan melalui pengarahan hati dan pikiran melalui ritual yang disebut sembahyang dan puasa. Ritual sembahyang ini dilakukan dalam waktu-waktu tertentu di sanggar dan meliputi rangkaian gerak tubuh yang terdiri dari berdiri, duduk dan sujud.

Dengan bersungguh-sungguh melakukan sembahyang dan puasa, diharapkan sifat-sifat kebaikan Tuhan akan terserap dalam diri pemeluk yang taat tersebut.

Jika sifat kebaikan sudah dapat terserap dalam diri, apalagi yang bisa diharapkan?

Puncak pencapaian penyembahan Tuhan adalah ketika manusia sudah berhasil melebur menjadi satu dengan Tuhannya, Manunggaling Kawulo Gusti. Dalam tingkat kesadaran tersebut, tidak dirasakan lagi beda antara manusia dan Tuhannya.

Dalam sejarah ada 2 tokoh sufi Islam yang menyatakan mencapai tahap ini yaitu Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Dalam puncak dzikirnya, kedua orang ini mengucapkan “Aku adalah Allah”. Atas pernyataan ini, keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu dihukum mati oleh ulama lainnya.

Bagaimana pandangan mereka tentang Tuhan yang telah berhasil mereka temui? ada sebuah syair dari Al-Hallaj berikut:

Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku,
kusapa Dia “Siapa Kamu?”
Dia jawab “Kamu”

Bima, pencarian Tuhan

Ada juga kisah dalam pewayangan Jawa yang menggambarkan penyatuan manusia dan Tuhannya, yaitu lakon Dewa Ruci.

Dalam kisah ini Bima atas petunjuk Durna gurunya mencari air Prawitasari (intisari kehidupan). Setelah pencarian ke seluruh ujung dunia, Bima bertemu dengan Dewa Ruci yang menyuruhnya masuk ke telinganya untuk mendapatkan air tersebut.  Setelah Bima masuk ke telinga sang dewa, terkuaklah segala tabir kehidupan. Bima mengalami perasaan diri yang sempurna yang merupakan intisari kehidupan itu sendiri.

Dan bagaimanakah Dewa Ruci yang memberikan puncak diri yang sempurna itu? Dewa itu ternyata dirinya sendiri yang berwujud lebih kecil.

Apa artinya?

Puncak penyembahan Tuhan adalah saat manusia menyadari bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia.

Tuhan tiap manusia adalah diri mereka sendiri dalam sosok yang sempurna. Tuhan adalah sifat-sifat ideal yang dibayangkan manusia dan diproyeksikan ke dalam pribadi sempurna diluar dirinya, sebagai Tuhan.

Tuhan adalah sangkaan manusia.

Untuk Apa Hantu dan Tuhan?

Jika Hantu hanyalah khayalan dan Tuhan hanyalah sangkaan, untuk apa mereka ada?

Dalam Kapitayan, Sang Hyang Taya sebagai puncak eksistensi tidak membutuhkan apapun.

Semesta muncul dari kekosongan dan kelak kembali ke kekosongan tanpa kehendak dari siapapun. Semesta ini hanya satu diantara jutaan kemungkinan semesta yang bisa ada. Kebetulan saja manusia muncul di semesta ini, kelak akan musnah kembali ke kekosongan tanpa bekas sama sekali. Secara obyektif, tak ada tujuan dalam kehidupan manusia.

Akan tetapi manusia mempunyai satu hal yang tak dimiliki oleh mahluk lainnya, yaitu kesadaran diri dan kehendak bebas.

Dengan kesadaran diri dan kehendak bebasnya, manusia mengubah dirinya dari sekedar mahluk tanpa tujuan menjadi mahluk yang ingin mencapai sesuatu. Jika alam obyektif tidak menunjukkan tujuan hidup manusia, maka subyektifitas manusialah yang menentukan sendiri tujuan hidupnya. Disinilah peran Tuhan dan Hantu.

Tuhan dan Hantu adalah penyedia “perasaan bertujuan” yang secara efektif terbukti berhasil memberikan arah kehidupan manusia.

Semar, Berdamai Dengan Realitas

Salah satu tokoh penting dalam Kapitayan adalah Semar.

Namanya berasal dari kata samar – tidak jelas. Kalau laki-laki, wajahnya mirip wanita. Kalau wanita, perawakannya mirip laki-laki. Wajahnya seperti menangis, tetapi juga seperti tertawa. Pada ketawanya tercampur suara terkekeh he.. he.. he.. dengan suara tersedu hu…hu..hu.. ; sehingga berbunyi heu.. heu.. heu..

Ini adalah tokoh yang telah mampu melihat realitas kehidupan yang ternyata berasal dari Sang Hyang Taya dan menuju kepada Sang Hyang Taya kelak. Dari yang suwung, hampa dan kosong menuju yang suwung, hampa dan kosong . Tanpa arti.

Tak ada lagi yang terlalu gembira atau terlalu sedih, baginya semuanya hakikatnya sama.

Semar karakter penting Kapitayan

Semar tidak mengambil peran sebagai pengatur kehidupan banyak orang, walau memiliki kebijaksanaan, ia memilih hidup sebagai pelayan tuannya.

Ia memilih membiarkan dirinya diatur oleh para raja dengan kekuasaannya, ia memilih mendengarkan para begawan memberi nasehat tentang nilai luhur, ia memilih membiarkan para ksatria menggunakan pedangnya mengatur dunia, ia memilih tunduk patuh pada para Dewa yang memiliki kuasa ghaib.

Akan tetapi manakala kekacauan tak terkendali dan mengancam seluruh rakyat, ia bertindak. Ia tunjukkan mana yang benar, ia tunjukkan bahwa semua kesaktian dewa, kekuasaan raja, kekuatan ksatria dan nilai luhur para begawan adalah omong kosong. Saat semua menghadapi dengan andalan mereka, Semar hadapi dengan “prettt…” – dengan kentutnya.

Semua kesaktian dewa, kekuasaan raja, kekuatan ksatria dan nilai luhur begawan; hanyalah omong kosong jika ternyata melawan kebenaran, melawan kemanusiaan.

Lalu, Bagaimana Dengan Hidup Kita?

Jika semua Tuhan, Hantu, dan segala macam konsep agama berakar dari manusia, maka tentunya semua itu tak berarti bila melanggar kemanusiaan itu sendiri.

Semua Tuhan, Hantu dan agama boleh hidup dan mengatur kehidupan kita, akan tetapi manakala semua itu mulai memakan kemanusiaan kita, mulai menjadikan kita bukan seperti manusia; kita harus abaikan itu.

Jika ada pemuka agama yang berapi-api menyuruh kita menyakiti orang yang tak bersalah hanya karena alasan agama, maka tak salah kalau kita bilang “prettt…”

Jika ia mengancam dengan neraka, kentuti saja….


Bacaan: