Satu harta paling berharga yang dimiliki manusia adalah Pilihan Bebas.

Setiap saat manusia memutuskan apa yang dipikirkan atau dilakukan, secara sadar atau tidak sadar. Hidup kita saat ini adalah hasil pilihan-pilihan yang telah kita lakukan sampai saat ini sejak dari masa kelahiran kita.

Apakah segala sesuatu bisa menjadi obyek pilihan manusia?
Ya.

Apakah cara memandang Tuhan dan kehidupan termasuk dalam pilihan?
Ya juga…

Ciyus… miapah?
Ya ampun …

Apa yang bisa dipilih manusia dalam memandang Tuhan dan kehidupannya?

Manusia: Tikus Dalam Labirin

Ini adalah gambaran yang bisa kita tangkap tentang Tuhan dan kehidupan yang dipilih oleh para fundamentalis.

Apakah kita sekedar tikus percobaan sang Tuhan?

Siapa Tuhan dalam gambaran ini?

Tuhan adalah sosok maha kuasa, maha kaya, dan maha sempurna. Karena sudah sempurna, pasti Tuhan tak butuh apa-apa, tak punya keinginan apa-apa,  karena Tuhan pasti sudah punya segala sesuatu.

Tuhan yang tak butuh apa-apa ini ternyata, pada satu titik waktu butuh menciptakan alam, hukum dan segala macam aturan. Setelah segala macam setting itu siap, manusia diciptakan dan dicemplungkan ke alam.

Manusia ini diberi kehendak bebas, yang boleh dikata hanyalah ilusi. Kenapa? karena jika ia memilih yang tidak disukai Tuhan, maka ia akan dihukum atas pilihannya itu. Ini seperti ungkapan: Kamu bebas pilih warna apa saja, asalkan putih (terus buat apa bebas?).

Apa peran manusia disini?

Manusia hanyalah penggenap pada segala macam aturan dan setting yang sudah disiapkan oleh Tuhan.

Manusia tidak ditanya atau dilibatkan Tuhan dalam menyusun aturan, akan tetapi manusia harus ikut aturan itu dalam hidupnya.

Yang pintar hanya Tuhan. Tuhan yang menciptakan segalanya, jadi hanya Tuhan yang tahu tentang kebenaran. Manusia adalah mahluk bodoh. Apapun yang diketahui manusia, baik itu dari nalarnya ataupun dari perasaannya; hanyalah ilusi dibandingkan dengan kebenaran sejati yang hanya diketahui Tuhan sang pencipta.

Memasukihidup, memasuki labirin

Tikus dalam labirin adalah analogi yang tepat untuk nasib kita.

Ya kita adalah tikus dan semesta ini adalah labirin rumit yang diciptakan oleh ilmuwan iseng yang menguji kita. Kenapa ilmuwan iseng? karena dia sudah tahu segalanya, jadi pasti tak butuh menguji apapun.

Ya kita adalah tikus malang yang diciptakan untuk celaka.

Bagaimana tidak malang, labirin yang kita lalui mempunyai banyak ujung, tetapi hanya satu yang berakhir di kotak keju (atau yang dinamakan surga), sedangkan ujung-ujung yang lain adalah kandang berisi kucing lapar (neraka).

Bagaimana tidak malang, Tuhan lewat pesuruhnya juga mengatakan kebanyakan tikus (manusia) akan tersesat (dan berakhir di kandang kucing lapar), hanya sedikit tikus (manusia) yang akan selamat karena berpegang teguh kepada petunjuk sang ilmuwan (agama yang lurus, tali Allah atau apapun namanya).

Bagaimana tidak malang, atas nasib sebagian besar tikus (manusia) yang dirancang malang, kita harus menyatakan bahwa sang ilmuwan adalah maha pengasih dan penyayang? Bukankah sang ilmuwan sudah merancang segalanya, juga nasib malang yang akan menimpa sebagian besar tikus?, apakah kita memang diperintahkan untuk berbohong juga?

Bagaimana kehidupan manusia tikus?

Satu hal pokok dalam pandangan para tikus manusia ini: manusia tidak penting, ia hanyalah penggenap keisengan Tuhan; manusia bodoh dan tak patut dipercaya pikirannya, karena hanya Tuhan yang tahu segalanya dan pandai.

Bodoh dan tidak pentingnya manusia menjadikan manusia harus dikalahkan manakala berhadapan dengan Tuhan, agama atau apapun yang bisa dilabeli “dari Tuhan”.

Kita tentu masih ingat konflik Israel – Palestina yang berlarut-larut. Disisi ujung kedua belah pihak berdiri ekstrimis Islam dan ekstrimis Yahudi, bagi mereka solusi akhir adalah kemenangan kebenaran (yang berarti pihak mereka) dan kehancuran iblis (yang berarti pihak lawan). Bagi mereka manusia dan kemanusiaan tidak penting dan bisa dikorbankan untuk meraih kedaulatan Tuhan (ironisnya Tuhan mereka adalah sama). Bagi mereka, diplomasi adalah basa-basi untuk memberi waktu mempersiapkan diri menyerang musuh. Jika kedua ekstrimmis ini masih dianggap penting di kedua belah pihak, maka perdamaian tidak bisa diharapkan terjadi.

Kita juga ingat Taliban yang menembak gadis 14 tahun karena bersekolah dan memberi semangat para gadis untuk bersekolah. Menurut Taliban, hukum syariah yang berasal dari Allah melarang wanita untuk sekolah.

Kita juga ingat sebuah sekte Kristen di Amerika yang beberapa tahun lalu dibubarkan aparat keamanan karena memaksa para gadis untuk hidup dalam perkawinan poligami. Menurut mereka itu adalah cara berkeluarga yang dikehendaki Tuhan.

Apa alasan mereka? hak Tuhan diatas hak manusia. Jika Tuhan berkehendak, manusia harus dikalahkan.

Dengan pandangan ini, para tikus sangat meresahkan dan mengancam manusia yang lainnya.

Ancaman ini nyata, ribuan nyawa telah melayang, ribuan orang terusir dari rumahnya; semuanya karena adanya upaya “meluruskan” manusia dari ilusi bahwa manusia penting dan mampu mengatur dirinya sendiri.

Apa perlunya agama yang menjadikan manusia sebagai tikus dalam labirin?

Manusia: Dewa Semesta

Ini adalah pandangan optimis yang terasa berlebihan, tapi kemajuan yang telah dicapai manusia dan yang diramalkan di masa depan menggoda kita untuk berpikir bahwa ini adalah gambaran yang sesuai.

Siapa Tuhan dalam gambaran ini?

Tuhan adalah pencipta semesta, dan menugaskan manusia mewakili-Nya sebagai penguasa semesta. Manusia adalah Khalifah semesta ini.

Tuhan tak butuh apa-apa dari manusia, tidak butuh mau tahu dan turut campur pada kehidupan di semesta ini.

Tuhan mungkin membimbing peradaban manusia pada masa awal perkembangannya lewat para Nabi dengan dongeng agamanya, akan tetapi ketika pranata peradaban manusia sudah mampu menemukan jalan mengatur dirinya, Tuhan tidak lagi menurunkan Nabi atau dongeng agamanya.

Peradaban manusia yang dewasa sudah tak perlu baby siter (para Nabi).

Thor, dewa petir dalam sebuah film

Dewa Semesta adalah analogi yang cocok bagi manusia.

Kita adalah dewa, kita diperlengkapi dengan pusaka maha dahsyat, yaitu nalar dan metode ilmiah.

Kita adalah dewa, yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri dan semesta ini dengan pusaka yang kita miliki

Kita adalah dewa, selain aturan yang kita sepakati diantara manusia, tak ada lagi aturan yang berasal dari kesadaran luar manusia yang harus kita patuhi.

Aturan dari luar manusia boleh tetap ada, tetapi manakala aturan itu sudah tidak sesuai dengan manusia, aturan itu harus ditinggalkan.

Bagaimana kehidupan manusia dewa?

Pusat pandangan manusia dewa adalah: manusia dan kemanusiaan adalah sangat penting.

Sebagai penerima mandat Tuhan, semua yang ada di semesta ini ditundukkan kedalam kerangka nilai-nilai manusia.

Salah satu manifestasi pentingnya manusia adalah semakin diterimanya nilai kemanusiaan universal di semua pemerintahan dunia, seperti: kebebasan berpendapat, persamaan hak dan kewajiban manusia didepan hukum, pembatasan dan pengendalian kekuasaan.

Nilai-nilai kemanusiaan ini bahkan secara umum sudah ditempatkan diatas agama yang dipercaya adalah kumpulan nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan.

Di Indonesia, anda dijamin haknya untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama. Akan tetapi manakala ajaran-ajaran agama yang anda percayai mengancam kehidupan yang lain, maka anda dilarang untuk melaksanakan ajaran agama anda, sekuat apapun dalil agama yang anda miliki.

Sebagai contoh: hukum rajam, potong tangan, berjihad melawan kafir, perbudakan; mempunyai landasan hukum yang kuat dalam Qur’an dan Hadis, akan tetapi hukum itu tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan modern. Jadi hukum Indonesia melarang anda untuk melaksanakan aturan-aturan agama seperti di yang saya sebut tersebut. Di Indonesia, hukum manusia ditempatkan di atas hukum Islam yang dipercaya berasal dari Tuhan.

Jadi bagaimana dengan hak Tuhan?

Bagi Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum di UCLA, Amerika Serikat: Hak azazi manusia di atas hak azazi Tuhan. Pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya.

Bagi Gus Dur: Belalah kaum lemah yang tertindas (manusia) karena merekalah yang membutuhkan pertolongan, tidak usah repot-repot membela Tuhan, karena Tuhan lebih dari mampu untuk membela diriNya sendiri.

Dengan pandangan ini, manusia dibebaskan menentukan apa yang terbaik bagi kehidupan mereka sendiri.

Manusia tak usah terbelenggu dengan sesuatu yang diluar dirinya sendiri, manusia bisa menggunakan agama atau sesuatu yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Manusia adalah khalifah Allah di semesta ini. Jika Allah mengambil jabatan Tuhan, sudah cukup kalau kita menganggap diri kita Dewa semesta kita sendiri.

Tikus Dalam Labirin Atau Dewa Semesta?

Kedua pandangan ini akan selalu tetap ada. Anda pilih yang mana?

Saya sih pilih jadi Dewa…

Ciyus… miapah…