Tuhan dan evolusinya? kurang ajar benar sampeyan… memangnya Tuhan itu semacam mahluk yang butuh evolusi untuk bisa sempurna? Tuhan adalah sempurna sejak dari alam ini belum diciptakan hingga kelak saat alam ini berakhir. Ia tidak butuh berubah karena Ia sudah sempurna.

Baiklah kalau tidak setuju istilahnya, saya tidak akan membahas evolusi Tuhan. Sebagai gantinya saya akan membahas berbagai jenis Dewa-Dewi yang dikenal dalam kebudayaan manusia.

Dewa Penguasa Binatang

Ini adalah tipologi Dewa paling awal yang dikenal manusia. Dewa bersosok setengah manusia dan setengah binatang ini terekam pada lukisan di dinding gua-gua prasejarah.

Dewa Penguasa Binatang ini sangat sesuai dengan masyarakat pendukungnya yang merupakan masyarakat semi nomaden pemburu dan peramu yang tiap hari harus berhadapan dengan resiko perburuan dan menghadapi binatang buas.

Pada Dewa Penguasa Binatang inilah manusia memohon agar mereka sukses dalam berburu dan selamat dari terkaman binatang pemangsa.

Roh Rajawali pada Totem suku Indian Ketchikan Alaska
Totem suku Indian Ketchikan Alaska yang melambangkan Roh Rajawali

Kita dapat melihat sosok Dewa ini pada kepercayaan Shamanisme yang berkembang di suku-suku pemburu yang pernah ada di seluruh dunia.

Sedangkan pengambaran fisiknya terdapat  pada lukisan-lukisan dinding purba yang menggambarkannya sebagai manusia berkepala hewan. Di suku Indian Kanada sosoknya kita dapati sebagai Roh Rajawali yang selalu dipahat di posisi teratas totem mereka.

Dewi Kesuburan

Ketika manusia berhasil menjinakkan binatang untuk dijadikan ternak dan bertani, mereka mulai membangun pemukiman dan meninggalkan kehidupan nomaden sebelumnya.

Mereka menjadi lebih tergantung kepada hasil pertanian dan peternakan sehingga Dewa Penguasa Binatang tidak lagi penting dan digantikan oleh kekuasaan yang bisa mengendalikan keberhasilan hasil tani mereka.

Kehidupan hiruk-pikuk bertarung mengejar buruan dan menghindari binatang buas telah digantikan oleh hidup bertani yang aman dan tenang.

Patung Dewi Kesuburan yang berasal dari era Neolithic
Patung Dewi Kesuburan yang berasal dari era Neolithic

Dewi Kesuburan merupakan sesembahan penting pada era ini. Di sepanjang Eropa banyak peninggalan era Neolitik, dimana pertanian dan pemukiman mulai berkembang,  yang berupa patung pemujaan yang bersosok wanita sebagai lambang kesuburan, kedamaian dan pemeliharaan.

Dewa Perang

Ketika teknologi pengolahan logam sudah bisa menghasilkan senjata dengan mutu baik, dan penggunaan kuda sebagai tunggangan jelajah, beberapa kelompok manusia menyadari bahwa dengan senjata mereka tidak perlu lagi bersusah payah bekerja dan menunggu panen hasil pertanian mereka. Dengan senjata perangnya, mereka merampok kelompok lain yang lebih lemah.

Dewa yang melambangkan kekuatan, kejantanan, penaklukan menjadi lebih dominan. Kasta prajurit merupakan tulang punggung untuk kemakmuran masyarakat dan mempertahankannya.

Dewa Indra mengendarai gajah berkepala tiga Airavata diabadikan di kuil Banteay Srei, Kamboja
Dewa Indra mengendarai gajah berkepala tiga Airavata diabadikan di kuil Banteay Srei, Kamboja

Pada sekitar 1500 SM, Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan badai bersama Dewa-Dewa agresif lainnya menjadi pusat pemujaan bangsa Arya pada saat mereka menjelajah dan memperluas wilayah mereka hingga ke India.

Dewa Muram

Di wilayah Yunani banyak penguasa yang silih berganti saling menyerang dan berebut kuasa menimbulkan gambaran yang muram tentang para Dewa.

Para Dewa yang tinggal di puncak Olympus digambarkan mempunyai sisi muram dalam kehidupannya. Para Dewa adalah semacam manusia super yang abadi yang sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Masing-masing dewa itu terjebak dalam tragedi masing-masing.

Pahatan di kuil Parthenon yang menggambarkan Dewa Poseidon, Dewa Apollo dan Dewa Artemis dalam kehidupan sehari-hari para dewa
Pahatan di kuil Parthenon yang menggambarkan Dewa Poseidon, Dewa Apollo dan Dewa Artemis dalam kehidupan sehari-hari para dewa

Para Dewa terlibat dengan berbagai intrik diantara mereka sebagaimana manusia juga. Berbagai cerminan watak manusia ada di karakter para Dewa itu. Ada yang baik hati, lembut, penyayang, tapi banyak juga Dewa dengan watak kejam, culas dan tidak berperasaan.

Secara spiritual mereka melihat kehidupan dan tragedi para Dewa itu sebagai penguat mereka untuk menghadapi dunia yang tak terduga dan mungkin penuh tragedi.

Jika para Dewa yang super saja bisa mengalami berbagai kemalangan, maka sebagai manusia, mereka harus siap menghadapi kemalangan dan kegembiraan dengan wajar.

Para Dewa tidak diharapkan mengajarkan aturan kehidupan manusia, manusia hanya diharapkan mengambil teladan kehidupan dari para Dewa.

Dewa Raja

Ketika kerajaan-kerajaan besar mulai berdiri dengan wilayah yang semakin besar, mulai diperlukan pengorganisasian dan delegasi kekuasaan yang rumit. Para raja mulai membentuk organisasi kenegaraan dengan wewenang yang ditentukan. Mulai timbul peraturan-peraturan tertulis untuk mengatur segala sesuatunya. Ada ganjaran dan hadiah ditentukan untuk memastikan aturan-aturan tersebut ditegakkan.

Jika pada era sebelumnya para Dewa sibuk dengan urusannya sendiri dan dimintai tolong sesuai dengan keahliannya yang spesifik, maka pada era ini timbul Dewa utama yang berkuasa bagaikan raja.

Dia berkuasa sendirian, ia mempunyai aparat (malaikat) yang ia beri kekuasaan adikodrati terbatas untuk mengikuti kehendaknya.

Dewa Raja mengatur segalanya, bahkan menciptakan segalanya (hal yang tidak dikenal pada tipe dewa lainnya). Alam semesta ini berjalan teratur hanya karena menuruti kehendak sang Dewa Raja.

Allah, Raja di langit saat menciptakan Adam dalam lukisan Michelangelo
Allah, Raja di langit saat menciptakan Adam dalam lukisan Michelangelo

Manusia juga hanya bisa bahagia dan selamat jika ia mengikuti aturan dari sang Dewa, karena hanya Dewa yang tahu aturan paling cocok bagi ciptaannya. Dewa Raja juga menyediakan ganjaran dan hadiah untuk menegakkan aturan-aturannya yaitu. Surga dan Neraka.

Dewa Raja memonopoli kekuasaan untuk memastikan semuanya berjalan tertib. Untuk itu Dewa Raja tidak menolerir adanya Dewa-dewa  tandingan di kehidupan manusia.

Sebagaimana raja, Dewa Raja tidak terikat pada aturan yang ia buat sendiri. Hukum alam yang ia ciptakan, bila perlu akan ia langgar bagi kepentingan manusia (contohnya mukjizat para nabi).

Agama-agama Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) lahir dari era ini, sehingga Dewa Raja merupakan gambaran yang sangat cocok untuk Allah mereka.

Dewa Hukum Alam

Tidak selamanya kekuasaan para raja bisa memberikan kebaikan dain keteraturan bagi masyarakat.

Di China dan India, seringnya terjadi perang antar kerajaan dan banyaknya raja-raja yang tidak bisa memberi contoh yang ideal, membuat orang berpikiran bahwa raja bukanlah segalanya. Sistem dan penegakan aturan menjadi lebih penting dari sosok raja yang mungkin tak terduga.

Di China muncul Tao yang secara harfiah berarti “jalan” sebagai tujuan tertinggi manusia. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia harus memilih jalan yang benar yang sesuai dengan harmoni alam atau hukum alam, bahkan Dewa-dewa jika masih mereka akui tunduk kepada hukum alam yang tak memihak..

Filsafat Feng-shui dapat kita ambil contoh. Tidak ada dewa yang perlu dibujuk untuk menuruti perintah kita.Untuk mencapai suatu tujuan kita harus menyesuaikan diri kepada hukum alam yang sesuai dengan tujuan tersebut. Kita mengendalikan elemen-elemen alam yang tidak berkepribadian untuk tujuan kita.

Di India, Buddha mengajarkan manusia untuk mencapai Nirvana, ini adalah semacam kebahagiaan sejati tak berbentuk. Buddha tidak berbicara tentang Dewa yang personal karena itu dianggap tidak penting.

Buddha yang mengajarkan disiplin rohani tanpa berurusan dengan Tuhan
Buddha yang mengajarkan disiplin rohani tanpa berurusan dengan Tuhan

Berbeda dengan filsafat China yang berusaha mengendalikan elemen alam untuk tujuan kita,  Buddha mengajarkan mengendalikan pikiran dan kehendak manusia untuk mencapai kebahagiaan, karena kebahagiaan tidak berasal dari sesuatu diluar manusia.

Secara umum Dewa Hukum Alam tidak percaya ada kekuasaan tertinggi adikodrati yang bersifat personal. Tidak ada Dewa yang harus disembah atau dbujuk untuk membantu kehidupan kita didunia, sebagai gantinya kita harus mengubah diri kita atau memanfaatkan elemen-elemen alam untuk kepentingan kehidupan kita didunia.

Dewa Akhir Jaman, Masih Perlukah?

Pada masa lalu agama yang datang bersama konsep ketuhanannya sudah cukup untuk memberikan penjelasan atas segala sesuatu yang terjadi di alam. Ungkapan “Itu karena kehendak Tuhan” sudah cukup untuk menutupi segala ketidaktahuan kita.

Masih perlukah sosok Dewa yang mengendalikan semesta?
Masih perlukah sosok Dewa yang mengendalikan semesta?

Saat ini sains dengan pasti mulai mengambil alih sebagian besar wilayah yang dulunya merupakan milik agama.

Ketika bencana alam terjadi, kita tidak lagi puas menerima pandangan bahwa itu adalah azab atau peringatan Tuhan, kita mencari tahu sebab-sebab ilmiah kenapa itu bisa terjadi.

Ketika kita sakit, kita tidak lagi puas dengan penjelasan tentang jin yang mengganggu kita, kita bisa mencari tahu ke dokter penyebab dan obatnya.

Ketika kehidupan kita sulit, kita tidak lagi puas dengan penjelasan bahwa kita kurang sedekah atau kurang ikhlas. Kita mulai mendengar para ahli manajemen dan motivasi untuk mengubah nasib kita dengan efektif.

Dengan penjelasan sains yang lebih memuaskan dibandingkan penjelasan bahwa Tuhan yang mengatur segalanya, masihkah relevan tipe Dewa Raja yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia?

Apakah pada saatnya akan muncul dewa tipe baru, misalnya Dewa Sains? atau bahkan apakah kita masih perlu Dewa?