“Bom Bali?, itu konspirasi Amerika dan Israel”

“Kelompok Islam tidak punya teknologi bom sedahsyat itu. Ba’asyir bilang itu mini nuklir kalau dilihat dari besarnya ledakan yang terjadi”

“Bukankah sudah ada bukti-bukti yang mengarahkan ke kelompok Islam radikal?”, “Jangan percaya begitu saja. Mereka mempersiapkan bukti-bukti itu agar masyarakat percaya kelompok Islam pelakunya, dan pada saatnya akan menggunakannya untuk menekan Umat Islam”

Mereka sedang berkomplot untuk mengalahkan kita!
Mereka pasti sedang berkomplot untuk mengalahkan kita!

“Siapa Mereka ?”
“CIA, Mossad serta antek-anteknya di pemerintahan. Ini adalah bagian dari grand design Yahudi untuk menguasai dunia.”

Oh lala…. begitu hebatnya teori ini. Dan yang lebih hebat lagi, banyak yang percaya. Anda dapat membaca teori ini dibeberapa media Islam, serta didaur-ulang oleh beberapa ustadz di mimbar-mimbar Jum’at.

Mengapa beberapa orang dengan cepat menelurkan dan percaya teori-teori tanpa menggunakan fakta-fakta yang diverifikasi terlebih dahulu?

Naluri Purba

Salah satu pemicunya adalah kemampuan pengenalan pola otak kita yang mampu dengan cepat menghubungkan fakta-fakta untuk mencari pola yang bermakna.

Pada masa purba, kemampuan meramalkan pola perubahan cuaca, migrasi bianatang buruan, masa tumbuhan berbuah, atau keberadaan predator sangat vital untuk menentukan kelangsungan hidup kita di lingkungan yang buas.

Masalahnya kita tidak mengembangkan  kemampuan lebih lanjut untuk membedakan pola yang benar atau yang salah. Kecepatan bereaksi adalah penting. Ketika terdengar semak bergerisik, bisa jadi itu adalah harimau yang sedang mengintai atau hanya angin yang berhembus di rerumputan. Percaya bahwa itu harimau, membawa kita segera menjauh secepatnya, dan mungkin menyelamatkan jiwa kita jika perkiraan kita benar, jika perkiraan kita salah kita tidak rugi banyak. Sedangkan bila kita tidak pergi karena percaya itu hanya angin akan fatal bila ternyata itu harimau.

Kebutuhan untuk bereaksi secepatnya yang membuat kita menempatkan asumsi yang paling mengancam kita sebagai asumsi dengan prioritas tertinggi untuk dipercaya. Kita butuh waktu cepat bereaksi, tidak ada waktu untuk uji ulang semua asumsi tersebut. Lebih baik membuang waktu dan tenaga untuk lari dari gemerisik rumput dari pada mati diterkam harimau karena mengira hanya angin yang berhembus. Lebih baik lari ketakutan daripada tenang tapi diterkam harimau.

Pada masa modern, naluri inilah yang memicu banyak orang untuk membangun suatu teori konspirasi, begitu sebuah peristiwa yang mereka anggap penting terjadi.

Sepertinya ada plot rahasia, yang disembunyikan dari saya
Sepertinya ada plot rahasia, yang disembunyikan dari saya

Begitu suatu peristiwa penting terjadi, asumsi yang paling mengancam kepentingan kita akan segera muncul, segala macam fakta segera kita cari untuk mendukung asumsi tersebut dan untuk mendukung tindakan kita berikutnya. Dan ini bertolak belakang dengan metode pemikiran rasional yang berusaha membangun asumsi berdasarkan fakta yang ada.

Apakah ini salah?

Secara metodologi rasional, ini salah. Akan tetapi secara naluriah ini tidak dapat disalahkan, ini adalah metode survival kita yang teruji ribuan tahun.

Yang perlu kita lakukan adalah mengevaluasi asumsi kita dengan jernih berdasarkan fakta-fakta yang teruji setelah kehebohan peristiwa itu mereda. Mengevaluasi kredibilitas sumber-sumber fakta yang kita pakai dan teori yang kita pakai.

Dengan proses evaluasi ini secara bertahap kita mengeliminir teori-teori parnanoid yang tak rasional dari persediaan pola dikepala kita, sehingga saat peristiwa penting berikutnya terjadi, asumsi yang tak rasional dan paranoid tidak menduduki rangking atas tanggapan kita atas peristiwa tersebut.